Garam Lokal Membutuhkan Sentuhan Teknologi
Sentuhan teknologi bisa membantu meningkatkan kualitas garam lokal agar mencapai standar garam konsumsi maupun industri.
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas garam nasional dinilai belum mampu memenuhi standar garam konsumsi maupun industri. Akan tetapi, kendala ini seharusnya bisa ditangani dengan peningkatan kualitas garam nasional lewat pemakaian teknologi.
Peneliti dari Departemen Kimia IPB University, Mohammad Khotib, mengatakan, masih banyak garam nasional yang memiliki kandungan natrium klorida (NaCl) di bawah standar konsumsi, yakni 94 persen. Salah satu penyebabnya, petambak di tiap daerah menggunakan teknologi yang tidak seragam.
”Kalau teknologi itu seragam, seharusnya kualitas garam nasional bisa terpenuhi,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (16/3/2021).
Kendati demikian, Khotib menilai, garam-garam lokal tersebut masih bisa dikonsumsi asalkan tidak mengandung bahan berbahaya. Bahan berbahaya dari pengotor tersebut misalnya logam berat atau mikroba.
”Asalkan tidak ada bahan toksik, garam-garam dengan kadar NaCl 80 persen atau 90 persen masih aman dikonsumsi,” tambahnya.
Kualitas garam bisa optimal apabila air laut yang dipilih bebas dari limbah industri atau limbah domestik yang menjadi sumber mikroba. Sebisa mungkin lokasi tambak garam harus jauh dari risiko tersebut.
Berdasarkan kajian yang pernah dilakukan Khotib bersama tim dari Universitas Trunojoyo pada tahun 2016, tidak ditemukan garam lokal yang mengandung logam berat atau bakteri. Hanya saja, secara fisik, garam lokal memang terlihat kotor karena beberapa petambak masih melakukan proses kristalisasi garam menggunakan tanah sebagai alas.
Secara umum, ada tiga komponen yang bisa digunakan dalam proses kristalisasi garam. Pertama, bisa menggunakan alas tanah. Kedua, menggunakan geomembran. Ketiga, bisa juga memakai garam.
”Pada saat pemanenan, garam dari geomembran ini akan lebih bersih dibandingkan yang menggunakan alas tanah,” kata Khotib.
Baca juga : Petani Garam Kian Terpuruk
Penggunaan teknologi geomembran dalam produksi garam dianut oleh sekitar 60 persen petambak di Jawa Timur. Hal ini membuat produksi garam berkualitas tinggi di provinsi itu melimpah. Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur mencatat, stok garam saat ini mencapai 2,9 juta ton. Sebanyak 2,7 juta ton atau 94 persen di antaranya merupakan garam kualitas produksi (KP) 1 atau memiliki kandungan 97 persen sesuai kualifikasi industri (Kompas, 16/3/2021).
Sayangnya, hasil panen dari para petambak di Jawa Timur menumpuk di gudang garam karena belum mampu terserap secara optimal oleh pasar. Para petambak saat ini masih kesulitan menyimpan hasil produksi tahun 2020 karena gudang masih dipenuhi stok tahun 2019. Di sisi lain, pemerintah masih kerap melakukan impor garam.
Kualitas garam yang dihasilkan juga tidak terlepas dari tahapan penguapan air laut. Saat ini petambak banyak melakukan proses penguapan air laut menggunakan teknologi ulir. Menurut Khotib, teknologi penguapan lain yang bisa diterapkan misalnya dengan pengendapan bahan kimia.
”Hanya saja ongkos produksinya mahal untuk garam konsumsi,” katanya.
Untuk meningkatkan produktivitas, banyak teknologi yang bisa diterapkan oleh petambak garam. Misalnya, dengan membuat rumah garam (salt house) agar pengolahan bisa dilakukan sepanjang tahun tanpa terpengaruh cuaca.
”Secara sains, teknologi penguapan melalui rumah garam dengan memanfaatkan panas matahari atau angin bisa dilakukan. Namun, lagi-lagi ongkos produksinya akan lebih mahal,” tambahnya.
Kepala Pusat Bioteknologi IPB University Dwi Andreas Santosa mengatakan, garam nasional menghadapi dua permasalahan. Pertama, berkaitan dengan kualitas. Kedua, mengenai keberlanjutan demi memenuhi pasokan banyak industri. Padahal, produktivitas garam nasional masih fluktuatif.
Salah satu pemicunya adalah cuaca. Pada 2019 terjadi kemarau panjang di Indonesia sehingga produksi garam nasional mencapai 2,8 juta ton. Sementara pada tahun 2020, curah hujan cenderung tinggi sehingga produksi garam turun menjadi 1,2 juta ton.
Sementara kualitas garam amat dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan petambak. Selama garam dari petambak rakyat diolah kembali oleh PT Garam, pasti hasilnya akan sesuai dengan kualitas industri. Berbeda dengan pengolahan yang sepenuhnya dilakukan secara tradisional.
”Kalau yang langsung diproduksi oleh rakyat, kualitasnya masih di bawah kualitas industri,” katanya.
Baca juga : Impor Terus Naik, tetapi Garam Rakyat Tak Terserap
Menurut Andreas, petambak garam di Indonesia saat ini banyak menggunakan sistem tambak tunggal. Hal ini menyebabkan kualitas garam yang dihasilkan di bawah standar karena masih bercampur dengan unsur-unsur selain NaCl. Untuk meningkatkan kualitas, petambak bisa menggunakan lebih dari satu tambak.
”Tambak pertama, cairan garam diolah sampai tingkat konsentrasi tertentu. Kemudian dipindahkan ke tambak kedua sebelum dipanen di tambak ketiga untuk panen. Dengan begitu unsur-unsur (selain NaCl) akan terpisah,” ungkapnya.
Bukti kegagalan
Pemerintah diperkirakan akan mengimpor 3,07 juta ton garam tahun ini atau naik dari tahun lalu yang sebanyak 2,7 juta ton. Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, produksi garam nasional tahun 2021 ditaksir 2,1 juta ton. Sementara kebutuhan garam nasional diperkirakan 4,67 juta ton (Kompas, 12/3/2021).
Anggota Komisi IV DPR, Ema Umiyyatul Chusnah, mengatakan, rencana pemerintah mengimpor garam menjadi bentuk dari kegagalan mereka dalam meningkatkan potensi garam nasional. Padahal, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia.
”Pemerintah malah mengimpor garam ke negara-negara dengan garis pantai yang jauh lebih pendek dari negeri ini,” katanya dalam keterangan tertulis.
Ema mendorong agar kementerian terkait bekerja sama. Misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Kementerian BUMN untuk memaksimalkan perusahaan pelat merah di bidang pangan demi peningkatan produksi garam. Koordinasi yang dilakukan sejauh ini, menurut dia, belum optimal.
Selain produktivitas, kualitas yang di bawah standar menjadi masalah dalam produksi garam nasional. Menurut Ema, masalah yang sudah terjadi bertahun-tahun ini seharusnya sudah mendapatkan solusi. Dia menyoroti peran BUMN terkait seperti PT Garam yang belum optimal menjalankan fungsinya.