Rumah "Impian" Masih Sukar Terjangkau Pekerja Muda
Pekerja muda menyadari pentingnya punya rumah sendiri walaupun nyatanya mereka kerepotan karena tidak punya cukup tabungan atau terganjal besaran cicilan kredit pemilikan rumah.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·5 menit baca
Banyak pekerja muda mengimpikan memiliki rumah sendiri. Setidaknya rumah itu bisa terjangkau transportasi umum, punya cukup ruangan, dan sedikit halaman. Namun, impian itu tidak mudah terwujud karena kendala bujet dan kondisi ekonomi yang tak menentu selama pandemi Covid-19.
Sebagian dari mereka ada yang belum punya cukup uang untuk membayar uang muka rumah. Ada pula yang terganjal besaran cicilan kredit pemilikan rumah (KPR), dan panjangnya masa KPR. Sementara saat ini masih terjadi pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang sewaktu-waktu bisa mengancam pemotongan gaji hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
Evania (27), karyawan swasta di Pancoran, Jakarta Selatan, ini mengimpikan punya rumah sendiri sehingga lebih mandiri karena tak lagi seatap dengan orangtuanya. Ia pun sudah mulai mencari informasi rumah di kisaran harga Rp 400 juta di kawasan Jakarta dari situs internet, iklan, dan pameran.
"Rumah minimalis, terjangkau transportasi umum, dan yang penting sesuai bujet," ujar Evania, Senin (22/3/2021).
Sayangnya pencarian rumah impian itu belum membuahkan hasil. Sebagian besar rumah yang sesuai kemampuan bujetnya berada di daerah Parung di Bogor, Jawa Barat, dan Maja di Lebak, Banten, yang memakan jarak tempuh lebih dari 40 kilometer ke Jakarta.
Belum lagi melemahnya ekonomi akibat pandemi Covid-19 membuat Evania juga khawatir akan alami pemotongan gaji hingga PHK. Jika kekhawatirannya terjadi maka ia pun tak akan mampu memenuhi cicilan KPR.
"Rencana memiliki rumah masih belum sejalan dengan uangnya dan juga masalah pekerjaan. Apakah bisa aman selama masa panjang KPR atau tidak? Sekarang kan pandemi," kata Evania.
Pilihan paling realistis menurutnya ialah indekos atau mengontrak rumah. Tentu saja keduanya harus terjangkau dengan transportasi umum untuk menunjang aktivitasnya bekerja.
"Rencana memiliki rumah masih belum sejalan dengan uangnya dan juga masalah pekerjaan. Apakah bisa aman selama masa panjang KPR atau tidak? Sekarang kan pandemi," kata Evania.
Valentina Sitorus (26), pekerja di salah satu media massa di Jakarta Pusat juga mengimpikan punya rumah sendiri. Kriteria rumah impiannya itu antara lain punya dua kamar, terjangkau transportasi umum, dan punya cukup ruang terbuka hijau.
Pencarian rumah membawanya berkeliling ke Pamulang (Tangerang Selatan), Jonggol (Bogor), dan Cibubur (Jakarta Timur). Dari situ ia berencana membeli rumah tipe 70 dengan kisaran harga Rp 800 juta.
Konsultan salah satu pengembang perumahan pun menyarankannya untuk membeli rumah setelah menikah saja. Dengan begitu cicilan bakal lebih ringan karena ditanggung suami dan istri.
"Kalau setelah menikah setidaknya bisa bayar berdua, beban lebih ringan," ucap Valentia.
Ia masih menimang-menimang saran dari konsultan sekaligus menghitung jangka waktu cicilan rumah yang cocok dengan uang muka 15 persen dari harga rumah.
Fisena Hardiyanto (29), karyawan swasta di Jakarta Timur ini pun mengimpikan bisa membeli rumah atau apartemen. Ia mencari informasi dari situs internet dan menelepon agen perumahan untuk menemukan hunian yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, mudah diakses dengan transportasi umum, dan bebas banjir.
Selain itu, hunian yang dibangun oleh pengembang terpercaya juga menjadi prioritasnya agar bisa diperoleh kualitas bangunan yang baik serta tidak bermasalah di kemudian hari. Namun diakui Fisena, bujet yang dimilikinya belum dapat memenuhi syarat uang muka 10 persen dari harga rumah agar bisa memperoleh pembiayaan KPR.
"Sebetulnya ingin punya hunian sendiri. Masih terkendala dengan persyaratan pembiayaan minimal jika kita menggunakan KPR, kalau tunai belum mampu," ucap Fisena.
Saat ini ia masih menyewa apartemen di Pulo Gadung. Biaya sewa dan perawatan unit berkisar Rp 25 juta hingga Rp 30 juta dalam setahun.
Belum sanggup
Survei sejumlah lembaga menunjukkan pekerja muda dalam rentang kelahiran tahun 1980-2000 atau milenial memprioritaskan membeli rumah meskipun belum mampu secara finansial.
Rumah.com, salah satu situs properti ini mempublikasikan survei
Consumer Sentiment Survey H1 2021 terhadap 1.078 responden. Dari survei itu diketahui sebanyak 62 persen responden adalah kalangan usia 22-39 tahun. Satu dari tiga pekerja di rentang usia itu masih tinggal bersama orangtuanya.
Sebanyak 11 persen dari milenial yang tinggal bersama orangtua itu mengaku belum berencana keluar dari rumah orangtua dalam satu tahun ke depan. Mereka belum punya cukup uang untuk membeli atau menyewa rumah sendiri meskipun sudah menyadari pentingnya memiliki rumah sendiri sejak usia muda.
Di sisi lain 56 persen milenial berencana punya properti sendiri paling lambat ketika berusia 31 tahun. Di tengah situasi pandemi ini mereka masih menganggap rumah sebagai hal penting yang harus diwujudkan. Bahkan, ketika ditanya prioritas pengeluaran, sebanyak 77 persen mengaku memprioritaskan untuk membeli rumah.
Daryatmo, pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ini menyampaikan, kalau pemerintah serius membantu pekerja muda maka akan lebih adil kalau patokan penghasilan untuk KPR berdasarkan upah minimum regional. Sebab, laju kenaikan harga rumah jauh lebih cepat ketimbang laju kenaikan upah minimum pekerja.
"Sementara (faktanya sekarang) kebijakan subsidi rumah lebih dinikmati kelompok menengah ke atas. Padahal dalam memenuhi kebutuhan rumah, pemerintah bisa memfasilitas rumah sewa terjangkau bagi pekerja," kata Daryatmo.
Bank Indonesia telah memberi kelonggaran bagi perbankan untuk menyalurkan kredit pemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor tanpa uang muka. Relaksasi ini untuk mengungkit daya konsumsi masyarakat (Kompas, 22 Februari 2021).
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk melonggarkan rasio pinjaman terhadap aset (loan to value/LTV) KPR menjadi paling tinggi 100 persen untuk semua jenis properti, baik rumah tapak, rumah susun, maupun ruko atau rukan. Ketentuan berlaku bagi bank yang memenuhi kriteria tertentu dan berlaku 1 Maret-31 Desember 2021.
Daryatmo, pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ini menyampaikan, kalau pemerintah serius membantu pekerja muda maka akan lebih adil kalau patokan penghasilan untuk KPR berdasarkan upah minimum regional. Sebab, laju kenaikan harga rumah jauh lebih cepat ketimbang laju kenaikan upah minimum pekerja.
Menanggapi kebijakan BI tersebut, Tanto Kurniawan, pengamat properti ketika dihubungi lewat telepon mengatakan, ketentuan uang muka 0 persen untuk kredit rumah tidak lantas membuat bank mudah memberikan kredit.
Sebaliknya, bank lebih bersikap hati-hati. Sikap itu diambil untuk menghindari gagal bayar dari pembeli, serta mengecek kemampuan pengembang jika terjadi gagal bayar tersebut.
"Bank membiayai 100 persen sehingga mereka mencegah jangan sampai pembeli asal-asalan. Situasinya seperti itu, ada kehati-hatian proses pemberian kredit," ujar Tanto.