Digitalisasi Berpotensi Dorong Ekonomi dan Kebijakan Berkualitas
Transformasi digital berpotensi meningkatkan pendapatan, lapangan kerja, hingga kualitas pembuatan kebijakan suatu negara. Sejumlah upaya dibutuhkan untuk mewujudkan manfaat tersebut.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi digital memegang peranan penting secara ekonomi bagi suatu negara. Digitalisasi juga dapat mendorong pembangunan yang inklusif serta meningkatkan kualitas pembuatan kebijakan. Sejumlah upaya dibutuhkan untuk mewujudkan manfaat tersebut.
Berdasarkan perhitungan Bank Pembangunan Asia (ADB), apabila sektor digital tumbuh 20 persen dari posisi tahun 2020 hingga 2025, pendapatan tahunan global akan meningkat hingga 4,3 triliun dollar AS dengan peningkatan di Asia mencapai 1,7 triliun dollar AS. Kondisi tersebut juga dapat menambah pendapatan 136,3 miliar dollar AS dan 10 juta pekerjaan baru bagi Indonesia.
Country Economist for Indonesia and Senior Economist, Economics Research and Regional Cooperation Department, Bank Pembangunan Asia (ADB) James Villafuerte, Senin (15/3/2021), menyampaikan beberapa aspek yang dibutuhkan untuk mencapai hal tersebut.
Aspek yang dimaksud mencakup keterjangkauan dan kualitas infrastruktur informasi, komunikasi, dan teknologi. Selain itu juga kelancaran konektivitas digital, literasi dan kemampuan digital, serta keamanan sistem pembayaran dalam jaringan.
”Berikutnya adalah akses keuangan bagi usaha rintisan inovatif, penyelenggaraan e-government, dan kerangka kerja regulasi dan legal yang efektif,” ujar James Villafuerte.
James mengatakan hal tersebut saat memaparkan Asia Economic Integration Report 2021: Making Digital Platforms Work for Asia. Paparan disampaikan dalam seminar daring ADB bersama Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang bertema How Digital Transformation Can Assist Indonesia’s Economic Recovery: the Role of E-government.
Menurut dia, manfaat dan kesempatan yang dapat diberikan platform digital mencakup inklusi, inovasi, dan efisiensi. Penjual, misalnya, dapat mencari dan mengakses informasi, menjangkau pasar lebih luas, menggaet partisipasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta rumah tangga yang lebih besar.
Platform digital pun memungkinkan pelaku usaha membangun jejaring melalui teknologi, menyesuaikan layanan dengan kebutuhan, menghilangkan hambatan perdagangan dan perantara, serta memfasilitasi pembayaran dan distribusi.
Sementara itu, pembeli dapat mencari dan mengakses informasi. Mereka memiliki pilihan lebih beragam, dapat memperoleh kenyamanan, serta layanan yang lebih sesuai permintaan.
Peneliti senior CSIS Indonesia, Haryo Aswicahyono, menyampaikan arti penting kebijakan berbasis bukti dan data. Kebijakan berbasis data adalah cara terpenting agar suatu kebijakan bersifat obyektif dan tidak dipolitisasi.
Data dan analisis akan dapat menjawab siapa yang akan terdampak oleh kebijakan serta siapa yang mendapat manfaat dan dirugikan oleh kebijakan. ”Tanpa pengumpulan data yang sistematis dan mutakhir tidak bisa dilakukan pengawasan dan evaluasi,” ujar Haryo.
Di satu sisi, data membantu masyarakat melakukan kontrol, debat, dan diskusi tentang suatu isu. Di sisi lain, data juga mendorong pemerintah lebih transparan dan akuntabel (terukur).
Menurut Haryo, big data (mahadata) dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kebijakan pemerintah. Namun, pertanyaan yang mesti diingat adalah apakah mahadata tersebut akan dapat diterjemahkan menjadi kebijakan dengan baik.
”(Hal ini) Karena bisa saja kita mempunyai data banyak, tetapi tidak ada niat politik untuk menjadikannya sebagai suatu kebijakan yang transparan, real time (sesuai waktu terkini), dan sebagainya,” ujar Haryo.
Pertanyaan selanjutnya, kata Haryo, adalah apakah mahadata ini dapat meningkatkan keterlibatan publik untuk bersama-sama mengevaluasi kebijakan pembangunan.
Deputi IV Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mohammad Rudy Salahuddin menuturkan, pihaknya sepakat mengenai hal-hal prioritas yang mesti dilakukan untuk mewujudkan potensi digital. Hal-hal tersebut memang masih menjadi kendala di Indonesia.
Rudy mencontohkan di awal pandemi Covid-19 tahun lalu, melalui program pemulihan ekonomi nasional, pemerintah mencoba memberi bantuan sosial langsung kepada para pelaku UMKM yang terdampak. ”Namun, kendala pertama kita adalah di sisi data. Jadi, kita tidak pernah mempunyai data by name by address (nama dan alamat) para pelaku UMKM yang jumlahnya konon disebut sekitar 64 juta unit,” katanya.