Pemerintah Diminta Fokus Kembangkan Energi Terbarukan
Indonesia memiliki waktu yang terbatas untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen di tahun 2025. Sampai tahun lalu, porsinya masih sekitar 11 persen sehingga keseriusan pemerintah diperlukan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai kurang fokus pada pengembangan salah satu jenis energi terbarukan di Indonesia. Sampai tahun 2020, peran energi baru dan terbarukan mencapai 11,2 persen. Dalam Kebijakan Energi Nasional, peran energi baru terbarukan sedikitnya 23 persen dalam bauran energi nasional pada tahun 2025.
Anggota Komisi VII DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Syaikhul Islam, berpendapat, pengembangan energi terbarukan di Indonesia tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Padahal, potensi energi terbarukan di Indonesia terbilang melimpah. Pemerintah dipandang perlu fokus pada satu jenis energi terbarukan untuk dikembangkan lebih masif.
“Kemajuannya (pengembangan energi terbarukan) masih begini-begini saja. Katanya mau berharap pada PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) untuk mendorong energi terbarukan. Sebaiknya pemerintah fokus pada jenis energi terbarukan apa yang hendak didorong,” kata Syaikhul dalam rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Senin (22/3/2021).
Dyah Roro Esti dari Partai Golkar menambahkan, pemerintah sebaiknya konsisten terhadap rencana atau kebijakan energi yang sudah ditetapkan. Target 23 persen energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional harus terpenuhi. Pemerintah juga harus memberi keputusan kapan Indonesia bebas dari emisi karbon (net zero carbon).
Pemerintah juga harus memberi keputusan kapan Indonesia bebas dari emisi karbon (net zero carbon).
“Apakah Indonesia siap bebas dari karbon pada 2050? Kapan batubara akan ditinggalkan? Ingat, kebijakan energi yang merupakan tindak lanjut Perjanjian Paris 2015 harus konsisten dilaksanakan,” kata Dyah.
Menjawah pertanyaan sejumlah anggota dewan tersebut, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengemukakan, pemerintah tetap berkomitmen untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Dalam pembahasan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), peran energi baru dan terbarukan tetap diberi ruang.
“Kendalanya adalah program pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) terlalu banyak atau didominasi oleh pembangkit berbahan bakar batubara,” kata Arifin.
Untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia, selain mempercepat proyek pembangkit listrik energi terbarukan, imbuh Arifin, PLN mengganti sejumlah pembangkit listrik tenaga diesel dengan bahan bakar gas atau energi terbarukan. Pemerintah bersama PLN juga menerapkan metode co-firing pada beberapa PLTU. Metode ini mencampurkan biomassa (pelet kayu) dengan batubara dalam kadar tertentu.
Dalam pembahasan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), peran energi baru dan terbarukan tetap diberi ruang.
Potensi energi terbarukan di Indonesia terbilang melimpah dengan jenis tenaga surya yang paling besar, yaitu 207.800 MW. Disusul kemudian potensi hidro 75.000 MW; bayu atau angin 60.600 MW; bioenergi 32.600 MW; panas bumi 23.900 MW; dan samudera (arus laut) 17.900 MW. Sayangnya, potensi sebesar itu baru termanfaatkan sebesar 10.400 MW atau sekitar 2,5 persen saja.
Sebelumnya, sejumlah pihak berpendapat bahwa perlu niat politik dari pemerintah untuk benar-benar mewujudkan komitmen terhadap Perjanjian Paris 2015 yang ikut ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia. Niat tersebut harus dibuktikan dengan kebijakan yang lebih pro terhadap pengembangan energi terbarukan di dalam negeri. Begitu juga dengan kebijakan yang mengatur segala hal terkait energi.
“Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi perlu didesain ulang agar lebih gamblang dan mengikat. Hal-hal terkait transisi energi harus diatur lebih jelas dan bersifat mengikat bagi seluruh pemangku kepentingan,” kata pakar hukum energi pada Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Irine Handika.