Pandemi mengubah perilaku konsumsi masyarakat, dari mengikuti keinginan menjadi berdasarkan kebutuhan. Masyarakat juga memburu produk lokal.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pergeseran tren perilaku masyarakat dalam berbelanja banyak dipengaruhi kondisi keuangan yang tertekan akibat pandemi Covid-19. Situasi pandemi memunculkan konsumen bijak yang mencari produk esensial berkualitas dengan harga terjangkau.
Agar tetap relevan, dunia usaha harus mampu merespons pergeseran tren perilaku konsumen.
Kajian Katadata Insight Center, PT Unilever Indonesia Tbj, dan Inventure Consulting, secara terpisah, menggarisbawahi poin yang sama, yakni pandemi Covid-19 selama setahun terakhir menggeser preferensi belanja masyarakat. Masyarakat yang semula berbelanja berdasarkan keinginan demi mengikuti tren dan gengsi, menjadi berbelanja berdasarkan kebutuhan untuk bertahan hidup.
Survei daring Katadata Insight Center bersama Cash Pop pada 26 Februari-1 Maret 2021 terhadap 2.491 responden dari 34 provinsi menunjukkan, kondisi keuangan mayoritas masyarakat yang tertekan akibat pandemi memengaruhi preferensi berbelanja menjadi lebih bijak dan hemat.
Masyarakat yang semula berbelanja berdasarkan keinginan demi mengikuti tren dan gengsi, menjadi berbelanja berdasarkan kebutuhan untuk bertahan hidup.
Selama pandemi, 76,6 persen responden merasa khawatir terhadap kondisi keuangan mereka. Adapun 70,3 persen responden khawatir terhadap masalah kesehatan fisik dan 64,1 persen responden khawatir terhadap kesehatan mental mereka.
Selain itu, 53 persen responden mengatakan kondisi keuangan mereka memburuk akibat pendapatan usaha yang menurun dan pemotongan gaji.
”Hal ini akhirnya ikut memengaruhi preferensi kebutuhan keuangan masyarakat selama pandemi, yaitu mempelajari bagaimana mengelola keuangan lebih bijak dengan pemasukan yang berkurang,” kata Direktur Katadata Insight Center Mulya Amri, Selasa (23/3/2021), dalam acara Katadata Virtual Forum Indonesia Data and Economic 2021, ”New Trend in Consumer Behaviour After Covid-19”.
Kajian Consumer Market Insight oleh PT Unilever Indonesia Tbk juga menunjukkan konsumen semakin hati-hati dan bijak berbelanja. Di tengah pandemi, masyarakat berhadapan dengan kecemasan, baik kesehatan fisik, mental, maupun finansial.
”Maka, buat mereka, kualitas dan merek yang kredibel menjadi nomor satu. Mereka tidak mau rugi membeli barang yang tidak dibutuhkan atau tidak sesuai harapan karena pemasukan berkurang,” ujar Presiden Direktur Unilever Indonesia Ira Noviarti.
Ira mengatakan, perusahaan harus jeli dan inovatif merespons pergeseran tren perilaku berbelanja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa memberatkan mereka. Strategi produksi dan penjualan yang lebih peka terhadap kondisi resesi serta dampaknya terhadap keuangan masyarakat menjadi kunci agar suatu merek tetap relevan di era pandemi.
Di Unilever, yang mayoritas konsumennya masyarakat kelas menengah ke bawah, portofolio produk yang tahan resesi atau relevan dengan kondisi resesi terus dikembangkan. Produk esensial dan dibutuhkan sehari-hari itu tahan lama dengan harga yang lebih terjangkau.
”Inovasi dan transformasi portofolio produk menjadi kunci untuk tetap relevan saat perilaku berbelanja masyarakat bergeser,” kata Ira.
Seiring perilaku berbelanja yang lebih bijak, Inventure Consulting menyoroti tren yang belakangan mencuat, yaitu kesadaran berbelanja produk lokal. Tren ini didorong dua faktor. Pertama, harga produk asing yang lebih mahal akibat disrupsi perdagangan global. Kedua, empati dan sentimen tolong-menolong komunitas yang bangkit selama pandemi.
”Konsumen lebih memilih produk dengan stok barang dan harga terjangkau sehingga pengiriman lebih cepat dan barang masih dalam kondisi aman,” kata Managing Partner Inventure Yuswohady.
Pada awal 2021, sekitar 19 persen dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia atau 12 juta pelaku UMKM telah hadir di platform digital. Pemerintah menargetkan, 30 juta UMKM dapat mengakses platform digital pada 2030.
Tren yang belakangan mencuat, yaitu kesadaran berbelanja produk lokal.
Akan tetapi, menurut Mulya Amri, konsumen tidak hanya mencari kepraktisan, tetapi juga nuansa dan pengalaman. Oleh karena itu, meski penjualan secara daring menjadi krusial, pelaku usaha disarankan tetap mempertahankan penjualan secara luring. ”Orang ingin punya pilihan. Ketika yang dicari yang praktis, mereka akan berbelanja daring. Namun, kalau yang dicari pengalaman, mereka memilih berbelanja langsung ke tempat. Jadi, keduanya harus tetap eksis berdampingan,” ujarnya.