Presiden Joko Widodo bertemu dengan nelayan dan pengusaha perikanan dalam kunjungan di Ambon pada Kamis (25/3/2021). Presiden menyatakan ingin mendengar langsung suara mereka.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ambon, Maluku, oleh pengusaha ikan dan nelayan dijadikan kesempatan untuk mengungkap keresahan sekaligus menyampaikan harapan mereka. Presiden menyatakan ingin mendengar langsung suara mereka yang tinggal di daerah pengahasil ikan tersebut.
Keluhan pertama disampaikan Kun Kuntoro, salah satu pengusaha ikan saat berdialog dengan Presiden di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon, pada Kamis (25/3/2021), sebagaimana yang disiarkan di kanal Youtube Sekretariat Presiden. Pada acara itu Presiden didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir.
Menurut Kun, saat ini banyak rumpon milik perusahaan berskala besar yang dipasang di Laut Seram dan Laut Banda. Secara berkala, kapal jaring purse seine milik perusahaan yang sama datang menjaring ikan di rumpon tersebut. Setelah menjaring ikan, kapal-kapal itu langsung keluar Maluku tanpa melapor ke pelabuhan terdekat di Maluku.
”Itu kebanyakan perusahaan perikanan dari luar Maluku,” kata Kun menjawab pertanyaan Presiden. Kun menuturkan, rumpon yang dipasang di bagian utara Maluku itu milik pengusaha dari Bitung, Sulawesi Utara, sedangkan di bagian selatan Maluku berasal dari Bali dan Jakarta.
Rumpun merupakan alat bantu penangkapan yang dipasang di tengah laut. Rumpun terdiri atas pelampung dengan tali panjang ke dasar laut. Pada tali itu dipasang daun kelapa atau plastik sintesis yang gerakannya memancing gerombolan ikan. Rumpon dianggap menghalau pergerakan ikan mendekati wilayah pesisir.
Itu kebanyakan perusahaan perikanan dari luar Maluku.
Akibatnya, lanjut Kun, nelayan pesisir semakin sulit mendapatkan ikan. Sebelumnya, nelayan hanya butuh waktu satu hari dengan hasil yang maksimal. Saat ini waktu mencari ikan, antara lima, hingga tujuh hari dengan hasil tidak menentu. Biaya pun membengkak sehingga sangat merugikan nelayan.
”Sebelum tahun 2000, rata-rata didapat 6.000 sampai 8.000 ton ikan per tahun. Tahun lalu hanya 213 ton ikan,” ucap Kun yang kerap membeli ikan dari nelayan lokal. Ikan yang ditangkap itu kebanyakan tuna dan cakalang. Penangkapannya menggunakan mata pancing. Hasil tangkapan diekspor ke sejumlah negara.
Selain di Pelabuhan Yos Sudarso, Presiden juga bertemu dengan nelayan lokal di Desa Hitulama, Kabupaten Maluku Tengah. Sebagaimana tayangan di kanal Youtube Sekretariat Presiden, seorang nelayan meminta agar mereka didukung alat tangkap yang memadai. Presiden pun berdialog dengan mereka, tetapi suara Presiden tidak terekam dengan baik.
Sebelum dialog, Presiden mengatakan, kehadiran dirinya itu untuk mendengar langsung suara nelayan. ”Saya ingin mendengar situasi, urusan yang berkaitan dengan perikanan, dengan nelayan di saat pandemi seperti ini, apakah ada pengaruhnya atau tidak, dan ada kesulitan-kesulitan apa,” katanya.
Komitmen pemerintah pusat
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Maluku telah ditetapkan sebagai lumbung ikan nasional. Maluku diijadikan pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan timur Indonesia berbasis bisnis perikanan. Alasannya, Maluku merupakan daerah di Indonesia yang kaya akan hasil perikanan.
Guru besar kelautan dan perikanan Universitas Pattimura Ambon Alex Retraubun berharap kunjungan Presiden memberi manfaat bagi Maluku, terutama dari sisi pengembangan sektor perikanan. Ia pun mendesak agar penetapan Maluku sebagai lumbung ikan nasional tidak hanya secara politis, tetapi juga secara legal.
”Perlu ada payung hukum sebagai landasannya. Sebab, pernyataan politik masih dapat berubah,” ujar Alex. Wacana Maluku sebagai lumbung ikan nasional pertama kali diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Agustus 2010. Ucapan Yudhoyono itu tidak diikuti langkah konkret karena dianggap sebagai pernyataan politik.