Abaikan Perintah OJK, Perwakilan Anggota Bumiputera Jadi Tersangka
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Nurhasanah, Ketua Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera periode 2018-2020, sebagai tersangka.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Ketua Badan Perwakilan Anggota periode 2018-2020 Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera, Nurhasanah, sebagai tersangka. Penetapan berdasarkan dugaan Nurhasanah mengabaikan perintah otoritas terkait penyelesaian masalah yang membelit Bumiputera.
Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK Tongam L Tobing menilai, Ketua Badan Perwakilan Anggota (BPA) periode 2018-2020 ini tidak melaksanakan atau tidak memenuhi Perintah Tertulis OJK perihal implementasi ketentuan Pasal 38 anggaran dasar Bumiputera.
Sesuai pasal tersebut, apabila Bumiputera mengalami kerugian yang tidak dapat ditutupi dengan dana cadangan umum dan dana jaminan, BPA diharuskan menyelenggarakan sidang luar biasa untuk memutuskan langkah selanjutnya. Langkah tersebut dapat berupa likuidasi, atau melanjutkan pendirian Bumiputera dengan mempertahankan bentuk usaha bersama atau mengubah bentuk badan usaha.
”Berdasarkan pemeriksaan para saksi, terbukti sampai dengan 30 September 2020, perintah tertulis OJK tidak dilaksanakan. Perbuatan Nurhasanah mengakibatkan terhambatnya penyelesaian masalah yang dihadapi Bumiputera,” kata Tongam saat dihubungi, Jumat (19/3/2021).
Berdasarkan pemeriksaan para saksi, terbukti sampai dengan 30 September 2020, perintah tertulis OJK tidak dilaksanakan.
Menurut laporan kinerja AJB Bumiputera pada 2019, pendapatan premi Bumiputera Rp 2,99 triliun atau turun 10,74 persen dibandingkan dengan realisasi 2018 yang sebesar Rp 3,35 triliun. Sementara, klaim dan manfaat yang dibayarkan Rp 4,59 triliun atau turun 32,2 persen dari realisasi 2018 yang sebesar Rp 6,77 triliun.
Pada 2019, Bumiputera rugi Rp 48,98 miliar. Nilai kerugian ini lebih kecil dibandingkan dengan 2018 yang rugi Rp 1,99 triliun. Sementara aset pada 2019 sebesar Rp 9,97 triliun atau turun 4,59 persen dari 2018, yakni Rp 10,45 triliun.
Tongam memastikan, penetapan Nurhasanah sebagai tersangka telah melalui langkah-langkah hukum sesuai ketentuan. Penyidik OJK memastikan terjadi dugaan pelanggaran tindak pidana sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Undang-Undang 21 Tahun 2011 tentang OJK.
”Sebelumnya, penyidik juga sudah meminta keterangan berbagai pihak, seperti pelapor, para saksi terkait, para ahli, serta berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Petunjuk teknis
Nurhasanah yang dihubungi Kompas menegaskan, perintah tertulis belum dapat dilaksanakan karena tidak ada petunjuk teknis dari OJK. Kondisi tersebut membuat ia yakin tidak melanggar hukum.
”Sebagai pemegang polis yang mewakili para pemegang polis lainnya, saya tegaskan tidak mengabaikan perintah tertulis OJK. Perintah itu belum bisa terlaksana karena persoalan teknis,” ujarnya.
Nurhasanah menekankan, sudah membalas perintah OJK melalui surat berisi penjelasan bahwa Pasal 38 Anggaran Dasar Bumiputera belum dapat langsung diimplementasikan. Dalam pasal tersebut, kerugian yang dialami perusahaan akan ditanggung bersama oleh seluruh pemegang polis.
”Dalam hal ini, pemegang polis harus diberi tahu, apakah mereka setuju atau tidak untuk menanggung kerugian bersama. Ada jutaan pemegang poli. Kalau kami merencanakan tanpa persetujuan mereka, tentu tidak bisa,” tambahnya.
Sebagai pemegang polis yang mewakili para pemegang polis lainnya, saya tegaskan tidak mengabaikan perintah tertulis OJK.
Pasal 40 Anggaran Dasar Bumiputera mengatur pelaksanaan Pasal 38 harus memenuhi persetujuan 50 persen ditambah 1 pemegang polis. Implementasi Pasal 38 tersebut juga perlu melibatkan direksi dalam tataran kebijakan operasional, mulai dari komunikasi kepada para pemegang polis hingga teknis menjaring aspirasi. Implementasi itu memerlukan arahan OJK.
”Apakah pemegang polis yang jutaan orang di seluruh Indonesia ini rela (Pasal 38) dilaksanakan? Kita ini, kan, cuma wakil,” katanya.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Riswinandi mengatakan, peningkatan kegiatan usaha lembaga jasa keuangan non-bank (LJKNB) dengan risiko yang semakin kompleks perlu diiimbangi penerapan manajemen risiko yang memadai.
”Penerapan manajemen risiko tersebut tidak hanya ditujukan bagi kepentingan LJKNB, tetapi juga bagi kepentingan masyarakat yang menggunakan jasa dan layanannya,” ujar Riswinandi.
Riswinandi memaparkan tiga manfaat penerapan manajemen risiko di LJKNB. Pertama, lembaga bersangkutan dapat mengidentifikasi, mengukur, mengendalikan, dan memantau risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usahanya dengan baik.
Kedua, LJKNB dapat melakukan kegiatan usaha sesuai peraturan perundang-undangan serta standar, prinsip, dan penyelenggaraan praktik usaha yang sehat.
Ketiga, dari penerapan ini, perusahaan asuransi dan reasuransi akan senantiasa memenuhi kewajiban kepada konsumen sesuai dengan yang diperjanjikan.
”Penerapan manajemen risiko wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha perusahaan dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi dan potensi permasalahan yang dihadapi,” kata Riswinandi.