Pagebluk memutarbalikan 180 derajat kondisi pedagang kaki lima di kawasan wisata. Mereka lebih sering pegal karena menunggu pembeli ketimbang pegal melayani pembeli.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 telah melemahkan sebagian besar sektor ekonomi. Pedagang kaki lima yang mengandalkan konsumen dari warga yang beraktivitas di ruang publik ini salah satunya yang lumayan terpukul. Segala usaha diupayakan, omzet mereka tetap seret. Pelonggaran aktivitas juga tak cukup berpengaruh.
Ningrum (58) duduk sambil memijat telapak kakinya di lapak dagangannya yang terletak di dekat pintu utama Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan. Penjual minuman saset dan kemasan ini baru mengantongi Rp 15.000 hingga tengah hari, Jumat (19/3/2021).
Omzetnya tak menentu selama pandemi ini akibat diterapkannya pembatasan aktivitas warga untuk mengendalikan penularan Covid-19. Selama itu, Taman Margasatwa Ragunan sudah tiga kali buka-tutup layanan, dan pembukaan kembali untuk ketiga kalinya pada 13 Maret lalu.
Untuk mengendalikan penularan Covid-19, taman itu pun tetap membatasi pengunjung sebanyak 50 persen, dengan waktu buka dibatasi dari pukul 07.00 sampai 14.30. Warga lansia, ibu hamil, bayi, dan anak usia 0 hingga 9 tahun dilarang memasuki taman itu.
Kini dalam sehari omzet Ningrum paling banter Rp 100.000. Itu pun jarang tercapai. ”Sebelum Covid-19 bisa dapat sampai Rp 500.000. Sekarang boro-boro, laku 5-6 gelas sudah syukur. Sepi begini kagak ada yang beli. Harus tunggu sampai pinggang pegal-pegal,” ucap Ningrum.
Seretnya omzet membuat Ningrum harus menunggak biaya kontrakan di Gang Bakso, Kebagusan, Jaksel, sebesar Rp 700.000. Beruntung pemilik kontrakan memaklumi kondisi pendapatannya masih seret. Terlebih Ningrum juga mengidap penyakit jantung sehingga tidak boleh terlampau lelah.
Selama pandemi, Ningrum menjadi tulang punggung di keluarganya untuk menghidupi anak bungsu dan dua cucu yang masih duduk di bangku sekolah. Ia mengaku, akibat pandemi, anak bungsunya yang berusia 26 tahun alami pemutusan hubungan kerja dari tempatnya bekerja sebagai sopir.
Mau pinjam uang ke rentenir, tapi masih ada tunggakan Rp 250.000 dari tahun lalu.
Selama menganggur, menurut Ningrum, anaknya itu terus berusaha mengirimkan lamaran pekerjaan dan sesekali bekerja serabutan. Namun hasil dari bekerja serabutan itu tetap tak cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
”Mau pinjam uang ke rentenir, tapi masih ada tunggakan Rp 250.000 dari tahun lalu,” ujar Ningrum.
Hanya Ningrum mengaku cukup terbantu dengan adanya bantuan sosial tunai sebesar Rp 300.000 per bulan. Uang itu digunakannya untuk menyicil sumbangan pembinaan pendidikan kedua cucunya di sekolah swasta. Masing-masing Rp 160.000 dan Rp 250.000.
Omzet tak menentu juga dialami Mpok Suhada (41), pedagang aksesori di Kawasan Kota Tua Jakarta, Jakarta Barat. Jika di masa sebelum pandemi, ia bisa mendapatkan omzet minimal Rp 100.000 dalam sehari, tetapi kini sulit sekali barang dagangannya bisa laku terjual.
”Jauh banget (dengan masa sebelum pandemi). Sekarang, kadang dapat pelaris, Rp 20.000, kadang kagak. Risiko kalau tempat wisata sepi,” ujar Suhada.
Kota Tua Jakarta sepi karena dibuka hanya untuk kunjungan ke Museum Fatahillah, Museum Seni Rupa dan Keramik, dan Museum Wayang serta dibatasi hingga pukul 16.00. Situasi itu pun membuat warga Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, ini menghemat ongkosnya sehari-hari pergi-pulang rumah ke Kota Tua Jakarta dengan berjalan kaki. Sementara barang dagangannya dititipkan kepada seorang kenalan yang bermukim di sekitar Kota Tua Jakarta.
Di tengah berbagai kesulitan, ibu satu anak ini masih merasa beruntung karena mendapatkan bantuan sosial tunai dan anaknya punya Kartu Jakarta Pintar. Adanya bantuan itu membuat pendapatannya berdagang bisa ia gunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
”Lumayan (bantuan sosial) bisa cukupi pemasukan yang bolong-bolong,” katanya.
Sambilan
Seretnya pemasukan karena tempat wisata sepi pun mendorong sebagian pedagang kaki lima untuk bekerja sambilan. Pekerjaan sambilan itu cukup membantu keuangan mereka.
Ratih Rahelsa (27), penjual minuman saset dan kemasan di Terminal Ragunan, membuka lapaknya hingga pukul 20.00. Itu dilakukan dengan harapan bisa memperoleh setidaknya Rp 100.000 per hari.
”Belum tentu capai target, lebih sering kurang dari Rp 100.000. Kalau sebelum Covid-19 bisa dapat sampai Rp 400.000 karena orang yang piknik pada beli minuman dingin di sini,” kata Ratih.
Saat ini, katanya, lebih banyak warga yang lalu lalang untuk urusan pribadi atau pekerjaan ketimbang berwisata.
Ratih pun menyiasati minimnya omzet dengan membawa bekal, naik kendaraan pribadi dari Depok, Jawa Barat, hingga bekerja sambilan sebagai pelayan di warteg milik saudara di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Dari pekerjaan sambilannya itu ia bisa mendapatkan upah Rp 125.000 per hari, termasuk jatah makan.
Sebelum pandemi bisa dapat Rp 100.000 sehari. Sekarang cari pelaris saja susah. Bantuan sosial tunai tidak cukup.
Sama halnya dengan Budi (36), pedagang mainan di Kali Besar, Kota Tua, Jakarta. Saat ini untuk melariskan dagangannya pun sulit karena Kota Tua Jakarta buka terbatas. Minimnya pendapatan membuat ia menunggak kontrakan sebesar Rp 500.000 di Kebun Sayur, Ciracas, Jakarta Timur.
”Sebelum pandemi bisa dapat Rp 100.000 sehari. Sekarang cari pelaris saja susah. Bantuan sosial tunai tidak cukup,” ucap Budi.
Ketidakpastian omzet membuat bapak tiga anak ini pun bekerja sambilan sebagai kuli bangunan. Upahnya sebagai kuli bangunan berkisar Rp 80.000 hingga Rp 100.000 per hari. Upah itu, katanya, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.