Baru 344.678 perusahaan yang sudah mendaftarkan wajib lapor ketenagakerjaan perusahaan (WLKP) secara dalam jaringan.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Basis data yang lengkap dan terintegrasi berperan penting dalam mengawasi dan menegakkan hukum ketenagakerjaan. Namun, jumlah perusahaan yang menyampaikan wajib lapor ketenagakerjaan perusahaan secara dalam jaringan melalui Sistem Informasi Ketenagakerjaan masih terbatas.
Padahal, nantinya Sistem Informasi Ketenagakerjaan (Sisnaker) akan dijadikan patokan tunggal untuk program perlindungan pekerja. Program itu, antara lain, adalah Jaminan Kehilangan Pekerjaan, insentif Pajak Penghasilan (PPh 21), dan Kartu Prakerja.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, data yang belum padu mengakibatkan pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan belum optimal.
”Pendataan sudah ada, tetapi selama ini sifatnya sukarela. Hal ini, salah satunya, yang menyebabkan pemantauan dan inspeksi belum optimal, sedangkan jumlah perusahaan semakin banyak,” kata Anwar saat dihubungi di Jakarta, Minggu (14/3/2021).
Menurut data portal wajib lapor Kemenaker, hingga 11 Maret 2021 ada 344.678 perusahaan yang sudah mendaftarkan wajib lapor ketenagakerjaan perusahaan (WLKP) secara dalam jaringan. Jumlah itu jauh dari jumlah perusahaan yang dicatat Badan Pusat Statistik dalam Sensus Ekonomi 2016, yakni 26,71 juta perusahaan. Sensus diperbarui per 10 tahun.
Hal ini, salah satunya, yang menyebabkan pemantauan dan inspeksi belum optimal, sedangkan jumlah perusahaan semakin banyak.
Sementara mengacu pada data BP Jamsostek per September 2019, sebanyak 646.908 perusahaan mendaftarkan pekerja di program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Targetnya, pada 2021, sebanyak 2 juta perusahaan sudah mendaftarkan kondisi ketenagakerjaan ke Sisnaker.
Anwar menduga, kepatuhan terhitung rendah karena belum banyak manfaat dari mendaftarkan informasi ketenagakerjaan perusahaan. Kondisi ini diyakini akan berubah karena program-program ketenagakerjaan yang mengandalkan pendataan Sisnaker akan semakin banyak pada masa mendatang. Program itu, di antaranya, ialah Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang mulai berlangsung, insentif Pajak Penghasilan (PPh 21), dan Kartu Prakerja.
”Pengawasan melalui pendataan Sisnaker juga akan melekat menjadi indikator kinerja direktorat jenderal di Kemenaker dijadikan barometer. Pengawasan seharusnya lebih optimal,” ujar Anwar.
Pekerjaan rumah
Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Binawasnaker dan K3) Kemenaker Haiyani Rumondang mengatakan, pendataan WLKP lebih lengkap secara daring menjadi salah satu pekerjaan rumah Kemenaker paling mendesak. ”Ke depan, pelaporan secara manual sudah tidak lagi dilakukan. Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang mendorong semua layanan publik terintegrasi dalam teknologi online single submission,” ujar Haiyani.
Online single submission (OSS) adalah sistem perizinan usaha terintegrasi secara elektronik. Melalui sistem OSS, pengguna jaringan dapat mengakses informasi secara lengkap lewat satu akun. Sistem pendataan terpadu diharapkan mendorong pengawasan ketenagakerjaan lebih ketat. Selama ini, pengawasan ketenagakerjaan belum optimal akibat pendataan yang lemah serta sumber daya manusia yang terbatas.
”Harapannya, pengawas ketenagakerjaan dan penguji K3 sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum bidang ketenagakerjaan dan pelayanan pengujian lingkungan kerja lebih berani melakukan perubahan,” kata Haiyani.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, pendataan antara Sisnaker yang dikelola Kemenaker dan data BP Jamsostek juga harus diintegrasikan. Pendataan yang terpadu semakin penting untuk pelaksanaan program JKP.
”Jika data JKP akan mengacu pada Sisnaker, datanya harus dipadukan dengan BP Jamsostek. Jika tidak, ada pekerja yang bisa-bisa tidak mendapat JKP karena tidak terdata di Sisnaker, padahal ia peserta BP Jamsostek,” kata Timboel.
Jika data JKP akan mengacu pada Sisnaker, datanya harus dipadukan dengan BP Jamsostek.
Timboel menambahkan, pemerintah juga harus lebih tegas menyosialisasikan WLKP ke perusahaan-perusahaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981, pengusaha yang tidak memenuhi kewajiban melapor WLKP dapat dikenai sanksi denda setinggi-tingginya Rp 1 juta atau pidana kurungan paling lama 3 bulan.
Akan tetapi, Timboel menilai, payung hukum itu harus direvisi agar lebih relevan dengan perkembangan zaman. Selain penguatan sanksi dan penegakan hukum bagi perusahaan yang lalai, UU juga harus mengatur lebih detail dan mengikat mengenai integrasi pendataan dan ekosistem ketenagakerjaan.
”Banyak yang harus direvisi karena sudah tidak terlalu relevan. Diharapkan, ke depan Kemenaker dapat memiliki data ketenagakerjaan yang lebih komprehensif,” ujarnya. (AGE)