Gelombang transisi energi tengah terjadi di seluruh dunia. Secara perlahan, pemanfaatan batubara mulai dikurangi dan diganti dengan energi terbarukan. Industri batubara Indonesia harus ambil peran dalam transisi ini.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bisnis batubara diperkirakan bakal melemah pada tahun 2050 seiring kian masifnya transisi energi dari fosil ke energi terbarukan. Sejumlah proyeksi memperkirakan bahwa di tahun 2050 permintaan batubara global anjlok sampai 90 persen. Hilirisasi batubara menjadi dimetil eter dan metanol adalah satu-satunya pilihan agar bisnis batubara berlanjut.
Demikian yang mengemuka dalam webinar ”Transformasi Bisnis Sektor Batubara dalam Mendukung Transformasi Energi Indonesia”, Jumat (19/3/2021), yang diselenggarakan oleh Bimasena Society.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin, tahun 2014 adalah puncak permintaan batubara global. Saat itu permintaannya 8 miliar ton. Seiring dengan ketatnya pengaturan emisi gas rumah kaca dan teknologi energi terbarukan yang kian efisien, permintaan batubara perlahan menyusut tajam.
”Seiring dengan target menjaga kenaikan suhu bumi menjadi 1,5 derajat celsius, dampaknya adalah turunnya permintaan batubara global hingga 90 persen pada 2050,” kata Ridwan yang menjadi salah satu narasumber webinar.
Agar sumber daya batubara Indonesia tetap bermanfaat, lanjut Ridwan, hilirisasi batubara di dalam negeri adalah pilihan yang paling rasional. Hilirisasi batubara yang ia maksud adalah gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME) dan metanol. DME berfungsi menggantikan elpiji yang sekitar 75 persen dari konsumsi nasional diperoleh dari impor.
Seiring dengan ketatnya pengaturan emisi gas rumah kaca dan teknologi energi terbarukan yang kian efisien, permintaan batubara perlahan menyusut tajam.
”Kami ingin batubara bisa menggantikan peran sumber energi lain. Pada 2019, misalnya, impor elpiji Indonesia Rp 52,4 triliun. Apabila ini bisa disubstitusi lewat gasifikasi batubara menjadi DME, itu akan sangat luar biasa,” kata Ridwan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengemukakan, pebisnis tambang batubara meyakini bahwa sumber daya batubara suatu saat akan habis dan tak bisa diperbarui. Apalagi, saat ini sedang digalakkan transisi energi meninggalkan energi fosil yang tak bisa diperbarui ke energi terbarukan. Tantangannya adalah bagaimana batubara bisa berperan dalam transisi tersebut.
”Kami paham bahwa suatu saat transformasi (dari energi fosil ke energi terbarukan) pasti terjadi. Menurut kami, dalam bertransisi ke energi bersih, tak perlu ada dikotomi antara batubara dan energi terbarukan. Yang penting bagaimana batubara bisa berperan di masa transisi itu,” ujar Hendra.
Terkait nasib industri batubara di masa mendatang, Hendra meyakini bahwa dalam beberapa dekade ke depan keberlangsungan industri ini masih terjaga. Pasalnya, lebih dari 90 persen ekspor batubara Indonesia ditujukan ke negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Pangsa terbesar tujuan ekspor batubara asal Indonesia adalah India dan China, porsinya sekitar 55 persen, sedangkan sisanya ke kawasan ASEAN, Jepang, Korea, dan Taiwan.
”Pertanyaannya adalah kapan batubara benar-benar ditinggalkan? Kan, belum jelas. Kalau pada 2050 permintaannya turun, artinya masih ada waktu untuk memanfaatkan sumber daya batubara tersebut. Di situlah hilirisasi harus dilakukan,” kata Hendra.
Lebih dari 90 persen ekspor batubara Indonesia ditujukan ke negara-negara di kawasan Asia Pasifik.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar berpendapat, kendati sudah ada target ambisius untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia, fakta menunjukkan sebaliknya. Pada 2025, peran energi terbarukan diharapkan 23 persen dalam bauran energi nasional dan naik menjadi 31 persen di 2050. Di saat yang sama, peran batubara diturunkan dari 30 persen di 2025 menjadi 25 persen di 2050.
”Faktanya, pertumbuhan pembangkit listrik dari energi terbarukan rata-rata hanya 400 megawatt per tahun. Bahkan, pada 2020 hanya tumbuh kurang dari 200 megawatt. Adapun pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara tumbuh 4.000 megawatt dari kurun 2018 sampai 2020,” kata Paul.
Target penurunan emisi gas rumah kaca sebagai konsekuensi Perjanjian Paris 2015 yang turut diratifikasi Pemerintah Indonesia, imbuh Paul, mengharuskan pengurangan energi fosil dan diganti dengan energi terbarukan. Target tersebut harus diwujudkan lewat kebijakan yang pro terhadap energi terbarukan. Bentuknya bisa lewat tax holiday yang relevan dan pengaturan harga listrik energi terbarukan yang sesuai keekonomian.