Didera Pandemi, ”Kampung Starling” Tetap Berdenyut...
Pedagang kopi keliling—sering disebut starling alias Starbucks keliling—memilih bertahan dengan omzet tak menentu di tengah situasi pandemi Covid-19 ketimbang pulang kampung tanpa kepastian.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pedagang kopi keliling alias starling, pelesetan dari Starbucks keliling, menolak kalah dari hantaman pandemi Covid-19. Mereka tetap bersemangat mengayuh pedal sepedanya ke ruang-ruang publik atau pusat keramaian meskipun omzet masih tak menentu.
Denyut usaha dan ikhtiar memperjuangkan hidup dari usaha kecil ini dapat dirasakan di kawasan tempat para starling bermukim di gang sempit pinggir Kali Ciliwung Lama, Selasa (23/3/2021). Tempat mereka bermukim ditandai dengan gapura bertuliskan kawasan Pedagang Kopi Keliling di Jalan Prapatan Baru, Senen, Jakarta Pusat. Banyak pula yang menyebutnya ”Kampung Starling”.
Permukiman yang didominasi bangunan semi-permanen ini tak begitu riuh, kontras dengan ramainya lalu lalang kendaraan di sekitarnya. Sepeda-sepeda yang telah dimodifikasi untuk mengangkut kopi saset, termos air panas, galon air isi ulang masih berjejer di kiri dan kanan jalan selebar 2 meter yang membelah permukiman.
”Gara-gara Covid-19 jadi begini (sepi), pendapatan (berjualan minuman kopi) juga masih anjlok,” ujar Abdullah (30), salah satu starling yang tengah menyusun aneka macam kopi saset di sepedanya.
Setahun Covid-19 melanda, situasi keuangannya belum juga membaik. Pembatasan aktivitas masyarakat di ruang publik menyebabkan pelanggannya masih tak seramai sebelum pandemi. Omzet dari berdagang keliling di Lapangan Banteng, Pasar Baru, Kawasan Monas, dan Gambir, paling banter Rp 200.000 hingga Rp 250.000.
Padahal dalam kondisi normal omzetnya bisa mencapai Rp 500.000. Bahkan bisa lebih dari jumlah itu jika ia makin giat berkeliling selepas pukul 15.00 hingga subuh.
Untuk menyiasati pendapatan yang masih terbatas, Abdullah terpaksa harus mengurangi konsumsi makannya sehari-hari. ”Makan dikurangi, biasanya tiga kali menjadi dua kali (sehari). Rokok juga dikurangi. Harus irit,” ucapnya.
Gara-gara Covid-19 jadi begini (sepi), pendapatan (berjualan minuman kopi) juga masih anjlok. (Abdullah)
Anjloknya omzet juga membuat jatah bulanan untuk istri dan anak di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, terpaksa Abdullah kurangi dari Rp 1 juta menjadi Rp 300.000.
Menurut dia, karena seretnya pendapatan, sudah tiga bulan ini ia juga menunggak biaya indekos Rp 300.000 per bulan. Namun diakui, ia masih bisa sedikit bernapas lega karena pemilik indekos memaklumi kesulitan starling yang masih sepi pembeli.
Bertahan
Abdullah mengaku tidak akan menyerah dan kembali ke kampung halamannya di Pamekasan, meskipun omzet masih tak menentu. Menurut dia, berdagang kopi di Jakarta masih menjanjikan pendapatan dibandingkan di desanya yang minim lapangan pekerjaan.
”Kalau tidak bertahan di sini (Jakarta), mau makan apa. Di sana (Pamekasan) saya tidak punya garapan (pekerjaan) apa-apa,” ucap Abdullah.
Rohim (31), starling asal Sampang, Madura, juga memilih bertahan di Ibu Kota. Ia bersyukur masih ada saja pembeli meskipun situasi pandemi Covid-19 belum usai.
”Alhamdulillah cukup untuk makan dan minum. Kalau untuk menabung, susah sekarang ini,” ujar Rohim.
Kalau tidak bertahan di sini (Jakarta), mau makan apa. Di sana (Pamekasan) saya tidak punya garapan (pekerjaan) apa-apa. (Abdullah -pedagang kopi keliling).
Omzetnya dalam sehari turun dari Rp 700.000 menjadi Rp 250.000 per hari. Omzet itu nantinya akan dipotong biaya untuk belanja kopi saset, sewa termos air panas, galon air isi ulang, dan lainnya.
Di tengah seretnya pemasukan, Rohim yang keliling berjualan kopi di kawasan Sudirman-MH Thamrin, Kebon Sirih, dan Cikini, Jakarta Pusat, ini masih sempat menyisihkan Rp 10.000 hingga Rp 20.000 per hari. Uang itu ia gunakan untuk membayar sewa indekos Rp 300.000 per bulan sehingga ia tak pernah menunggaknya.
Setahun pandemi Covid-19 ini belum tebersit di benak Rohim untuk pulang kampung. Selain pemasukan masih seret, ia tidak ingin jadi beban orangtua di kampung karena tidak punya pekerjaan tetap.
Menomboki
Masih seretnya pendapatan starling juga berdampak pada omzet sales promotion girl (SPG) kopi saset, agen kopi saset, dan pendapatan penyedia penyewaan termos air panas. Acap kali agen dan SPG menomboki belanja kopi saset para starling.
Ati (41), SPG beberapa merek kopi saset, setiap hari membawa berkarton-karton kopi saset dari Cilandak, Jakarta Selatan, ke Kampung Starling. Perusahaan menargetkan penjualan 15 kardus kopi saset dalam sehari jika ingin mendapatkan bonus Rp 75.000.
Nyatanya target itu sulit tercapai karena situasi pandemi Covid-19. Dalam sehari, menurut Ati, paling banyak laku terjual sembilan kardus kopi saset dan itu pun jarang sekali tercapai.
Namun, agar tetap bisa memperoleh bonus, Ati pun memaksakan menyalurkan 15 kardus kopi sehari kepada para starling. Akibatnya, ia harus menomboki pembelian kopi ke agen kopi saset yang bisa mencapai Rp 100.000 sehari.
”Perusahaan tidak mau tahu. Jalan keluarnya saya menomboki dulu barang ke agen. Biasanya menomboki Rp 50.000-Rp 100.000 per hari supaya laku dan bisa dapat bonus. Jadi, barang tidak menumpuk di rumah,” kata Ati.
Haji Usman, salah satu agen kopi saset di Kampung Starling ini tidak mempermasalahkan kalau ada pedagang kopi keliling yang berutang kopi saset. Ia pun bersedia menombokinya terlebih dahulu.
Ia mengaku memahami situasi saat ini tidak begitu baik karena starling kehilangan pembeli sehingga belum sanggup melunasi tunggakan belanja barang. ”Tidak apa-apa, mereka juga mencicil walaupun tidak setiap hari,” ujar Usman.
Ida (49), agen kopi saset lainnya, juga memberi keringanan kepada starling. Menurut dia, pandemi membuat starling hanya membawa 20-25 renteng kopi saset dalam sehari. Itu pun belum tentu ludes terjual.
”Kalau sebelum pandemi bisa bawa sampai 50 renteng. Perputaran barangnya cepat. Sekarang ini belum bisa, jadi harus saling mengerti antara kami (agen) dan starling,” kata Ida.
Sementara itu, penyedia penyewaan termos air panas seperti Sitiah (60) mengaku hanya kehilangan sedikit pendapatan. Setiap termos air panas ia sewakan seharga Rp 2.000. Sebelum pandemi, ia bisa menyewakan 40 termos, tetapi selama pandemi turun menjadi 30 termos sehari.
”Satu starling biasa ambil dua termos. Kalau habis, mereka beli air panas di luar. Pandemi begini saya tidak mungkin menaikkan harga. Nanti anak-anak (starling) pada teriak-teriak (mengeluh),” kata Sitiah.
Meskipun pelemahan ekonomi masih mendera akibat pandemi Covid-19, para starling ini menunjukkan semangat juang untuk mempertahankan usaha demi penghidupan lebih baik itu tak pernah surut. Geliat mereka membuat Ibu Kota pun tetap berdenyut.