Indonesia Jadi Pemain Industri Baterai Kendaraan Listrik
Indonesia tidak ingin hanya jadi pasar baterai kendaraan listrik, tetapi juga terlibat sebagai pemain industri baterai. Indonesia menjalin kemitraan dengan pihak lain, yang diharapkan diwarnai alih teknologi.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendirian Indonesia Battery Corporation bukan semata-mata pembangunan pabrik baterai beserta turunannya. Potensi sumber daya alam akan dikonsolidasikan sehingga terjadi hilirisasi dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri.
Indonesia ingin menjadi pemain dalam industri baterai kendaraan listrik, baik mobil maupun sepeda motor.
Hal itu disampaikan Menteri BUMN Erick Thohir pada konferensi pers virtual tentang Pendirian Indonesia Battery Corporation bersama MIND ID, PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), dan PT Antam Tbk, Jumat (26/3/3021).
Kementerian BUMN sudah menyiapkan kemitraan dengan dua pemain besar dunia, yaitu Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL) dan LG Chem. ”Strukturnya jelas, dari hulu sampai hilir, kami, sebagai BUMN, ikut semua,” ujarnya.
Erick menambahkan, kemitraan tersebut diharapkan diwarnai alih teknologi. Poin utama dalam perjanjian berkaitan dengan stabilisator baterai yang sangat penting untuk energi terbarukan atau kebutuhan tenaga listrik di rumah.
”Kita juga menjadi leading sector-nya. Jadi, perjanjian ini sangat win-win. Di mobil kita mengalah, tetapi di sektor motor listrik dan stabilisator baterai kita yang memimpin,” kata Erick.
Sejak awal Kementerian BUMN mendorong Pertamina dan PLN, sebagai raksasa energi Indonesia, untuk bergabung. ”Ditambah raksasa pertambangan Indonesia, yakni MIND ID, yang di bawahnya juga memiliki Freeport, Antam, Timah, PT Bukit Asam Tbk untuk juga bergabung. Karena kami ingin menjadi pemain global dengan alih teknologi dan penguasaan pasar ke depan,” ujar Erick.
Erick mengatakan, kerja sama dengan mitra lain juga terbuka. Pada pertengahan April 2021, Eric bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan serta Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi akan ke Amerika Serikat. Salah satu tujuannya, melihat potensi kerja sama dengan pihak di AS.
”Kami juga ada rencana mendatangi Jepang yang tidak lain ingin membicarakan hal yang sama. Jadi, jangan terpikir karena IBC berdiri, (lantas) kami memonopoli bermitra dengan satu dua pihak (saja),” kata Erick.
Kami ingin menjadi pemain global dengan alih teknologi dan penguasaan pasar ke depan.
Wakil Menteri BUMN Pahala Nugraha Mansury menambahkan, melalui pembentukan IBC, Indonesia ingin memiliki sebuah industri baterai yang terintegrasi. Selain memiliki tambang, Indonesia juga ingin mempunyai industri pemurnian dan pengolahan, serta produsen prekursor, katoda, sel baterai, battery pack, penyimpan energi, stabilisator, dan industri pendaur ulangnya.
”Total investasi yang dibutuhkan sangat besar, bisa mencapai 17 miliar dollar AS. Profil IBC ini nantinya akan dimiliki dengan komposisi saham yang sama antara Antam, MIND ID, Pertamina, dan PLN,” kata Pahala.
Melalui pembentukan IBC, Indonesia ingin memiliki sebuah industri baterai yang terintegrasi.
Tujuannya, menurut Pahala, agar kekuatan di hulu dan hilir dapat disatukan. Keempat BUMN tersebut bersatu membuat industri baterai. Nantinya usaha patungan ini akan dimiliki di masing-masing bagian dari rantai pasok industri baterai tersebut.
”Baterai ini masa depan. Jadi, dari awal kami harus memastikan produksi dilakukan di Indonesia. Ada keinginan 70 persen dari yang diproduksi di hulu akan dibawa ke hilir,” ujarnya.
Potensi
Pahala menambahkan, pada 2030, Indonesia ingin memiliki kapasitas baterai sekitar 140 gigawatt hour (GWh). Sebanyak 50 GWh produksi sel baterai ini dimungkinkan untuk diekspor. Adapun sisanya diharapkan dapat digunakan di industri baterai yang akan digunakan untuk memproduksi kendaraan listrik di Indonesia.
”Potensi kendaraan listrik di Indonesia besar sekali, estimasinya untuk roda dua diproduksi sekitar 10 juta (unit) dan roda empat di atas 2 juta (unit) pada tahun 2030,” kata Pahala.
Ketua Tim Percepatan Proyek Baterai Kendaraan Listrik Nasional Agus Tjahajana Wirakusumah mengatakan, sesuai peraturan, Indonesia akan menjadi pihak mayoritas di sisi hulu, yakni dengan kepemilikan di atas 51 persen. ”Kami sedang mencoba mengusahakan di antara tahapan-tahapan itu akan berbeda, bergerak di antara 25-40 persen,” ujarnya. (CAS)