Ekonomi Ramah Lingkungan Buka Lebih Banyak Lapangan Kerja
Bisnis yang berkaitan dengan ekonomi ramah lingkungan berpotensi menyerap tenaga kerja lebih banyak daripada bisnis yang mengeksploitasi sumber daya alam atau ekstraktif.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bisnis yang berkaitan dengan ekonomi ramah lingkungan berpotensi menyerap tenaga kerja lebih banyak daripada bisnis yang mengeksploitasi sumber daya alam atau ekstraktif. Implementasi ekonomi ramah lingkungan dapat membantu pemulihan ekonomi pascapandemi, selain memulihkan alam.
Ekonomi ramah lingkungan atau biasa disebut dengan istilah ”hijau” menekankan pada sistem yang mampu mengurangi risiko lingkungan, kelangkaan ekologis, serta mampu mendorong pembangunan berkesinambungan, rendah karbon, dan inklusif. Ini berbeda dengan sistem ekonomi ekstraktif yang justru mengakselerasi kerusakan lingkungan.
Deputy Country Director For Asian Development Bank (ADB) in Indonesia Said Zaidansyah menyebut, bisnis hijau umummya fokus dalam pengembangan inovasi energi baru dan terbarukan, pengelolaan sampah, juga restorasi atau konservasi alam.
”Industri hijau bisa membuka lapangan pekerjaan 2-5 kali lebih banyak dari industri berbasis fosil,” kata Said dalam diskusi virtual bertajuk ”Keluar dari Ekonomi Ekstraktif, Menuju Hijau dan Inklusif” yang diselenggarakan Greenpeace dan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Kamis (18/3/2021).
ADB disebut berkomitmen untuk mendukung ekonomi hijau dan pemulihan ekonomi secara umum di Indonesia pascapandemi Covid-19. Dukungan itu, antara lain, dengan memberikan pendanaan hijau selama periode Covid-19 sebesar 150 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,16 triliun (kurs Rp 14.400) melalui Kementerian Keuangan.
Pendanaan tersebut akan disalurkan pada proyek hijau yang dikerjakan pemerintah ataupun swasta, seperti untuk mendukung pembangunan kota layak huni, mendorong energi baru dan terbarukan, serta laut yang lebih bersih. Proyek hijau tidak hanya akan membuka banyak lapangan kerja, tetapi juga mengurangi dampak bencana akibat perubahan iklim di Indonesia sebagai negara terbesar ke-4 penyumbang emisi gas rumah kaca di dunia.
Dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, porsi sektor primer dan ekstraktif Indonesia relatif besar, mencapai 39,2 persen pada 2019. Bandingkan dengan Malaysia yang kurang dari 30 persen, Thailand kurang dari 10 persen, atau Vietnam yang hanya 2,7 persen pada periode sama.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2020 menunjukkan, porsi tenaga kerja terhadap porsi investasi di sektor pertambangan tidak sejalan. Daerah dengan investasi pertambangan besar seperti Papua, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan menyerap tenaga kerja jauh di bawah rata-rata nasional, yakni 1.400 orang per Rp 1 triliun investasi.
”Jadi, investasi di sektor ekstraktif tidak menyerap banyak tenaga kerja dan tidak inklusif. Investasi jadi tidak berkualitas,” ujar Tata dalam acara diskusi yang sama.
Stimulus fiskal
Di sisi lain, pemerintah mulai memprioritaskan pembangunan rendah karbon dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Rencana ini berfokus untuk membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim.
Arifin Rudiyanto, selaku Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menyebut, upaya mendukung ekonomi hijau dilakukan dengan memberikan stimulus fiskal hijau kepada sektor swasta serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Upaya ini dilakukan di tiga sektor, yakni energi, perkebunan rakyat, dan pengolahan sampah.
Sebagai contoh dalam hal pengelolaan sampah, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah akan memberi stimulus kepada sektor yang mendukung rantai daur ulang dengan kemampuan pengelolaan 0,5 sampai 5 ton per hari. Stimulus diberikan dalam bentuk pinjaman lunak, hibah modal, dan dana safeguard keberlanjutan UMKM.
Hal ini tidak hanya akan meningkatkan pengelolaan sampah yang berimplikasi pada pengurangan gas efek rumah kaca dan menambah nilai ekonomi, tetapi juga bisa menyerap puluhan ribu tenaga kerja baru dan menyejahterakan ratusan ribu pemulung.
”Ekonomi dan investasi hijau diharapkan menjadi katalis pertumbuhan ekonomi Indonesia, pendorong teknologi baru, meningkatkan produktivitas, dan menciptakan lapangan kerja. Kami tidak ingin lapangan pekerjaan baru hanya menekankan pada padat karya, tetapi juga mengutamakan aspek keberlanjutan dan dampak ke lingkungan,” ujarnya.
Direktur Riset Indef Berly Martawardaya menanggapi positif rencana fiskal hijau yang diupayakan pemerintah. Namun, dalam merespons pandemi, pemerintah disayangkan karena hanya menyalurkan 8 persen stimulus fiskalnya untuk program hijau.
Ia menyebut tidak adanya persyaratan hijau yang mengikat pada badan usaha milik negara yang bergerak di sektor ekstraktif. Lalu, stimulus digunakan untuk energi yang masih menghasilkan emisi dan deforestasi, yakni subsidi bahan bakar nabati biodiesel.
”Pemerintah harus peka terhadap tren global di mana semakin banyak investor besar yang memprioritaskan aspek environmental, social, and governance (ESG) sebagai kriteria utama dalam berinvestasi di sebuah negara,” kata Berly.
Pandemi Covid-19 dinilai menjadi momentum untuk memprioritaskan ekonomi hijau sebagai bagian dari pemulihan yang berkelanjutan. Apalagi tren di dunia, bersumber dari Vivideconomics, menunjukkan 30 persen dari total stimulus Covid-19 di 18 negara ditujukan untuk sektor-sektor yang berhubungan dengan lingkungan.
Selain itu, menurut Institute for Energy Economics and Financial Analysis, hingga Maret 2021, sekitar 160 institusi keuangan bank dan nonbank telah mengumumkan divestasi terhadap perusahaan tambang batubara dan pembangkit listrik berbasis batubara yang menghasilkan emisi karbon dioksida yang tinggi dan gangguan kesehatan. Tren ini diharapkan bisa terjadi di Tanah Air.