DPRD Kendari Desak Perusahaan Perikanan Tertib Aturan Ketenagakerjaan
Masih banyak persoalan yang dialami pekerja harian di sektor perikanan termasuk upah maupun status kerja, Komisi D DPRD Kendari mendesak perusahaan perikanan mematuhi aturan ketenagakerjaan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Komisi I DPRD Kendari mendesak perusahaan perikanan mematuhi aturan ketenagakerjaan, khususnya terkait pekerja harian lepas. Selama ini, pekerja harian di sektor ini sering mendapat perlakuan tidak layak, baik terkait upah maupun status kerja. Aturan ketat hingga sanksi penting diutamakan.
Ketua Komisi I DPRD Kendari Rizki Berlian Pagala menyampaikan, pihaknya mendorong agar perusahaan perikanan tertib melaporkan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan, lengkap dengan status kerja yang diterapkan. Tidak hanya pekerja waktu tetap atau tidak tetap, tetapi juga pekerja borongan atau harian lepas.
“Hari ini kami berkunjung ke PT Kelola Mina Laut, terkait pertemuan di DPRD Kendari sebelumnya, untuk memastikan terkait status pekerja harian atau borongan. Hal ini memang menjadi masalah dan sepatutnya untuk diselesaikan,” kata Rizky, di sela kunjungannya di PT KML, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (22/3/2021).
Sejumlah anggota Komisi I DPRD Kendari yang hadir juga melakukan pemantauan ke pabrik pengolahan ikan dan gurita di perusahaan yang berpusat di Gresik, Jawa Timur ini. Sebelumnya, tiga orang mantan pekerja di PT KML yang telah berusia lanjut, berjuang menuntut keadilan setelah tidak dipekerjakan lagi oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka tidak mendapat pesangon dan jaminan kesehatan meski bekerja sampai sakit dan harus terus berobat sampai saat ini
Ketiga lansia tersebut yakni Norma (66), Sumiati (65), dan Yodiati (48), diduga mendapatkan perlakuan tidak bertanggung jawab dari perusahaan pengolahan ikan itu. Saat ini, mereka telah menjalani persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial Kendari, namun tuntutan mereka ditolak. Seorang di antaranya, Sumiati, meninggal dunia pertengahan Desember lalu karena sakit yang diderita.
Kami juga sampaikan agar perusahaan melaporkan jumlah pekerja borongan minimal satu pekan ke depan. Kami juga mengingatkan Dinas terkait agar tidak ada lagi kejadian seperti ini (Rizki Berlian Pagala)
Menurut Rizky, sejauh ini, status pekerja borongan tersebut memang tidak diatur dengan baik oleh perusahaan, utamanya terkait besaran upah, hingga perjanjian kerja. Hal ini yang menjadi dasar polemik sehingga pekerja merasa haknya tidak penuhi.
“Kami juga sampaikan agar perusahaan melaporkan jumlah pekerja borongan minimal satu pekan ke depan. Kami juga mengingatkan Dinas terkait agar tidak ada lagi kejadian seperti ini. Kajian ini perlu ditindaklanjuti dalam aturan, baik berupa Peraturan Wali Kota, maupun Perda nantinya karena bukan hanya terkait PT KML ini, tetapi juga perusahaan perikanan yang ada di Kendari,” tambah Rizki.
Membuat perjanjian kerja
Irwan Sukma, anggota Komisi I DPRD Kendari menekankan, aturan terkait ketenagakerjaan penting untuk dipatuhi. Perusahaan juga sebaiknya membuat perjanjian kerja, baik itu untuk pekerja borongan, agar menjadi pegangan dalam pemberian upah.
Menurut Irwan, pihaknya juga tetap menjaga investasi tetap bisa berjalan, utamanya di masa pandemi Covid-19 saat ini. Akan tetapi, perusahaan juga harus tertib, dan melandaskan kegiatannya sesuai aturan yang berlaku.
Menanggapi hal tersebut Manager PT KML Kendari Ridwan Firdaus menyampaikan, pihaknya menyambut baik masukan dan evaluasi DPRD Kendari terkait sejumlah hal terkait ketenagakerjaan. Komunikasi dan penyelesaian masalah tetap akan dilakukan meski sejumlah persoalan telah masuk dalam bidang hukum.
“Kalau untuk tiga pekerja kan sudah masuk di pengadilan, dan sudah ada hasil. Sebelum masuk ke persidangan pun kami melakukan proses bipartit, mediasi, dan komunikasi, tetapi tidak ada titik temu,” ucapnya.
Terkait pekerja borongan atau harian lepas, tambah Ridwan, adalah mereka yang bekerja ketika bahan baku tersedia. Jika tidak ada bahan baku, baik ikan maupun gurita, maka para pekerja ini tidak masuk untuk bekerja.
Masalah ketenagakerjaan di perusahaan ini tidak hanya terkait gugatan tiga orang nenek tersebut. Seorang pekerja borongan yang menjadi saksi dalam sidang gugatan tiga nenek di pengadilan juga diberi surat peringatan dan tidak pernah dipanggil lagi untuk bekerja.
Tidak dipekerjakan
Citra (25), pekerja borongan yang tidak lagi dipekerjakan tersebut menceritakan, ia telah bekerja saat umurnya masih belasan tahun di PT KML. Setelah menikah, ia sempat berhenti setahun, lalu terus bekerja hingga 2020 lalu. Di Oktober 2020, ia menjadi saksi gugatan tiga orang nenek di Pengadilan Hubungan Indsutrial.
“Habis itu tidak pernah dipanggil lagi. Yang bikin susah, karena kami tidak tahu berapa besaran upah dari pekerjaan sudah digarap. Misalnya, kerja gurita, per kilogramnya gaji berapa. Nanti keluar gaji per dua minggu baru tahu dapat berapa. Bisa Rp 500.000 atau Rp 700.000. tapi hitungannya tidak jelas, maka hal ini yang dituntut teman-teman,” ucapnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, mensyaratkan pekerja harian lepas adalah mereka yang bekerja kurang dari 21 hari dalam satu bulan. Akan tetapi, jika mereka tiga bulan berturut-turut, status kerja masuk dalam kategori Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau tenaga kontrak.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kendari Benyamin Salempang mengatakan, pekerja borongan atau harian lepas itu memang merupakan keputusan antara perusahaan dengan pekerja. Pemerintah hanya mengatur lama kerja dalam sebulan, dan waktu kerja dalam satu pekan.
“Soal upah itu bukan wewenang kami. Sekarang Sudah ada UU Cipta Kerja yang baru, dan sedang menunggu turunan peraturan Menteri-nya. Di situ akan diatur lebih detail terkait hal ini,” tutur Benyamin.