Topang Pemulihan lewat Dunia Usaha
Implementasi kebijakan kerap kali tak berdampak konkret di lapangan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menentukan arah kebijakan untuk mendongkrak keunggulan kompetitif industri dalam negeri dalam menopang pemulihan ekonomi nasional.
Akan tetapi, implementasi kebijakan tidak berjalan mulus. Akibatnya, pelaku usaha perlu bersusah payah untuk bangkit di tengah pandemi.
Situasi itu terungkap dalam diskusi panel ekonomi harian Kompas bertema ”Mengoptimalkan Stimulus Pemulihan Ekonomi” secara dalam jaringan, Kamis (18/3/2021).
Dunia usaha sulit mengembalikan pinjaman kepada bank sehingga potensi kredit macet meningkat.
Diskusi yang dimoderatori redaktur senior Kompas Ninuk Mardiana Pambudy itu menghadirkan narasumber Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Muhamad Chatib Basri, dan Co-founder MBlocSpace Handoko Hendroyono.
Suahasil mengatakan, saat pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia pada triwulan I-2020, kegiatan ekonomi langsung melambat. Padahal, dunia usaha masih memiliki pinjaman kepada perbankan yang pembayaran kredit dan bunganya harus dilakukan secara rutin.
”Dunia usaha sulit mengembalikan pinjaman kepada bank sehingga potensi kredit macet meningkat. Hal ini menjadi hal utama yang diwaspadai pemerintah sehingga arah kebijakan ekonomi dimulai dari penguatan dunia usaha dan lembaga keuangan,” jelasnya.
Sejak 2020 hingga 2021, pemerintah berupaya meringankan beban kredit dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), di antaranya melalui subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR). Pemerintah akan menambah subsidi bunga KUR sebesar 3 persen hingga Juni 2021 serta meningkatkan plafon KUR pada 2021 menjadi Rp 253 triliun.
Mengutip data di laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pada masa pandemi sampai dengan 21 Desember 2020, tambahan subsidi bunga KUR diberikan kepada 7,03 juta debitor dengan baki debet Rp 187,5 triliun. Adapun penundaan angsuran pokok paling lama 6 bulan diberikan kepada 1,51 juta debitor dengan baki debet Rp 48,18 triliun.
Untuk memastikan distribusi likuiditas dari perbankan ke dunia usaha tidak terhambat, pemerintah menunjuk PT Jamkrindo dan PT Askrindo menjamin kredit modal kerja yang disalurkan bagi UMKM.
”Kalau bank menghadapi risiko kredit, risikonya ditanggung bersama dengan pemerintah. Saat ini, pemerintah membayarkan separuh imbal jasa penjaminan kepada Jamkrindo dan Askrindo, sementara separuhnya lagi ditanggung bank,” kata Suahasil.
Shinta Kamdani menilai, kebijakan pelonggaran kuantitatif yang dicanangkan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) untuk meningkatkan likuiditas sudah baik. Namun, pada 2020, arus likuiditas ke pelaku usaha masih terbatas. KSSK terdiri dari Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Shinta menyebutkan, restrukturisasi kredit yang nilainya mendekati Rp 900 triliun hanya menyasar 7,3 juta debitor yang terdiri dari 5,82 juta debitor UMKM dan 1,44 juta debitur non-UMKM. Padahal, puluhan juta pelaku usaha lain yang juga terdampak pandemi mesti berjibaku menjaga aliran kas agar tidak gulung tikar.
Baca juga : Tahun 2021: Antara Pandemi dan Pemulihan Ekonomi
Menurut dia, distribusi likuiditas perbankan yang disalurkan sektor riil tersendat akibat bank tidak mau menanggung risiko kenaikan rasio kredit macet (NPL). Selain itu, tahun lalu perbankan belum menurunkan suku bunga pinjaman secara signifikan.
”Bunga pinjaman yang masih di atas 9,5 persen menciptakan risiko tinggi bagi pengusaha yang keuntungan usahanya belum pulih seperti sebelum pandemi Covid-19,” ujarnya.
Ia berharap tahun ini pemerintah lebih giat memastikan serapan likuiditas perbankan oleh dunia usaha. ”Ada kesenjangan antara regulasi dan implementasi di lapangan. Meskipun arah kebijakan pemerintah sudah tepat, kebijakan tidak berdampak konkret di lapangan,” ujar Shinta.
Ada kesenjangan antara regulasi dan implementasi di lapangan.
Ekosistem UMKM
Handoko Hendroyono menyampaikan, pembangunan ekosistem bisnis penting untuk mendorong kemajuan UMKM. Cara berpikir pelaku usaha dan pemerintah perlu diubah, yakni melihat iklim usaha lokal sebagai kolaborasi pendorong ekosistem baru, bukan semata-mata kompetisi bisnis.
”Pelaku UMKM harus sadar bahwa yang dibangun adalah ekosistem, dan hal itu yang akan membuat merek lokal semakin relevan. Kalau kesadaran ini tidak dimiliki semua pihak, akan percuma,” katanya.
Dukungan terhadap merek lokal diharapkan bukan hanya jargon sesaat, melainkan gerakan berkesinambungan untuk mewujudkan tren baru berbelanja produk lokal. Partisipasi aktif publik dan pelaku UMKM penting, agar bisa memiliki posisi tawar yang kuat dalam berkolaborasi dengan pemerintah.
”Pemerintah miskin ide, sedangkan publik punya banyak ide. Pemerintah punya banyak dana dan aset, sedangkan publik miskin dana dan aset. Gap ini yang harus disadari bersama ketika mengembangkan ekosistem UMKM,” katanya.
Ruang terbatas
Menurut Chatib Basri, tak mudah menyusun kebijakan stimulus pada masa krisis karena pemerintah harus bergerak di ruang terbatas. Di satu sisi, pemerintah diharapkan berani mengeluarkan stimulus agresif demi mempercepat pemulihan. Di sisi lain, tata kelola pemerintahan yang baik tetap harus dijaga.
Tak mudah menyusun kebijakan stimulus pada masa krisis karena pemerintah harus bergerak di ruang terbatas.
Di tengah keterbatasan itu, pemerintah harus bijak menetapkan prioritas belanja negara berdasarkan realitas kondisi ekonomi. ”Kuncinya, prioritas dalam mendesain belanja negara. Pertanyaannya, bisa tidak kita mendesain APBN sesuai prioritas yang memang benar-benar perlu?” tambahnya.
Baca juga : Akselerasi lewat Stimulus PEN 2021
Pemerintah, kata Chatib, harus mengidentifikasi terlebih dulu pihak yang paling terdampak pandemi. Dalam hal ini, sektor informal yang tidak punya pendapatan tetap serta masyarakat menengah bawah yang tidak bisa selamat dari krisis karena tidak punya tabungan. Stimulus berupa bantuan langsung tunai yang terkonsolidasi dan diperluas kian dibutuhkan.
”Ke depan, persoalan yang akan muncul adalah ketimpangan sosial. Desain fiskal harus bisa menjawab persoalan ketimpangan dan kesenjangan jender, mengingat 70 persen perempuan bekerja di sektor informal,” ujarnya.
Dalam menyusun kebijakan, pemerintah juga harus memperhatikan tren perubahan perilaku konsumen saat pandemi. Khususnya, pergeseran perilaku masyarakat kelas menengah atas, yang saat ini terhambat karena bergantung pada kondisi penanganan pandemi.
”Selama pandemi masih ada, tidak mungkin kelas menengah atas akan pulih konsumsinya, tidak mungkin ekonomi akan pulih,” katanya. (DIM/AGE)