Peluang Penguatan Pasar Portofolio Tanah Air Terbuka
DBS menilai SBN Indonesia tampak masih rentan terhadap hasil obligasi AS yang lebih tinggi. Namun hal ini tidak akan sampai mendorong eksodus obligasi dan melemahkan mata uang secara tajam.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kecenderungan investor untuk masuk pada aset berisiko di paruh pertama tahun 2021 membuat peluang pertumbuhan pasar portofolio di dalam negeri terbuka. Apabila skenario pemulihan ekonomi berjalan lancar, hampir seluruh sektor akan menopang pemulihan pasar modal.
Chief Investment Officer DBS Hou Wey Fook memproyeksikan pasar modal di kawasan ASEAN akan mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan global kuat dan kecenderungan investor untuk investasi di aset yang lebih berisiko. Namun, evaluasi ulang terhadap tingkat suku bunga membuat investor lebih berhati-hati untuk menerima risiko investasi di negara berkembang.
”Berbagai faktor, seperti tingkat suku bunga yang rendah, penguatan nilai tukar dollar AS, dan ketidakpastian politik adalah risiko yang harus diperhatikan pasar ASEAN pada 2021. Pilihan terbaik kami dalam situasi saat ini adalah Singapura dan Indonesia,” kata Fook dalam webinar bertajuk ”Pandangan CIO DBS Triwulan II-2021”, Kamis (25/3/2021).
Dalam skenario pemulihan, sejumlah sektor di pasar saham Indonesia menarik para investor. Bank-bank siap mendapatkan keuntungan dari kurva imbal hasil, yang tajam. Adapun sektor yang dirugikan akibat pandemi, seperti, sektor ritel dan transportasi, mulai pulih dari posisi terendah.
Sementara itu, lanjut Fook, sektor yang menjadi jawara masa pandemi, seperti logistik dan pusat data, terus berkembang untuk pertumbuhan masa depan. Saham teknologi manufaktur lebih kecil juga terangkat oleh akselerasi tren digitalisasi.
Dalam skenario pemulihan, sejumlah sektor di pasar saham Indonesia menarik para investor. Bank-bank siap untuk mendapatkan keuntungan dari kurva imbal hasil, yang tajam.
Untuk pasar surat berharga negara (SBN), Fook menilai, SBN Indonesia tampak masih rentan terhadap hasil obligasi AS yang lebih tinggi. Namun hal ini tidak akan sampai mendorong eksodus obligasi dan melemahkan mata uang secara tajam.
Menurut dia, di sepanjang 2021 terdapat lima faktor yang akan menjadi penggerak pasar Indonesia yakni kebangkitan investor ritel, program vaksinasi, penanaman modal asing pada rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV), pembelian dana investasi milik negara, dan konsolidasi serta penawaran saham perdana perusahaan rintisan teknologi swasta (unicorn).
”Selain itu, adanya pandemi dan kondisi perusahaan raksasa teknologi saat ini mengganggu bisnis tradisional, gagasan umum tentang strategi investasi saham yang fokus akan saham dengan dividen, mungkin tidak akan lagi populer,” ujar Fook.
CEO & Co-Founder PT Satu Global Investama Calvin Lutvi mengungkapkan, pasar modal Indonesia diproykesikan terus tumbuh positif setelah di awal pandemi, kendati sempat terjadi koreksi penurunan yang sangat dalam.
Perbaikan positif pasar modal terefleksi dari banyakya jumlah perushaan yang menjadikan pasar modal sebagai alternatif sumber pendanaan. Sampai dengan 18 Maret 2021, sudah ada 26 perusahaan dalam antrean penerbitan saham perdana initial public offering/IPO).
”Kami proyeksikan, pada tahun ini, lebih banyak lagi perusahaan yang menerbitkan saham perdana seiring dengan dipermudahnya regulasi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI),” ungkap Calvin.
BEI sedang merampungkan Peraturan I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas yang diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat. Revisi ini ditujukan untuk dapat mengakomodasi berbagai macam karakteristik perusahaan yang ingin melakukan penerbitan saham perdana.
Selain memberikan kemudahan dari segi regulasi, BEI juga meluncurkan program IDX Incubator, Papan Akselerasi, dan Papan Pengembangan untuk memfasilitasi perusahaan rintisan dalam proses melakukan IPO.
Sementara itu, survei Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) Indonesia pada Maret 2021 menunjukkan proses pemulihan ekonomi Indonesia akan terjadi secara bertahap. Hal ini akan bergantung pada proses pemulihan di sektor kesehatan.
OECD memproyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia bisa mencapai 4,9 persen. Angka ini jauh lebih rendah dari target awal APBN 2021, yakni 5 persen. Selanjutnya perekonomian Indonesia berangsur akan memulih dengan proyeksi pertumbuhan sebesar 5,4 persen pada 2022.
Meski begitu, ketidakpastian akan membebani sektor investasi, terutama penanaman modal asing (PMA) secara langsung. Dukungan untuk rumah tangga dan perusahaan harus terus berlanjut selama diperlukan, setelah itu upaya harus difokuskan pada membawa lebih banyak pekerja ke dalam perekonomian formal, meningkatkan keterampilan, dan meningkatkan iklim bisnis dan investasi.
Laporan ini menekankan akan pentingnya kebijakan untuk membawa lebih banyak pekerja ke sektor formal dengan meningkatkan talenta sekaligus meningkatkan kualitas iklim investasi di Indonesia. Survei merekomendasikan untuk meningkatkan pendidikan kejuruan dan pelatihan orang dewasa, dengan penekanan pada keterampilan digital.