Ketimpangan sosial dan pembengkakan utang inilah yang perlu dicermati dan diantisipasi agar sebuah negara ke depan tidak masuk ke dalam api setelah keluar dari penggorengan.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Out of the frying pan… into the fire? Keluar penggorengan… masuk perapian? Begitu judul laporan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan atau UNCTAD yang dirilis pada 18 Maret 2021. Melalui metafora itu, UNCTAD ingin menunjukkan, setiap negara berpotensi keluar dari bahaya besar, tetapi bisa juga masuk ke bahaya yang lebih besar.
Dalam konteks pandemi Covid-19 dan ekonomi, ungkapan ini menjelaskan bahwa tren pemulihan ekonomi dunia di tengah pandemi terus berlanjut. Meskipun begitu, masih ada risiko atas pemulihan itu karena masih terjadi secara spasial atau baru terjadi di sejumlah negara dan sejumlah sektor ekonomi. Selain itu, masih ada potensi penambahan kasus positif Covid-19.
Seusai mengalami annus horribilis atau tahun yang mengerikan pada 2020, UNCTAD memperkirakan, ekonomi global pada 2021 tumbuh 4,7 persen. Proyeksi ini lebih tinggi daripada proyeksi sebelumnya pada September 2020 yang sebesar 4,3 persen. Pertumbuhan ekonomi global ini akan ditopang oleh perbaikan ekonomi sejumlah negara, akselerasi vaksinasi, mulai menggeliatnya sejumlah sektor ekonomi, dan membaiknya harga beberapa komoditas.
Angka proyeksi UNCTAD itu berada di antara proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Pada Januari lalu, IMF memperkirakan ekonomi global pada tahun ini tumbuh 5,5 persen dan Bank Dunia 4 persen. Bahkan, IMF sudah ancang-ancang untuk menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada April nanti karena prospek ekonomi dinilai lebih baik akibat stimulus di Amerika Serikat (AS) serta perluasan dan percepatan vaksinasi.
Setiap negara berpotensi keluar dari bahaya besar, tetapi bisa juga masuk ke bahaya yang lebih besar.
Senada dengan IMF, UNCTAD menyebut gelontoran stimulus Pemerintah AS sebesar 1,9 triliun dollar AS pada medio Maret lalu akan meningkatkan belanja konsumen. Peningkatan belanja konsumen ini akan semakin menggeliatkan industri dan pada akhirnya menggerakkan perdagangan global.
Kendati tren pemulihan itu dinilai lebih kuat, dunia tetap diperkirakan akan kehilangan sekitar 10 triliun dollar AS produk domestik bruto (PDB) tahun ini dari PDB dunia 2019 yang sekitar 88 triliun dollar AS. Selain itu, pukulan berat terhadap ekonomi global akan lebih dirasakan negara-negara berkembang yang memiliki ruang fiskal dan dukungan internasional yang terbatas serta neraca pembayaran yang mengetat.
UNCTAD juga mengingatkan potensi penurunan di sektor kesehatan, kerja sama multilateral yang lemah, meningkatnya jumlah utang, dan meluasnya keengganan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan. Meskipun begitu, UNCTAD memuji langkah G-20 yang menggulirkan Inisiatif Penangguhan Layanan Utang (Debt Service Suspension Inisiative/DSSI) bagi negara-negara miskin. Penundaan pembayaran utang yang telah disepakati bagi 46 negara dari 73 negara yang memenuhi syarat senilai 12 miliar dollar AS untuk periode Mei 2020-Juni 2021. Langkah ini setidaknya mampu mengurangi beban negara-negara miskin.
Salah satu kondisi yang jelas memburuk adalah ketimpangan pendapatan di dalam sebuah negara. Hal ini menyusul meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan, dan pengurangan jam kerja sepanjang periode pandemi tahun lalu yang berlanjur hingga tahun ini. Jumlah orang dalam kemiskinan ekstrem diperkirakan akan meningkat hingga sekitar 124 juta jiwa pada akhir tahun ini. Selain itu, 228 juta orang diperkirakan akan hidup dengan 3,2 dollar AS per hari.
Ketimpangan sosial dan pembengkakan utang inilah yang perlu dicermati dan diantisipai agar sebuah negara ke depan tidak masuk ke dalam api setelah keluar dari penggorengan. Dalam konteks Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, rasio gini pada September 2020 sebesar 0,380, meningkat dari September 2019 yang sebesar 0,385. Rasio gini yang menunjukkan ketimpangan memiliki interval 0-1. Angka mendekati 1 artinya ketimpangan semakin dalam.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional 2020 BPS menggambarkan, mayoritas angkatan kerja yang menganggur selama pandemi adalah masyarakat berkategori miskin dengan pendapatan rendah (54 persen). Selain itu, selama pandemi, pekerja berpenghasilan rendah juga harus mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup (45,09 persen). Hal serupa dihadapi masyarakat kelas menengah (40,51 persen). Hanya 14 persen masyarakat kelas atas yang harus mencari pekerjaan sampingan.
Ketimpangan sosial dan pembengkakan utang inilah yang perlu dicermati dan diantisipai agar sebuah negara ke depan tidak masuk ke dalam api setelah keluar dari penggorengan.
Sementara itu, Kementerian Keuangan mencatat, utang Pemerintah Indonesia per akhir Desember 2020 sebesar Rp 6.074,56 triliun. Jumlah ini naik Rp 1.296,56 triliun dalam setahun. Rasio utang pemerintah terhadap PDB pada 2020 sebesar 38,5 persen.
IMF memperkirakan, seiring dengan beban pembiayaan program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, utang Pemerintah Indonesia pada 2021 diperkirakan melebar menjadi 40,1 persen dari PDB. Kendati begitu, dalam skenario terburuk, utang Pemerintah Indonesia akan stabil di kisaran 48,4 persen dari PDB pada 2025.
Kendati vaksinasi terus berjalan dan ekonomi lambat laun memulih, kehati-hatian tetap diperlukan. Strategi mengatasi ketimpangan sosial tidak cukup hanya dengan menggulirkan jaring pengaman sosial, tetapi juga penciptaan lapangan kerja.
Di sisi lain, utang perlu dikelola dengan baik dan bijak dengan memanfaatkannya untuk kegiatan-kegiatan produktif yang tepat sasaran. Sekali lagi, jangan sampai sudah keluar penggorengan tetapi justru masuk perapian.