Indonesia-Australia Berpeluang Tingkatkan Pengembangan Peternakan Sapi
Indonesia-Australia berpeluang meningkatkan kolaborasi pengembangan ternak sapi. Langkah ini diharapkan dapat menguntungkan kedua negara dalam memperkuat rantai pasok dan keterhubungan dengan rantai nilai global.
Oleh
cyprianus anto saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dan Australia berpeluang meningkatkan dan memperdalam kerja sama pengembangan peternakan sapi. Kedua negara mesti berkolaborasi mengoptimalkan keunggulan komparatif masing-masing demi manfaat dan keuntungan bersama.
Meat and Livestock Australia (MLA) mencatat, per 30 Juni 2020, Australia memiliki 24,6 juta ekor sapi. Pada 2020, Australia memotong sekitar 7,2 juta ekor sapi dan mengekspor 1,06 juta ekor sapi hidup. Ekspor Australia selama ini menjangkau ke hampir 100 negara.
”Indonesia adalah salah satu mitra dagang terpenting. Hubungan kemitraan ini telah berjalan 30 tahun lebih, terutama dari segi rantai pasok sapi hidup,” kata Chief Representative MLA Indonesia Valeska pada diskusi daring, Senin (22/3/2021).
Menurut Valeska, masih banyak hal yang dapat dijalankan bersama seiring kenaikan pendapatan, pemulihan dari pandemi Covid-19, dan peningkatan konsumsi daging sapi di Indonesia. Upaya ini dibutuhkan dalam melakukan transformasi rantai pasok dan menjadi bagian rantai nilai global.
Kondisi geografis dan iklim Australia membentuk cattle pathways (jalur ternak) selama bertahun-tahun di negara tersebut. Sebagian besar sapi hidup diekspor melalui bagian utara Australia. Sementara sapi-sapi yang berada di bagian selatan Australia terutama masuk ke rumah pemotongan hewan.
”Bagian utara lebih tropis. Australia mempunyai lahan yang luas di utara untuk mengembangbiakkan dan menggembalakan sapi. Tapi di sana tidak banyak pakan bernutrisi untuk menggemukkan sapi,” kata Valeska.
Sementara itu, lanjut dia, Indonesia memiliki pakan sapi yang lebih murah. Secara geografis, biaya logistik pengiriman sapi ke Indonesia lebih murah dibandingkan biaya menggiring sapi dari bagian utara ke bagian selatan Australia.
Indonesia memiliki pakan sapi yang lebih murah. Secara geografis biaya logistik pengiriman sapi ke Indonesia lebih murah dibandingkan biaya menggiring sapi dari bagian utara ke bagian selatan Australia.
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (Unpad) Rochadi Tawaf mengatakan, diperlukan terobosan pola pikir dan pola tindak dalam meningkatkan produksi sapi di Indonesia. Indonesia dan Australia harus berkolaborasi secara ideal untuk menguatkan rantai pasok.
”Filosofinya adalah simbiosis mutualisme, hidup berdampingan, saling memanfaatkan peluang dengan menutupi kelemahan melalui keunggulannya atau berbagi peran. Basisnya adalah untuk memperkuat pembiakan,” ujarnya.
Menurut Rochadi, ada celah kerja sama dengan Australia dalam mengembangkan peternakan sapi. Pertama, pembiakan dilakukan oleh korporasi dalam skala industri dengan insentif. Sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pembibitan adalah tugas pemerintah sehingga insentif harus diberikan kepada mereka yang melakukan upaya-upaya pembiakan.
Kedua, prioritas bisnis peternakan rakyat adalah penggemukan. Ketiga, pemanfaatan lahan pascatambang dan industri perkebunan melalui kerja sama bisnis ke bisnis, pemerintah ke pemerintah, atau bisnis ke pemerintah.
”Selain itu, pengembangbiakan sapi di pulau-pulau terluar, khususnya pulau kosong, terutama di wilayah timur Indonesia, perlu terus ditingkatkan,” kata Rochadi.
Terkait poin terakhir ini, Unpad telah memiliki kajian tentang pemanfaatan pulau terluar. Salah satu yang dapat menjadi bahan pembelajaran adalah pengembangan kerbau di Pulau Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya. Pulau Moa ini relatif dekat dengan Darwin, Australia.
Pengembangbiakan sapi di pulau-pulau terluar, khususnya pulau kosong, terutama di wilayah timur Indonesia, perlu terus ditingkatkan.
Ketua Komite Tetap Industri Peternakan dan Kemitraan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Yudi Guntara Noor menuturkan, beberapa provinsi di Jawa selama ini mendominasi produksi ataupun konsumsi daging sapi. ”Produksi daging sapi menandakan seberapa banyak sapi yang dipotong atau daging sapi yang masuk ke wilayah tersebut,” katanya.
Sekitar 56 persen produksi daging ada di Jawa, terutama di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Adapun sekitar 69 persen konsumsi daging berada di Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah.
Kadin Indonesia memperkirakan kebutuhan daging sapi atau kerbau secara nasional tahun 2021 sebanyak 696.956 ton. Sementara itu, ketersediaan pasokan daging sapi atau kerbau lokal hanya 473.814 ton sehingga terjadi kekurangan 223.142 ton.
Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Peternakan dan Perikanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Pujo Setio menuturkan, impor sapi bakalan maupun dalam bentuk daging beku selama ini menjadi salah satu upaya dalam memenuhi kebutuhan daging sapi nasional.
Impor ini dapat dikurangi apabila Indonesia dapat meningkatkan populasi ternak sapi dalam negeri. Upaya ini akan ditempuh melalui pengembangan usaha peternakan terintegrasi, program 1.000 desa sapi dan program Sikomandan (Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri), serta program bank pakan.