Alih-alih meningkatkan ketahanan, politik pangan murah melalui importasi berpotensi menjebak negara pada ketergantungan dan risiko menjadi pengimpor bersih. Keberpihakan pada petani kecil menjanjikan keberlanjutan.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Dalam bab terakhir bukunya, Feeding Fenzy: The New Politics of Food (2013), Paul McMahon menulis tentang bagaimana cara memberi makan dunia secara lebih baik, adil, dan berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan membantu petani kecil di negara-negara berkembang untuk menanam lebih banyak tanaman pangan.
Dia mengutip kalimat John Block, Menteri Pertanian Amerika Serikat (AS), selama berlangsungnya perundingan perdagangan Putaran Uruguay tahun 1986. Kalimatnya begini, ”Gagasan agar negara-negara berkembang harus mampu memberi makan diri mereka sendiri adalah suatu kesalahan dari masa lalu. Mereka perlu diyakinkan bahwa ketahanan pangan mereka akan lebih baik bersandar pada hasil-hasil pertanian AS yang selalu tersedia yang, dalam banyak hal, jauh lebih murah.”
Teori itu telah diuji sejak 1980-an dan, kata McMahon, ternyata keliru. Banyak negara berkembang, terutama di Afrika, telah dipaksa secara bertahap menghapuskan semua subsidi pertanian dan membuka diri pada perdagangan pasar bebas. Hasilnya, sebagian besar negara tersebut kini menjadi pengimpor bersih bahan pangan. Hal itu tidak membantu negara-negara tersebut memperbaiki ketahanan pangannya.
Cukup masuk akal mengimpor bahan pangan saat harganya memang sedang murah. Namun, bagaimana ketika harganya melonjak atau ada hambatan mendatangkannya, sementara produksi domestik telanjur hancur akibat tekanan bertubi-tubi?
Lonjakan harga kedelai dan daging sapi di awal tahun ini cukuplah jadi pelajaran. Besarnya ketergantungan pada kedelai dan daging sapi impor membuat Indonesia tak berdaya menghadapi lonjakan harga di pasar dunia. Ketika mayoritas produsen tahu tempe mogok produksi dan pedagang daging mogok jualan, suplai bahan pangan kepada masyarakat juga terganggu.
Ada sederet contoh bagaimana kebijakan pangan murah menjebak Indonesia dalam ketergantungan impor yang semakin akut. Selain kedelai yang produksinya terus turun sejak tahun 1992, lalu digantikan oleh kedelai impor yang tumbuh makin dominan, ada gula, bawang putih, susu dan daging sapi, garam, dan tak tertutup kemungkinan komoditas pertanian lain yang impornya perlahan menggusur hasil panen dan sumber penghidupan petani di dalam negeri.
Dua pekan terakhir, kalangan petani riuh menentang kebijakan impor beras, gula, dan garam yang paradoksal. Pada komoditas beras, misalnya, pemerintah berencana mengimpor 1 juta ton meski produksi beras nasional 2019-2020 surplus, sementara produksi tahun 2021 diperkirakan baik. Volume impor gula juga dianggap berlebihan, sementara kuota impor garam dinaikkan ketika garam produksi petambak dalam negeri menumpuk tak terserap sejak 2019.
Alasan pemerintah adalah mengamankan cadangan (iron stock) beras, mengantisipasi kenaikan permintaan gula menjelang Ramadhan dan Lebaran, serta memenuhi kebutuhan garam industri yang naik. Logika publik selama ini, jika produksi dalam negeri cukup dan bahkan surplus, kenapa mesti impor? Faktor harga yang lebih murah barangkali jadi pertimbangan. Namun, apakah pemerintah menghitung dampak impor terhadap motivasi petani? Apakah mereka akan tetap semangat berproduksi jika hasil panen tahun lalu bahkan belum terserap?
Cerita petambak garam Jawa Timur menggambarkan kegetiran itu. Produksi garam tahun lalu tak sesuai harapan. Penyebabnya beragam, tetapi salah satunya karena kegairahan petambak yang merosot, terutama karena daya serap pasar rendah. Betapa tidak, produksi tahun 2019 belum terserap meski mutunya memenuhi syarat garam industri.
Jika Anda pedagang dan dagangan Anda tak diminati pembeli, apa yang Anda lakukan? Pilihannya, jika tidak beralih ke barang dagangan yang lebih diminati konsumen, biasanya pedagang akan menutup toko dan banting setir keluar sektor perdagangan. Demikian halnya petani. Problemnya, barang yang diproduksi petani tak hanya bernilai ekonomi, tetapi sekaligus bernilai sosial dan politik.
Dengan mempertimbangkan segenap risiko yang semakin kompleks, upaya memperkokoh kemandirian pangan merupakan pilihan yang bijak. Segenap ketidakpastian, baik karena faktor iklim, geopolitik, spekulasi di bursa komoditas, maupun gangguan perdagangan, membuat pemenuhan pangan menjadi semakin rentan di masa depan. Situasi ini yang membuat ketergantungan pada pangan impor akan semakin berisiko dibandingkan di masa-masa sebelumnya.
Oleh karena itu, importasi pangan karena alasan menstabilkan harga di tingkat konsumen atau menekan inflasi tak bisa serampangan agar tidak mematikan usaha dan motivasi petani di dalam negeri. Kebijakan pangan murah bisa jadi candu yang mematikan dalam jangka panjang.