Hingga Selasa (23/3/2021), realisasi pengadaan beras oleh Bulog baru mencapai 138.445 ton, sekitar 9,54 persen dari target 1,45 juta ton tahun ini. Rendahnya penyerapan beras turut menekan harga di tingkat petani.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi penyerapan beras produksi dalam negeri oleh Perum Bulog dinilai belum optimal. Dampaknya, harga gabah di tingkat petani tertekan. Petani di sejumlah sentra bahkan melaporkan harga jual gabah anjlok di bawah ongkos produksi sehingga mereka merugi musim ini.
Hingga Selasa (23/3/2021) pukul 21.30, berdasarkan laman resmi Perum Bulog, realisasi pengadaan beras mencapai 138.445 ton. Realisasi itu baru sekitar 9,54 persen dari 1,45 juta ton target pengadaan tahun ini. Angka penyerapan itu juga hanya sekitar 1,43 persen dari perkiraan produksi beras nasional sepanjang Januari-Maret 2021 yang mencapai 9,62 juta ton.
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, penyerapan gabah/beras oleh Bulog seret meski petani telah mengupayakan hasil panennya memenuhi standar penyerapan.
”Petani mengupayakan berasnya mengandung kadar air di bawah 25 persen. Tidak tepat rasanya kalau kadar air di atas 25 persen dijadikan alasan (lesunya penyerapan Bulog),” ujarnya saat dihubungi, Selasa.
Menurut Andreas, impor bukan solusi dari persoalan lemahnya penyerapan gabah/beras oleh Perum Bulog yang berdampak pada stok cadangan beras pemerintah (CBP). Seretnya penyerapan dipicu oleh ketiadaan jaminan penyaluran sehingga stok beras menumpuk tak tersalur. Hingga kini, ratusan ton beras hasil impor tahun 2018 pun masih menumpuk di gudang.
Lesunya penyerapan Bulog telah berlangsung sejak 2018. Pada tahun itu, Bulog ditargetkan menyerap gabah/beras dalam negeri 2,7 juta ton, tetapi realisasinya hanya 1,48 juta ton. Tak hanya itu, sepanjang 2019, Bulog diitargetkan menyerap 1,8 juta ton, tetapi realisasinya 1,2 juta ton.
Melemahnya daya serap Bulog terjadi sejak peralihan bantuan sosial beras sejahtera atau bansos rastra menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT) yang dimulai secara bertahap sejak 2017.
Puncaknya, pada Maret-Mei 2019, peralihan tersebut mencapai 100 persen. Padahal, keran penyaluran beras yang diserap Bulog paling banyak mengalir ke bansos rastra. Oleh sebab itu, peralihan itu membuat Bulog tak memiliki jaminan penyaluran.
Khawatirkan stok
Dalam rapat dengan Komisi VI DPR, Senin (22/3/2021), Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyebutkan, cadangan beras Bulog dapat berada di bawah 500.000 ton tahun ini.
”(Stok) Ini yang saya takutkan karena jumlah 500.000 ton (beras) dapat membuat pemerintah dipojokkan oleh pedagang dan spekulan. Selain itu, penyerapan (Bulog) akhir-akhir ini tidak berjalan dengan baik dan membuat stok Bulog rendah. Meski demikian, saya berjanji tidak ada impor saat panen raya,” katanya.
Menurut dia, harga gabah di tingkat petani turun, di antaranya, karena kandungan airnya tinggi. Akibatnya, Bulog tidak bisa membeli karena Bulog mesti berpedoman pada aturan pengadaan beras untuk CBP.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 menyebutkan, kandungan air gabah kering panen dalam negeri yang dibeli paling tinggi 25 persen dan kadar hampa/kotoran paling tinggi 10 persen. Harga pembelian pemerintah untuk gabah dengan kualitas itu Rp 4.200 per kilogram (kg) di tingkat petani.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Ketua Umum Dewan Beras Nasional Maxdeyul Sola menilai, polemik impor beras tak dapat diselesaikan di tingkat menteri. ”Persoalan ini mesti dibawa hingga ke tingkat Presiden,” katanya saat konferensi pers, Selasa sore.