Batubara menjadi pembicaraan utama di tengah gelombang transisi energi dunia. Indonesia perlu merencanakan kebijakannya secara matang terkait pengelolaan sumber daya batubara yang masih melimpah.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Pada tahun 2050 atau 30 tahun lagi, permintaan batubara dunia diperkirakan bakal merosot tajam. Penyebabnya, batubara mulai digantikan sumber energi terbarukan yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Lantas, untuk apa sumber daya batubara yang masih melimpah?
Cadangan terbukti batubara Indonesia tercatat 37 miliar ton. Apabila digabungkan dengan sumber daya batubara, yang statusnya belum dinaikkan sebagai cadangan terbukti, keseluruhannya mencapai 149 miliar ton. Mayoritas batubara Indonesia adalah jenis kalori sedang dan rendah yang jumlahnya mencapai 90 persen.
Dengan angka produksi sekitar 500 juta ton per tahun, umur cadangan batubara Indonesia sekitar 74 tahun dari sekarang. Sebuah masa yang bisa dibilang panjang. Atau juga bisa pendek untuk jenis energi yang tidak bisa diperbarui.
Di luar itu, batubara kerap dituding sebagai biang pencemaran udara dan penyumbang emisi gas rumah kaca. Asap atau debu yang dihasilkan dianggap membahayakan bagi kesehatan dan lingkungan. Namun, tidak bisa diingkari bahwa pasokan listrik di Indonesia masih bergantung pada batubara. Ibaratnya, batubara dibenci sekaligus didambakan.
Dengan angka produksi sekitar 500 juta ton per tahun, umur cadangan batubara Indonesia sekitar 74 tahun dari sekarang.
Tengok saja data bauran energi pembangkit listrik di Indonesia hingga 2020. Peran batubara mencapai 65 persen. Selain itu, dari kontribusi terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di tahun yang sama yang mencapai Rp 34,6 triliun, batubara menyumbang sekitar 85 persen. Sisanya adalah sumbangan dari tambang mineral (emas, tembaga, nikel, bauksit, dan sebagainya). Bagi pemerintah, kontribusi finansial batubara masih sangat berarti.
Transisi
Kembali ke soal nasib batubara yang diperkirakan bakal redup (atau sama sekali musnah?) pada 2050 nanti. Transisi energi sedang terjadi di seluruh dunia. Beberapa negara sudah mengumumkan penerapan net zero emission pada sistem rantai pasok energi mereka. Batubara dan minyak bumi bakal digantikan dengan sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya, bayu, hidro, biomassa, sampai nuklir. Yang terakhir ini masih kontroversial meski tergolong jenis energi yang tidak menghasilkan emisi.
Di Indonesia, kebijakan seperti tersebut di atas, belum ada secara resmi. Dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional ataupun Kebijakan Energi Nasional, misalnya, Pemerintah Indonesia hanya menargetkan penurunan penggunaan energi fosil dan mendorong peningkatan pemakaian energi baru dan terbarukan. Secara de facto, istilah energi baru dan terbarukan lebih mengerucut pada jenis energi terbarukan saja.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menetapkan bauran energi primer pada 2025 terdiri dari batubara sebesar 30 persen; energi baru dan terbarukan 23 persen; minyak bumi 25 persen; dan gas bumi 22 persen.
Adapun target bauran di tahun 2050, peran batubara turun menjadi 25 persen; energi baru dan terbarukan naik menjadi 31 persen; minyak bumi turun menjadi 20 persen; dan gas bumi naik menjadi 24 persen.
Apakah semua pemegang izin tambang batubara mampu (dan bersedia) menerapkan hilirisasi sesuai kewajiban undang-undang?
Jelas bahwa peran batubara mulai dikurangi. Tak ingin sumber daya yang ada menjadi sia-sia, pemerintah kemudian bergegas dengan program gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME) dan metanol. DME diproduksi untuk menggantikan peran elpiji yang 75 persen dari total konsumsi nasional mesti diperoleh dari importasi. Perusahaan tambang batubara didorong untuk memproses batubara menjadi DME atau metanol dan sejauh ini baru PT Bukit Asam Tbk dan Grup Bakrie yang berkomitmen.
Sebagai pemanis, pemerintah menjanjikan royalti nol persen bagi perusahaan tambang batubara yang juga terjun ke bisnis hilirisasi. Harga batubara untuk proyek hilirisasi (menjadi DME atau metanol) diberikan harga khusus. Bahkan, proyek hilirisasi tersebut masuk dalam daftar proyek strategis nasional.
Apakah semua pemegang izin tambang batubara mampu (dan bersedia) menerapkan hilirisasi sesuai kewajiban undang-undang? Apakah mereka punya modal yang cukup? Apa konsekuensinya bagi yang tidak mampu meningkatkan nilai tambah batubara? Banyak yang belum tuntas dalam kebijakan energi kita.