Warung sembako dan toko kelontong melintasi zaman. Buku tulis gelatik catatan utang, toko kelontong dalam kartu pos tahun 1913 dan 1919, serta warung pintar mewarnai perjalanan sektor usaha ekonomi kerakyatan itu.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
FRANSISCA NATALIA UNTUK KOMPAS
Warung Pintar yang berada di daerah Gondangdia, Jakarta Pusat.
Menarik mencermati sejumlah peringatan dilarang utang di sejumlah warung sembako atau toko kelontong yang dimuat di sejumlah media dan media sosial. Misalnya, ”Tidak melayani BON. Hirosima hancur karena BOM, warung hancur karena BON” dan ”Dilarang utang, karena kalau ditagih, galakan yang utang”.
Bahkan ada juga warung yang memasang daftar peringkat pelanggan dengan utang terbanyak. Di samping itu, masih banyak pula warung yang memiliki buku catatan utang para pelanggannya.
Dahulu, deretan utang para pelanggan itu tercatat di buku tulis bersampul keras bermerek gelatik. Buku ini pula yang menjadi identitas para penagih utang yang berkiling dari rumah ke rumah atau warung ke warung.
Di era semakin kuatnya jaringan waralaba ritel dan teknologi informasi, warung sembako atau toko kelontong kecil terus bertahan hidup. Salah satu sektor penopang ekonomi kerakyatan ini bisa bertahan karena mengandalkan tradisi pemasaran tempo dulu dan sekarang. Prinsip dasar layanan dan pemasaran, yaitu kedekatan (proximity), menjadi nilai lebih warung-warung yang hadir di tengah-tengah permukiman.
Budaya jajan anak-anak di warung terdekat dengan berjalan kaki atau bersepeda masih ada. Kebiasaan orangtua meminta tolong anaknya membelikan kebutuhan dapur di warung sembako terdekat juga belum luntur. Bahkan, masih banyak warung yang masih melayani utang bagi warga sekitar karena faktor kedekatan ini.
Budaya jajan anak-anak di warung terdekat dengan berjalan kaki atau bersepeda masih ada. Kebiasaan orangtua meminta tolong anaknya membelikan kebutuhan dapur di warung sembako terdekat juga belum luntur.
Kisah warung sembako atau toko kelontong di Nusantara ini ditengarai bermula pada abad ke-19. Semula barang-barang keseharian ini dijajakan dengan berkeliling oleh pedagang Tionghoa. Mereka membawa tambur kecil yang saat digoyang tali dan biji-bijian di sisi tambur bergerak dan memukul permukaan tambur menciptakan bunyi tong-tong.
Bunyi inilah yang lantas menjadi onomatope kelontong. Namun lambat laun, para pedagang ini tak lagi berkeliling dan memilih menetap di daerah dengan pelanggan terbanyak.
SUMBER: BUKU "PEKERDJA DI DJAWA TEMPO DOELOE
Kartu pos dengan cap pos tahun 1913 bergambar toko kelontong Tionghoa yang dikisahkan dalam buku Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe (2013) karya Oliver Johannes Raap, kolektor kartu pos. Kartu pos yang diterbitkan Kolff & Co ini menunjukkan warung Tionghoa di Weltevreden (kini Jakarta Pusat) yang menjual, antara lain, beras, kopi, rokok, dendeng, sambal, cabai, sirup buah, dan manisan.
SUMBER: BUKU "PEKERDJA DI DJAWA TEMPO DOELOE"
Kartu pos dengan cap pos tahun 1919 bergambar toko kelontong pisang di Batavia ini dikisahkan dalam buku Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe (2013) karya Oliver Johannes Raap, kolektor kartu pos. Kartu pos yang diterbitkan Japansche Toko K Shimane ini bergambar warung buah yang menyajikan pisang, telur, agar-agar, petai, sendok, ceret, mangkuk, rantang, dan cangkir.
Dalam bukunya Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe (2013), Oliver Johannes Raap, kolektor kartu pos, menampilkan dua kartu pos bergambar toko kelontong. Kartu pertama yang diterbitkan Kolff & Co dengan cap pos tahun 1913 berupa foto warung Tionghoa di Weltevreden (kini Jakarta Pusat) yang menjual, antara lain, beras, kopi, rokok, dendeng, sambal, cabai, sirup buah, dan manisan.
Adapun kartu pos kedua bercap pos tahun 1919 yang diterbitkan Japansche Toko K Shimane bergambar warung buah yang menyajikan pisang, telur, agar-agar, petai, sendok, ceret, mangkok, rantang, dan cangkir.
Warung sembako atau toko kelontong terus melintasi zaman. Kehadiran teknologi informasi dan perkembangan usaha-usaha layanan masyarakat membuat warung bertransformasi. Banyak warung sembako yang menjelma menjadi e-warong dan warung pintar.
Muncul pula komunitas toko kelontong masa kini, SRC, yang menggunakan aplikasi digital Ayo SRC. Baik e-warong, warung pintar, maupun SRC tak hanya menjual kebutuhan harian, tetapi juga melayani jasa pembayaran air, listrik, pembelian pulsa dan tiket, serta transkasi perbankan. E-warong bahkan terlibat dalam penyaluran bantuan pemerintah, yaitu program Bantuan Pangan Non-tunai (BPNT) dan Program Keluarga harapan (PKH).
Tata kelola pembukuan warung juga berkembang dengan lahirnya aneka aplikasi antara lain e-kasir, manajemen inventori, dan laporan keuangan. Kehadiran teknologi ini membuat banyak warung mulai meninggalkan buku gelatik dan lebih bisa mengelola kas, transaksi, dan pengelolaan barang dagangan.
Bahkan sejumlah e-dagang di Indonesia semakin memudahkan masyarakat untuk membuka warung. Mereka memfasilitasi para pedagang yang menjual paket-paket membuka warung. Misalnya dengan paket usaha warung kopi yang dibandrol dengan harga Rp 5 jutaan, pembeli bisa memiliki aneka peralatan kopi lengkap. Ada juga paket warung sembako, kebutuhan harian nonpangan, dan toko alat tulis dengan varian paket dari Rp 5 jutaan hingga Rp 25 jutaan.
Sejumlah e-dagang di Indonesia semakin memudahkan masyarakat untuk membuka warung. Mereka memfasilitasi para pedagang yang menjual paket-paket membuka warung.
Pada 2019, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat, jumlah warung tradisional di Indonesia 3,5 juta. Sebagian besar warung tersebut yang memungkinkan untuk dilembangan berbasis teknologi telah dan akan didigitalisasi secara bertahap. Berbagai gerakan dimunculkan untuk melestarikan sektor usaha penopang ekonomi kerakyatan ini, seperti Festival Gerakan Warung Nasional dan Gerakan Belanja di Warung Tetangga.
Gerakan-gerakan itu dapat menopang ketahanan dan keberlanjutan hidup warung atau toko kelontong, terutama di kala pandemi Covid-19. Tentu, niat baik kebijakan ini perlu diikuti dengan kata cukup jika dalam suatu wilayah atau daerah sudah ”kebanjiran” waralaba ritel yang bergerak di bidang usaha yang lebih kurang sama dengan warung dan toko kelontong.