Penguasaan pasar yang dominan cenderung membentuk kartel, menghindari persaingan, dan melakukan kerja sama yang saling menguntungkan.
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
Dari total 109 bank di Indonesia per akhir 2020, bank berstatus badan usaha milik negara atau BUMN hanya ada 4 bank. Kendati demikian, kelompok bank BUMN sangat dominan pada industri perbankan nasional.
Mereka menguasai 43,1 persen total dana pihak ketiga (DPK) perbankan nasional yang sebesar Rp 6.665,4 triliun per akhir 2020. Sementara pangsa kreditnya mencapai 44,6 persen dari total Rp 5.481,6 triliun pada periode yang sama.
Kondisi tersebut menunjukkan betapa timpangnya struktur industri perbankan di Tanah Air. Bahkan, ketimpangan makin kentara bila merujuk data ini: 7 bank terbesar menguasai hampir 60 persen total DPK, yang berarti 40 persen sisanya diperebutkan oleh 102 bank.
Timpangnya struktur perbankan nasional menimbulkan banyak masalah, salah satunya terjadi penguasaan pasar oleh segelintir bank sehingga mekanisme pasar tidak berjalan semestinya.
Penguasaan pasar yang dominan cenderung membentuk kartel, menghindari persaingan, dan melakukan kerja sama yang saling menguntungkan. Berkat dominasi dan posisi tawar yang tinggi, penguasa pasar cenderung mengatur harga dan menentang mekanisme pasar demi meraup keuntungan sebesar-besarnya yang ujungnya membuat konsumen kerap menjadi korban.
Praktik-praktik semacam itu juga terjadi pada industri perbankan nasional. Harga jual produk perbankan, yang dalam hal ini disebut suku bunga kredit, terbukti tidak mengikuti mekanisme pasar.
Seperti halnya harga barang, pembentukan bunga kredit juga dipengaruhi sejumlah faktor, yakni biaya dana (cost of funds), biaya operasional (overhead cost), margin keuntungan (profit margin), dan premi risiko. Faktor-faktor lain di luar premi risiko cenderung bisa dikendalikan dan dikalkulasi oleh bank sehingga dianggap sebagai pembentuk suku bunga dasar kredit (SBDK).
Cost of funds merupakan biaya yang dikeluarkan bank untuk membayar bunga dana pihak ketiga seperti tabungan, deposito, dan giro. Dalam industri manufaktur, biaya ini disebut sebagai ongkos bahan baku.
Besaran bunga dana sangat dipengaruhi oleh pergerakan suku bunga acuan, yakni BI-7 Day Reverse Repo (BI7DRR) Rate yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral setiap bulan. Transmisi BI7DRR ke suku bunga dana bisa dibilang berlangsung sempurna, dengan kecepatan yang hampir sama.
Berdasarkan asesmen BI, penurunan suku bunga BI7DRR sebesar 225 basis poin (bps) selama periode Juni 2019-Desember 2020 telah direspons dengan penurunan suku bunga deposito 1 bulan yang bahkan jauh lebih cepat, yakni sebesar 245 bps.
Dengan mengasumsikan biaya operasional bank yang semakin rendah seiring adopsi digital dan margin keuntungan yang tetap, maka seharusnya SBDK juga turun dengan kecepatan yang sama. Namun, faktanya, rata-rata SBDK hanya turun 116 bps selama periode yang sama.
Kelompok bank yang sangat rigid untuk menurunkan SBDK adalah bank BUMN. Berdasarkan asesmen BI, SBDK bank BUMN hanya turun 88 bps. Padahal, pada periode yang sama, penurunan rata-rata suku bunga deposito 1 bulan kelompok bank BUMN mencapai 289 bps.
Ini membuktikan, dalam menetapkan SBDK, kelompok bank pelat merah tidak sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar yang mengacu pada pergerakan BI7DRR Rate. Dengan cost of funds dan biaya operasional turun signifikan, tetapi SBDK tetap tinggi, bisa dipastikan bank-bank BUMN telah menaikkan margin keuntungannya.
Karena kurangnya persaingan, bank-bank BUMN pun tak merasa khawatir menetapkan SBDK yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank lain, mencapai rata-rata 10,79 persen per akhir 2020. Namun, di sisi lain, bunga kredit tersebut memberatkan pelaku usaha dan masyarakat yang membutuhkan modal untuk bangkit dari keterpurukan selama pandemi Covid-19. Menjadi ironi karena BUMN semestinya berperan sebagai agen pembangunan, tak sekadar mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Jelas tak mudah untuk memperbaiki struktur industri perbankan yang timpang dan menegakkan market discipline sehingga SBDK bergerak sesuai dengan mekanisme pasar. Perlu upaya konsolidasi yang konsisten dan waktu yang tak sebentar untuk memperkuat struktur industri perbankan nasional.
Dalam jangka pendek perlu intervensi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar kompetisi pada industri perbankan nasional menjadi lebih sehat dan berdaya saing. Intervensi berupa pemberian insentif, yang pernah beberapa kali dicoba, sepertinya tidak efektif untuk mendorong penurunan SBDK.
Perlu aturan yang lebih keras semisal memberi penalti kepada bank yang mengambil margin keuntungan berlebihan (excessive margin). Penalti layak diterapkan karena praktik excessive margin sangat merugikan sektor riil.
Di sisi lain, pemerintah jangan membebani manajemen bank BUMN dengan target dividen yang terlampau tinggi. Penyaluran kredit berbunga rendah yang dapat memulihkan kembali sektor riil niscaya jauh lebih bermanfaat bagi negara ketimbang dividen dari bank-bank pelat merah.