Peraturan Pemerintah No 36/2021 merupakan peraturan turunan UU Cipta Kerja. Pasal 9 PP tersebut mengatur, THR wajib diberikan oleh pengusaha kepada buruh dan wajib dibayarkan paling lama tujuh hari sebelum hari raya.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sedang mengkaji aturan pemberian tunjangan hari raya atau THR keagamaan tahun 2021. Kebijakan itu akan disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta mempertimbangkan kondisi perusahaan dan pekerja. Buruh berharap pemberian THR tahun ini tidak lagi dicicil seperti tahun lalu.
Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Dinar Titus Jogaswitani, Rabu (17/3/2021), mengatakan, pemerintah belum menetapkan arah kebijakan pemberian THR tahun ini karena masih mengkaji kondisi dampak pandemi Covid-19 terkini.
”Kami sekarang lagi menghitung dan melihat data, apakah pandemi ini masih berdampak ke perusahaan atau tidak? Kalau masih banyak yang terdampak, mungkin THR masih perlu disepakati (secara bipartit). Tetapi, kalau sudah tidak berdampak, kita kembali ke aturan awal (harus dibayar secara penuh dan tepat waktu sesuai ketentuan),” kata Dinar di Jakarta.
Kalau masih banyak yang terdampak, mungkin THR masih perlu disepakati (secara bipartit). Tetapi, kalau sudah tidak berdampak, kita kembali ke aturan awal (harus dibayar secara penuh dan tepat waktu sesuai ketentuan).
Tahun lalu, lewat Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Covid-19, Kemenaker mengizinkan perusahaan swasta menunda atau mencicil pembayaran THR.
Perusahaan yang terdampak pandemi dan tidak mampu membayar THR sesuai jangka waktu yang ditentukan dapat merundingkannya dengan pekerja secara bipartit. Dari hasil dialog itu, bisa disepakati, jika perusahaan tidak mampu membayar THR secara penuh, dapat mencicil atau membayarnya secara bertahap.
Jika perusahaan tidak mampu membayar THR sama sekali, pembayaran THR dapat ditunda sampai jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Namun, pembayaran THR secara bertahap atau ditunda itu tetap harus diselesaikan pada tahun 2020. Kebijakan ini sempat mendapat kritik dari buruh.
Kali ini, Dinar menegaskan, pemerintah belum mengambil keputusan apa pun. ”Jangan sampai keputusan SE ini salah. Jangan sampai pekerja merasa dirugikan padahal sebenarnya perusahaannya sudah tumbuh. Jangan sampai juga masih kondisi pandemi, tetapi perusahaan disuruh membayar penuh. Intinya, kami akan lihat kondisi,” kata Dinar.
Sebelumnya, dalam rapat kerja Kemenaker dengan Komisi IX DPR, Selasa (16/3/2021), Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, pemerintah akan menyesuaikan dan menyempurnakan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan dengan ketentuan terbaru di Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
PP No 36/2021 itu merupakan peraturan turunan UU Cipta Kerja. Pasal 9 PP tersebut mengatur, THR wajib diberikan oleh pengusaha kepada buruh dan wajib dibayarkan paling lama tujuh hari sebelum hari raya.
Sementara dalam Pasal 62 disebutkan, jika pengusaha terlambat membayar THR sesuai waktu yang ditentukan, akan dikenai denda 5 persen dari total THR yang harus dibayarkan. Pengenaan denda itu tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR kepada buruh sesuai aturan.
Jangan dicicil
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta agar THR pada tahun ini dibayarkan secara penuh, tidak dicicil atau ditunda sebagaimana tahun lalu. Pertimbangannya adalah kondisi ekonomi Indonesia dan beberapa sektor sudah mulai membaik tahun ini.
”Pemerintah sendiri sudah mengatakan ekonomi tahun ini membaik. Jika THR masih dicicil atau tidak dibayar 100 persen, daya beli buruh akan semakin terpukul di tengah pandemi,” katanya.
THR pada tahun ini diminta dibayarkan secara penuh, tidak dicicil atau ditunda sebagaimana tahun lalu. Pertimbangannya adalah kondisi ekonomi Indonesia dan beberapa sektor sudah mulai membaik tahun ini.
Pemberian THR secara utuh diyakini akan membantu daya beli buruh. Apalagi mengingat saat ini sudah banyak buruh yang dirumahkan, dipangkas upahnya, serta dihentikannya bantalan sosial dari pemerintah berupa bantuan subsidi upah (BSU) kepada buruh dengan gaji di bawah Rp 5 juta.
Jika daya beli buruh menurun, ujar Said, konsumsi juga akan ikut terseok. Kondisi itu akan semakin parah dengan potensi kenaikan harga barang kebutuhan pokok jelang puasa dan hari raya Lebaran.
”Harus ada keseimbangan dan rasa keadilan antara kepentingan buruh dan pengusaha. Pengusaha sudah dapat stimulus ekonomi, keringanan pajak, maka secara bersamaan THR dan upah buruh pun harus dibayar penuh. Kalau konsumsi meningkat, pertumbuhan ekonomi juga meningkat,” katanya.