Nelayan kecil semakin rentan dalam ketidakpastian akibat imbas pandemi Covid-19. Nelayan kecil kesulitan mengakses BBM dan permodalan. Sementara sebagian dana bantuan mengendap di bank.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah menambah beban usaha nelayan kecil. Nelayan menghadapi ketidakpastian mengakses perbekalan melaut, sementara penjualan hasil tangkapan tidak menentu. Skema bantuan dari pemerintah untuk pemulihan ekonomi dinilai belum tepat sasaran.
Hasil survei Kesatuan Nelayan Tradisional dan Serikat Petani Indonesia memperlihatkan, ketidakpastian usaha semakin membayang-bayangi aktor penyedia pangan protein masyarakat tersebut. Akses perbekalan, seperti bahan bakar minyak (BBM) dan permodalan melaut, juga sulit didapat.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik, Rabu (17/3/2021), mengemukakan, pandemi Covid-19 yang memunculkan banyak ketidakpastian menimbulkan persoalan. Kebutuhan BBM bersubsidi yang memiliki peran signifikan untuk kegiatan produksi, yakni 60-70 persen dari ongkos melaut, masih sulit didapat dan penyalurannya belum sepenuhnya tepat sasaran.
”Kita perlu mendorong proses yang akuntabel dalam penyaluran BBM agar ekonomi masyarakat nelayan bisa bergairah,” ujarnya dalam webinar ”Kondisi Sosial dan Ekonomi Nelayan Skala Kecil Indonesia Pasca-Covid-19” di Jakarta.
Kebutuhan BBM bersubsidi yang memiliki peran signifikan untuk kegiatan produksi, yakni 60-70 persen dari ongkos melaut, masih sulit didapat dan penyalurannya belum sepenuhnya tepat sasaran.
Beban lainnya adalah ketidakpastian penyerapan dan penjualan ikan. Hal ini, antara lain, ditandai harga jual ikan yang sangat fluktuatif.
Ketua Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana menuturkan, penurunan harga jual ikan dipicu, antara lain, oleh pemasaran beberapa komoditas yang terhalang akibat Covid-19 dan pembatasan sosial berskala besar. Permintaan beberapa jenis ikan, seperti tenggiri dan tongkol yang sebelumnya banyak diminta pasar, juga ikut turun karena berkurangnya aktivitas jual-beli di pasar.
Pemerintah sudah menggulirkan skema bantuan ke nelayan, tetapi masih banyak nelayan kecil yang belum mengetahui informasi terkait bantuan itu. Adapun skema kredit permodalan dari pemerintah melalui Badan Layanan Usaha Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU-LPMUKP) belum menyentuh nelayan kecil karena prosesnya dinilai sangat panjang. Akibatnya, penerima bantuan lebih didominasi nelayan besar.
”Nelayan terkendala informasi tentang syarat-syarat pinjaman yang harus disiapkan dan proses pinjaman sangat lama. Padahal, nelayan kecil membutuhkan pinjaman cepat untuk modal melaut,” katanya.
Berdasarkan data BLU-LPMUKP, kredit usaha yang disalurkan sepanjang 2020 sebesar Rp 705,28 miliar. Realisasinya sebesar 97,28 persen dari target Rp 725 miliar.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian I Kantor Staf Presiden Alan F Koropitan menuturkan, kategori nelayan kecil yang disasar pemerintah adalah yang memiliki ukuran kapal maksimum 5 gros ton (GT). Kriteria ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Alan juga mengakui, pemerintah masih menghadapi persoalan pendataan jumlah riil nelayan. Masalah pendataan ini berdampak besar pada alokasi BBM bersubsidi, bantuan, dan permodalan sehingga membuat program pemerintah tidak optimal.
Ia mencontohkan, kuota BBM bersubsidi sebesar 1,9 juta kiloliter (kl), tetapi baru termanfaatkan 50 persen. Pada tahun ini, kuota BBM bersubsidi dinaikkan menjadi 2,3 juta kl. ”Pemanfaatannya ini perlu ditopang dengan penyempurnaan data agar BBM bersubsidi terdistribusi tepat sasaran,” ujarnya.
Alan menambahkan, pemerintah juga telah mendorong penggunaan Kartu Pelaku Usaha Bidang Kelautan dan Perikanan (Kusuka) nelayan untuk data nelayan. Namun, baru 700.000 nelayan yang memiliki kartu nelayan. Padahal, data nelayan, menurut Badan Pusat Statistik, sebanyak 2 juta orang. Hal ini menunjukkan, tantangan besar bagi regulator dan PT Pertamina (Persero) adalah kesepakatan dalam data.
Pemerintah juga telah mendorong penggunaan Kartu Pelaku Usaha Bidang Kelautan dan Perikanan (Kusuka) nelayan untuk data nelayan. Namun, baru 700.000 nelayan yang memiliki kartu nelayan.
Survei KNTI pada 15 Mei-9 Juni 2020 ini juga terkait penyaluran dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bagi nelayan yang terdampak pandemi Covid-19 di lima wilayah, yakni Kota Semarang, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lombok Timur, Kota Medan, dan Aceh. Survei tersebut menunjukkan, bantuan hanya menjangkau sebagian kecil nelayan. Penyaluran bantuan tidak merata, terutama karena problem pendataan.
Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mengungkapkan, pemerintah wajib menyediakan sarana produksi perbekalan melaut, kapak ikan, mesin kapal, dan akses bahan bakar minyak, dengan harga terjangkau dan kuantitas mencukupi nelayan. Di saat paceklik, negara juga wajib menyiapkan mata pencarian alternatif agar nelayan tidak terjerat pinjaman rentenir, misalnya beralih ke perikanan budidaya atau pariwisata bahari.
Di sisi lain, skema kredit perbankan untuk nelayan perlu didukung dengan tingkat suku bunga kredit rendah. Skema BLU-LPMUKP yang bergulir saat ini dinilai masih belum optimal menjangkau nelayan.
”Kami sedang menelusuri indikasi sebagian dana BLU-LPMUKP justru diendapkan di bank. Dana yang didepositokan di bank menyebabkan nelayan tidak memperoleh manfaat (dari skema pinjaman BLU),” katanya.
Rokhmin juga menyatakan, persoalan lain yang perlu dibenahi adalah peningkatan produktivitas nelayan untuk mendorong pendapatan dan perbaikan kualitas hasil tangkapan dengan penanganan ikan yang baik sejak dari kapal hingga ikan didaratkan di pelabuhan. Peningkatan ini, di antaranya, bisa melalui modernisasi teknologi penangkapan dan penanganan ikan.
”Tidak kalah pentingnya adalah perbaikan transportasi sistem logistik rantai dingin dari pelabuhan untuk mendorong penyerapan dan distribusi ikan,” katanya.