Menjaga Peluang Ekonomi Perempuan Indonesia
Indonesia menempati peringkat ke-149 dari 190 negara dalam hal pemberian peluang ekonomi bagi perempuan.
Kebijakan yang ada dan ekosistem yang dibangun di Indonesia belum menempatkan kesetaraan jender sebagai salah satu arus utama penopang perekonomian.
Menyambut peringatan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2021, Bank Dunia kembali merilis laporan bertajuk ”Women, Business and the Law”. Laporan tahunan seri ketujuh itu mengukur aspek hukum dan regulasi yang memengaruhi peluang ekonomi perempuan di 190 negara, termasuk Indonesia.
Pada 2021, Indonesia menempati peringkat ke-149 dari 190 negara dengan skor 64,4. Peringkat Indonesia terus merosot, setidaknya dalam tiga tahun terakhir, dari peringkat ke-141 pada 2019 menjadi peringkat ke-144 pada 2020. Skor yang diperoleh juga relatif stagnan, yakni 64,38 pada 2019 menjadi 64,4 pada 2020.
Peringkat Indonesia terus merosot, dari peringkat ke-141 pada 2019 menjadi peringkat ke-144 pada 2020.
Peringkat peluang ekonomi perempuan yang dirilis Bank Dunia meliputi penilaian di delapan aspek, yaitu mobilitas, tempat kerja, upah, perkawinan, status sebagai orangtua, kewirausahaan, kekayaan, dan pensiunan. Dari delapan aspek itu, peluang ekonomi perempuan Indonesia paling rendah saat sudah menikah dan menjadi orangtua.
Baca juga: Perempuan Berdaya, Ekonomi Berjaya
Peringkat yang terus melorot dan skor yang stagnan menempatkan peluang ekonomi perempuan Indonesia di bawah rata-rata negara berpendapatan rendah. Rata-rata skor untuk negara berpendapatan menengah rendah berkisar 66,1-70,8 dari skala 100, sedangkan rata-rata skor negara berpendapatan menengah-tinggi 75,3.
Padahal, pertengahan tahun lalu, Bank Dunia meningkatkan status Indonesia dari negara berpendapatan menengah rendah menjadi negara berpendapatan menengah tinggi per 1 Juli 2020. Penyebabnya, pendapatan nasional bruto (gross national income/GNI) per kapita Indonesia sebesar 4.050 dollar AS.
Peluang perempuan dalam perekonomian yang masih terbatas juga dikonfirmasi temuan UN Women. Dari hasil survei terhadap 50 perusahaan top di Indonesia pada 2018, hanya 28 persen perusahaan yang menempatkan perempuan dalam jajaran direksi dan 30 persen perusahaan yang memiliki kebijakan pemberian kesempatan yang setara dalam promosi dan kemajuan karier.
Ironisnya, hanya sekitar 6 persen perusahaan yang memiliki kebijakan reguler mengevaluasi kesetaraan upah antara pekerja perempuan dan laki-laki. Meski demikian, 68 persen perusahaan telah menyediakan fasilitas bagi pekerja perempuan, di antaranya ruang laktasi dan perawatan anak, pengaturan jam kerja yang fleksibel, serta program pelatihan dan pendidikan sesuai kebutuhan.
Sejak 2010, UN Women dan UN Global Impact mengusung tujuh prinsip pemberdayaan perempuan atau Women’s Empowerment Principles (WEPs). Ketujuh prinsip itu secara garis besar berisi komitmen dunia usaha dalam mendukung kesetaraan jender. Di Indonesia, WEPs telah ditandatangani 60 perusahaan per Maret 2020.
Shinta Kamdani, Board Member Indonesia Business Coalition for Women’s Empowerment (IBCWE), berpendapat, pendekatan lintas sektor antara sektor publik, masyarakat sipil, dan dunia usaha dibutuhkan untuk mendorong tujuan pemberdayaan perempuan. Dunia usaha berperan strategis membawa dampak positif bagi perempuan pekerja, perempuan pemasok, dan perempuan sebagai konsumen.
Perempuan dan pandemi
Meskipun resesi ekonomi kerap kali dikaitkan dengan dampak yang tidak proporsional pada pekerja laki-laki, pandemi Covid-19 justru memengaruhi mayoritas sektor bisnis dengan pangsa pekerja perempuan tinggi.
Berdasarkan World Bank’s Enterprise Analysis Unit, penurunan proporsi pekerja perempuan penuh waktu lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja laki-laki penuh waktu. Pekerja perempuan lebih banyak yang dipaksa untuk mengambil cuti atau berhenti dari pekerjaan mereka karena sakit, harus mengasuh anak, atau mobilitas yang terbatas. Sebagian perusahaan bahkan menyarankan pekerja laki-laki dan pekerja perempuan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan diberhentikan sementara atau cuti mendapatkan proporsi yang sama.
Mari Elka Pangestu, Managing Director, Development Policy and Partnerships Bank Dunia, menekankan, Covid-19 terbukti memperdalam jurang ketidaksetaraan global. Bagi banyak perempuan di dunia, situasi pandemi tidak hanya menciptakan ketidakamanan ekonomi, tetapi juga ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan.
”Kebijakan dan regulasi yang mendorong inklusi ekonomi perempuan akan membuat mereka tidak terlalu rentan dalam menghadapi krisis,” ujar Mari Elka.
Langkah-langkah keamanan ekonomi yang dinilai paling penting adalah bantuan sosial tunai, bantuan makanan, serta tunjangan dalam bentuk barang yang memprioritaskan perempuan sebagai penerima utama. Dukungan juga mesti diberikan bagi pengusaha perempuan dan pekerja informal perempuan.
Baca juga: Perempuan dalam Pusaran Pandemi
Dalam jangka panjang, pandemi Covid-19 juga dikhawatirkan memengaruhi pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan bagi perempuan dan anak perempuan Indonesia. Perempuan dinilai paling rentan mengalami guncangan di pasar tenaga kerja, terutama mereka yang bekerja di sektor informal.
Survei UN Women pada April-Juli 2020 menunjukkan, sekitar 30 persen pekerja laki-laki dan 36 persen pekerja perempuan informal Indonesia harus mengurangi waktu kerja berbayar. Bahkan, sejak Covid-19 melanda, dari total pekerja informal, diperkirakan 80 persen pekerja perempuan tidak menerima tunjangan dan dukungan pemerintah, sementara pekerja laki-laki sekitar 63 persen.
Sekitar 30 persen pekerja laki-laki dan 36 persen pekerja perempuan informal Indonesia harus mengurangi waktu kerja berbayar.
Di Indonesia, per September 2020, ada 49,42 persen pekerja perempuan. Jumlah itu sekitar 133,54 juta jiwa. Namun, pembatasan mobilitas sebagai upaya penanganan Covid-19 juga menempatkan perempuan dalam situasi yang berbahaya, terutama bagi mereka yang sudah menikah, berpenghasilan rendah, serta berusia 31-40 tahun.
Jika masalah kesenjangan jender dapat diatasi, menurut riset McKinsey pada 2018, kesetaraan jender berpeluang meningkatkan produk domestik bruto Indonesia hingga 135 miliar dollar AS pada 2025. Perhitungan itu dengan asumsi terjadi pemerataan kesempatan kerja, yakni partisipasi kerja perempuan meningkat dari 50 persen pada 2014 menjadi 56 persen pada 2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, APBN secara bertahap sudah diarahkan untuk mendukung kesetaraan jender. Dalam APBN 2020, sekitar 90 persen perempuan sebagai kepala keluarga tercatat sebagai penerima program keluarga harapan (PKH) untuk 10 juta rumah tangga. Selain itu, bantuan permodalan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya melalui program ultramikro (UMi) dan membina ekonomi keluarga sejahtera (Mekaar), sebagian besar diterima perempuan.
APBN secara bertahap sudah diarahkan untuk mendukung kesetaraan jender.
Di Indonesia, sekitar 53,76 persen UMKM dimiliki pelaku usaha perempuan, yang 97 persen karyawannya juga perempuan.
Kesetaraan jender adalah hak asasi yang fundamental. Lebih penting lagi, kesetaraan jender dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan hasil pembangunan.
Perekonomian dunia dan domestik tengah beradaptasi dalam kondisi serba sulit akibat pandemi Covid-19. Namun, bukan berarti populasi mereka yang paling rentan, yakni perempuan, dikesampingkan. (Karina Isna Irawan)