Teknologi Digital Pacu Keuangan Syariah di Indonesia
Literasi perbankan syariah di Indonesia yang rendah masih menjadi tantangan utama pengembangan ekonomi syariah di Indonesia.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Literasi perbankan syariah di Indonesia masih rendah lantaran kurang populer daripada perbankan konvensional. Dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki populasi Muslim dalam jumlah besar, Indonesia bisa disebut terlambat menerapkan sistem keuangan syariah. Padahal, potensi ekonomi syariah di Indonesia terbilang besar.
Hal itu mengemuka dalam webinar ”Era Baru Pembiayaan Syariah di Indonesia”, Rabu (17/3/2021). Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk Hery Gunardi dan Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk Iwan S Lukminto hadir sebagai narasumber. Adapun Menteri BUMN Erick Thohir hadir sebagai pembicara kunci dalam webinar.
Menurut Hery, literasi perbankan syariah di Indonesia yang rendah masih menjadi tantangan utama pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Perbankan syariah masih kalah populer dibandingkan dengan perbankan konvensional. Akibatnya, penetrasi bank syariah di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.
”Agar perbankan syariah di Indonesia bisa bersaing, harus ada penguatan teknologi digital dalam hal perluasan informasi ataupun kemudahan pelayanan. Di sisi lain, penetrasi bank syariah di Indonesia masih tertinggal dari negara Muslim lainnya,” kata Hery.
Penetrasi bank syariah di Brunei Darussalam sudah mencapai 57 persen dan di Arab Saudi mencapai 63 persen.
Hery memaparkan, penetrasi bank syariah di Indonesia sebesar 6,51 persen, tertinggal dari Malaysia yang sudah 29 persen. Penetrasi bank syariah di Brunei Darussalam sudah mencapai 57 persen dan di Arab Saudi mencapai 63 persen. Sementara di Qatar dan Uni Emirat Arab masing-masing 27 persen dan 24 persen.
”Kenapa penetrasi di negara-negara tersebut tinggi? Hal itu disebabkan pemerintahnya memberikan banyak insentif dari sisi perpajakan sehingga tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan di Indonesia,” ujar Hery.
Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jakarta Inarno Djajadi dalam pembukaan webinar menyampaikan, ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia membantu pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19. Pada 2020, penyaluran pembiayaan kredit perbankan syariah tumbuh 8 persen secara tahunan, sedangkan pembiayaan dari bank konvensional terkontraksi 2,41 persen.
”Selain itu, pembentukan Bank Syariah Indonesia pada Februari 2021 berhasil menciptakan framing kekuatan kapital serta perluasan jangkauan fasilitas. Dengan penggabungan itu, Bank Syariah Indonesia diharapkan mampu memberi angin perubahan pada ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia,” ujar Inarno.
Dari sisi pembiayaan, bank syariah unggul mutlak 9,42 persen dibandingkan bank konvensional 0,55 persen.
Sementara itu, menurut Erick Thohir, pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia memiliki prospek sangat positif, bahkan di masa pandemi Covid-19. Pada 2020, aset bank syariah di Indonesia tumbuh 10,9 persen atau mengungguli bank konvensional yang tumbuh 7,7 persen. Demikian pula dana pihak ketiga bank syariah tumbuh 11,56 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan bank konvensional yang tumbuh 11,59 persen. Dari sisi pembiayaan yang disalurkan, bank syariah tumbuh 9,42 persen, sedangkan bank konvensional 0,55 persen.
”Pembentukan Bank Syariah Indonesia mampu meningkatkan kapasitas lembaga keuangan syariah lewat efisiensi, digitalisasi, dan diferensiasi produk jasa keuangan serta peningkatan jasa kepada nasabah yang berujung pada penguatan permodalan. Aset saat ini menjadi Rp 240 triliun dan ditargetkan masuk peringkat 10 besar dunia dalam waktu dekat,” kata Erick.
Untuk mencapai target tersebut, lanjut Erick, diperlukan koordinasi dan sinergi seluruh pemangku kepentingan. Strategi yang akan ditempuh adalah penguatan nilai rantai halal, penguatan keuangan syariah, serta penguatan usaha kecil menengah dan penguatan digital. Selain itu, pemberdayaan umat lewat kolaborasi bersama komunitas atau kelompok keagamaan di Indonesia diharapkan dapat membangun keyakinan dan kebutuhan terhadap ekonomi syariah.
Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia yang mencapai 87,2 persen dari total penduduk atau sekitar 209,1 jiwa. Potensi industri halal di Indonesia saat ini senilai Rp 4.200 triliun, yang datang dari sektor industri makanan dan minuman, mode dan kecantikan, pariwisata, farmasi, media, dan bisnis syariah.