Sekuritisasi Aset, Potensi Alternatif Pembiayaan Pembangunan
Pasar sekuritisasi aset yang nantinya akan semakin besar, lanjut Destry, akan membuat pasar keuangan dan pasar modal menjadi lebih dalam dan lebih inovatif.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skema sekuritisasi aset dapat menjadi alternatif pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan proyek strategis nasional. Infrastruktur yang dibangun pemerintah akan menjadi aset dasar bernilai tinggi yang bisa menjadi agunan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur lainnya.
Sekuritisasi aset merupakan proses transformasi suatu aset menjadi surat berharga yang lebih likuid dan dapat diperjualbelikan. Bagi investor, efek hasil proses sekuritisasi aset menjadi suatu alternatif investasi dengan tingkat risiko yang lebih baik karena didukung oleh aset dasar (underlying asset).
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengatakan, sekuritisasi aset adalah alternatif pendanaan selain lembaga keuangan yang punya potensi besar. Meskipun begitu, masih terdapat tantangan yang kompleks terkait instrumen ini.
”Salah satunya adalah menyangkut likuiditas. Selain itu, untuk menerbitkannya pun dibutuhkan pihak penunjang lain, seperti perusahaan investasi, pemeringkat, dan juga penjamin,” ujarnya dalam seminar nasional ”Sekuritisasi Aset Peluang dan Tantangan” yang digelar secara virtual di Jakarta, Selasa (24/3/2021).
Menurut Destry, saat ini, instrumen sekuritisasi aset di Indonesia tengah menghadapi tantangan likuiditas karena masih sedikit korporasi yang mau menerbitkan instrumen tersebut. Selama ini, penerbitan instrumen sekuritisasi aset masih didominasi badan usaha milik negara (BUMN).
Oleh karena itu, BI mendorong agar pelaku pasar atau perusahaan-perusahaan bisa menggunakan produk sekuritisasi ini. Apalagi potensinya bisa semakin berkembang dengan adanya Indonesia Investment Authority atau lembaga pengelola investasi milik Pemerintah RI.
Selama ini, penerbitan instrumen sekuritisasi aset masih didominasi badan usaha milik negara (BUMN).
Dengan potensi dana asing yang akan masuk, lanjut Destry, butuh banyak instrumen atau produk investasi untuk menampung dana-dana tersebut. Produk sekuritisasi aset ini seperti Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) dan Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP).
KIK-EBA dan EBA-SP merupakan produk investasi yang saat ini sudah beredar di pasar modal Indonesia. Keduanya merupakan produk hasil sekuritisasi aset keuangan yang diubah dalam suatu bentuk instrumen efek yang dapat memberikan likuidtas sehingga mudah untuk diperdagangkan.
”Manfaat produk ini cukup banyak, baik bagi investor maupun issuer (penerbit). Bagi investor, sekuritisasi aset menjadi alternatif diversifikasi produk baru dengan risiko yang lebih rendah karena memiliki underlying asset (aset dasar),” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menuturkan, sekuritisasi aset dapat menjadi alternatif pembiayaan proyek strategis nasional. Proyek yang sudah rampung berpotensi menjadi aset dasar sekuritisasi yang dananya dapat digunakan untuk mempercepat pembangunan proyek strategis nasional lainnya.
”Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, dibutuhkan skema pembiayaan inovatif untuk memenuhi kebutuhan pembiayan pembangunan yang begitu besar. Hal ini tentunya menjadi perhatian pemerintah bersama BI dan juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kebutuhan investasi untuk pembangunan infrastruktur 2020-2024 sebesar Rp 6.440 triliun. Kemampuan pemerintah diproyeksi hanya memenuhi sekitar 37 persen dari kebutuhan atau Rp 2.385 triliun, sedangkan kontribusi BUMN sekitar 21 persen atau Rp 1.353 triliun.
Di samping itu, pemerintah juga mendorong pembangunan proyek strategis nasional yang terdiri dari 201 proyek dan 10 program pada 23 sektor, dengan total nilai investasi Rp 4.809,7 triliun. Pada 2020, sebanyak 11 proyek senilai Rp 135 triliun telah selesai. Kemudian pada tahun ini, terdapat 38 proyek senilai Rp 464,6 triliun yang akan dirampungkan.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pasar Modal OJK Hoesen berharap, penciptaan surat utang dengan agunan aset atau sekuritisasi aset dapat terus berkembang optimal dan menjadi alternatif pembiayaan di pasar modal yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
”Saat ini pembiayaan keuangan di Indonesia masih didominasi oleh sektor perbankan. Dengan adanya instrumen alternatif seperti sekuritisasi aset, diharapkan akan menambah alternatif sumber pembiayaan lain untuk pelaku ekonomi,” ujarnya.
Saat ini pembiayaan keuangan di Indonesia masih didominasi oleh sektor perbankan. Dengan adanya instrumen alternatif seperti sekuritisasi aset, diharapkan akan menambah alternatif sumber pembiayaan lain untuk pelaku ekonomi.
OJK telah mengatur ketentuan terkait sekuritisasi aset telah diatur dalam Peraturan OJK Nomor 65/POJK.04/2017 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan POJK Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan.
”Aset keuangan dalam sekuritisasi aset itu dapat berupa tagihan kredit, tagihan yang timbul di kemudian hari, pemberian kredit termasuk juga kredit pemilikan rumah atau apartemen, pendapatan di masa mendatang, arus kas di masa mendatang, efek bersifat utang, dan aset keuangan lainnya,” kata Hoesen.
Sepanjang 2020, terdapat sembilan produk KIK-EBA dengan total dana kelolaan sebesar Rp 4,87 triliun. Pada 2020, nilai produk KIK-EBA turun 28 persen dari capaian 2019 yang sebesar Rp 6,78 triliun. Adapun pada triwulan I-2021, tercatat ada tujuh penerbitan produk EBA-SP dengan total dana kelolaan sebesar Rp 4,4 triliun.