Kalaupun THR tahun ini tetap dicicil, pemerintah akan memberi tenggat pembayaran yang lebih sempit. Misalnya, perusahaan sudah harus membayar THR dalam waktu dua bulan setelah hari raya.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih mencari jalan tengah antara kebutuhan pengusaha dan buruh dalam menyusun aturan pemberian tunjangan hari raya atau THR keagamaan tahun 2021. Kegiatan perekonomian yang mulai tumbuh menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan pemberian THR secara utuh atau bertahap.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi, Senin (22/3/2021), mengatakan, dalam waktu dekat pemerintah akan membicarakan kajian penetapan THR dengan Dewan Pengupahan Nasional untuk meminta masukan dan mencari jalan tengah yang tepat antara kepentingan pengusaha dan buruh.
Kondisi ekonomi yang berbeda antara tahun ini dan tahun lalu akan menjadi salah satu pertimbangan. ”Tahun lalu, kita mengeluarkan surat edaran THR di bulan Mei saat masih awal pandemi. Sementara, saat ini, beberapa kegiatan mulai tumbuh. Jadi, ini sesuatu yang akan menjadi pertimbangan,” kata Anwar saat dihubungi di Jakarta.
Tahun lalu, lewat Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Covid-19, Kemenaker mengizinkan perusahaan swasta menunda atau mencicil pembayaran THR.
Perusahaan yang terdampak pandemi dan tidak mampu membayar THR sesuai jangka waktu yang ditentukan dapat merundingkannya dengan pekerja secara bipartit. Dari hasil dialog itu, bisa disepakati, jika perusahaan tidak mampu membayar THR secara penuh, dapat mencicil atau membayarnya secara bertahap.
Jika perusahaan tidak mampu membayar THR sama sekali, pembayaran THR dapat ditunda sampai jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Namun, pembayaran THR secara bertahap atau ditunda itu tetap harus diselesaikan pada tahun 2020. Kebijakan ini sempat mendapat kritik dari buruh.
Menurut Anwar, ada dua opsi yang tersedia, antara perusahaan diperbolehkan mencicil atau menunda pembayaran THR, atau tetap harus membayarnya utuh secara tepat waktu sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan.
Kalaupun THR tahun ini tetap dicicil, pemerintah akan memberi tenggat pembayaran yang lebih sempit. ”Misalnya, perusahaan sudah harus membayar THR dalam waktu dua bulan setelah hari raya. Jadi, tidak seperti tahun lalu yang biasa dibayarkan dalam periode tahun yang sama,” katanya.
Kalaupun THR tahun ini tetap dicicil, pemerintah akan memberi tenggat waktu pembayaran yang lebih sempit.
Sebelumnya, buruh berharap pemberian THR tahun ini tidak lagi dicicil seperti tahun lalu. Hal ini mengingat kegiatan ekonomi di sejumlah sektor sudah mulai berputar lagi.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan, di tengah daya beli buruh yang sudah berkurang akibat pemangkasan upah, pemutusan hubungan kerja dan perumahan pekerja, serta berhentinya bantuan subsidi upah dari pemerintah, pembayaran THR yang utuh dan tepat waktu dibutuhkan oleh buruh.
”Harus ada keseimbangan dan rasa keadilan antara kepentingan buruh dan pengusaha. Pengusaha sudah dapat stimulus ekonomi, keringanan pajak, maka secara bersamaan THR dan upah buruh pun harus dibayar penuh. Kalau daya beli dan konsumsi meningkat, pertumbuhan ekonomi juga meningkat,” katanya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Ketenagakerjaan Anton Supit mengatakan, kondisi perusahaan sulit digeneralisasi. Meski beberapa sektor mulai tumbuh, tetapi ada sektor seperti pariwisata dan transportasi yang masih dalam keadaan sulit.
”Demikian juga, walau manufaktur mulai ada kegiatan, tetapi belum bisa bekerja maksimal sehingga belum bisa mencapai break even point (pendapatan sama dengan modal yang keluar). Artinya, situasi belum bisa disamakan dengan keadaan normal,” katanya.
Walau manufaktur mulai ada kegiatan, tetapi belum bisa bekerja maksimal sehingga belum bisa mencapai break even point (pendapatan sama dengan modal yang keluar). Artinya, situasi belum bisa disamakan dengan keadaan normal.
Menurut Anton, idealnya, dialog bipartit bisa berjalan dalam penentuan pembayaran THR. Sebab, yang paling mengetahui kondisi perusahaan adalah manajemen serta perusahaan itu sendiri. Namun, dalam penerapannya, kerap ada intervensi dari pihak luar perusahaan yang bisa memengaruhi proses perundingan bipartit.
”Maka, sebaiknya ada kebijakan pemerintah yang menentukan. Yang penting sekarang bagaimana mempertahankan kelangsungan tempat kerja dulu,” katanya.