Otomatisasi di pergudangan akan jadi tren di masa depan. Pergudangan pintar akan meningkatkan kualitas penyimpanan dan penyortiran barang.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Laporan perusahaan ilmu data yang berbasis di Austria, StartUs, Januari 2021, membeberkan bahwa tren logistik saat ini dipengaruhi adaptasi teknologi. Tren tersebut berupa penerapan internet untuk segala (IoT), robotik, otomatisasi pergudangan, dan rantai blok (blockhain), kecerdasan buatan (AI), pengiriman jarak jauh, analisis data, komputasi awan, kendaraan nirawak, dan logistik elastis.
Budi Handoko, Co-Founder dan COO Shipper, perusahaan teknologi logistik terintegrasi, dalam konferensi pers virtual, Selasa (23/3/2021), menyoroti tren yang terjadi di sektor pergudangan. Sebagaimana hasil laporan StartUs, menurut dia, industri logistik di seluruh dunia akan semakin mengandalkan otomatisasi untuk menghasilkan peningkatan produktivitas dan efisiensi yang signifikan dalam alur kerja.
”Prinsip otomatisasi dalam gudang pintar (smart warehouse) bisa mengontrol biaya operasional untuk bisnis logistik. Misalnya, cara penyortiran barang menggunakan kendaraan otomatis agar kesalahan tenaga kerja dapat diminimalkan, lalu cara mengatur penyimpanan barang dengan dimensi berbeda agar kapasitas gudang bisa terpakai maksimal,” jelasnya.
Lebih jauh, pergudangan pintar yang memanfaatkan IoT akan membantu pengguna gudang mudah melacak stok barang yang disimpan sehingga mengurangi risiko pesanan gagal. Di sisi lain, pemanfaatan teknologi akan menuntut kebutuhan tenaga kerja berkompeten.
”Agar gudang pintar bisa dimaksimalkan, maka perlu ada talenta yang mampu bekerja dengan sistem yang ada. Jadi, tenaga kerja di pergudangan perlu dilatih lagi,” lanjutnya.
Untuk menyambut tren gudang pintar, Shipper mengadakan kompetisi daring pemrograman selama 48 jam yang akan dilaksanakan pada 9-11 April 2021. Peserta dengan target 80-100 orang pengembang perangkat lunak muda dalam negeri akan dikelompokkan untuk merancang aplikasi yang mendukung sistem pergudangan pintar.
Turunkan biaya
Pergudangan pintar juga bermanfaat untuk mengurangi biaya logistik. Budi menyebutkan, biaya pergudangan rata-rata mengambil porsi 25 persen dari seluruh komponen biaya logistik. Contoh, jika ongkos kirim satu paket senilai Rp 20.000, maka Rp 5.000 untuk proses paket di pergudangan.
Sementara itu, biaya logistik Indonesia terbilang masih tinggi. Penyebabnya adalah sistem pergudangan di Tanah Air yang tidak efisien. ”Rata-rata kondisi pergudangan di Indonesia tidak efisien. Misal, sewa gudang harus per tahun, kalau sewa pun, seringnya kapasitas tidak terpakai maksimal, seperti di ruko yang mungkin hanya terpakai 10-20 persen,” tuturnya.
Shipper menginisiasi sistem pergudangan dengan skema sharing economy atau ekonomi berbagi. Dengan ini, satu gudang dapat dipakai bersama dan disewa dalam waktu tertentu. Skema ini akan meringankan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sejak hadir di 2017, Shipper telah mengelola aset pergudangan seluas 400.000 meter persegi.
Shipper juga menghadirkan solusi logistik dengan konsep ekonomi berbagi pada lebih dari 100 klien korporasi logistik dan mempekerjakan lebih dari 1.900 karyawan yang tersedia di 30 kota di Indonesia. Solusi yang mereka tawarkan diharapkan mendukung UMKM yang ditargetkan sebagai penopang ekonomi, selain mengurangi inefisiensi di bidang logistik.
”Inefisiensi yang kami temukan di sistem logistik kita mulai dari data transaksi yang tidak terorganisasi. Lalu, ada beberapa daerah yang infrastrukturnya belum berkembang, jadi kegiatan rantai pasok ini menantang,” imbuhnya.
Pendiri Supply Chain Indonesia (SCI), Setijadi, pada satu kesempatan, mengatakan, tidak efisiensinya sistem logistik berpengaruh pada daya saing terkait penerimaan bahan baku dan pengiriman barang jadi. Jika biaya logistik dibiarkan semakin mahal, ini dapat mempengaruhi daya saing produk.
”Logistik berkaitan dengan transportasi, pergudangan, dan persediaan. Dari tiga komponen tersebut, biaya transportasi mencakup 70 persen dari biaya logistik,” kata Setijadi.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, di Batam (18/3/2021), mengatakan, biaya logistik di Indonesia 23,5 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Biaya itu jauh lebih tinggi daripada biaya logistik di negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia yang hanya 13 persen dari total PDB.
Secara nasional, saat ini pemerintah tengah mengembangkan sistem National Logistic Ecosystem (NLE), yaitu kolaborasi digital yang mengintegrasikan sistem perizinan ekspor-impor yang dikelola 15 kementerian dan lembaga sekaligus mengintegrasikan layanan logistik dari hulu ke hilir.
Sebagai percontohan, sistem tersebut dibuat terlebih dahulu di pelabuhan di Batam, Kepulauan Riau, dengan nama proyek Batam Logistic Ecosystem. Sistem itu nantinya akan diikuti pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia. Dengan ini, pemerintah optimistis biaya logistik di Indonesia bisa turun menjadi 15 persen PDB pada 2024.