Ketekunan Membawa Pembaca ”Kompas” Jadi Guru Besar UI
Universitas Indonesia mengukuhkan delapan guru besar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis serta Fakultas Kedokteran hari ini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berita yang dimuat di harian Kompas sejak lima dekade lalu dinilai berkontribusi memperluas wawasan pembaca. Salah satu Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Prof Rofikoh Rokhim, SE SIP DEA PhD menjadi guru besar setelah mengumpulkan pengetahuan dari surat kabar sejak dulu.
Rofikoh, pembaca Kompas sekaligus Komisaris Independen BRI, mengatakan sudah membaca berbagai surat kabar sejak duduk di bangku sekolah dasar. Ia membaca berbagai berita, kemudian mengkliping artikel-artikel yang dianggap menarik. Sebagian kliping itu masih disimpan di rumahnya, Klaten, Jawa Tengah.
”Bapak saya yang pedagang kerap pergi ke kota 1-2 kali seminggu. Beliau membawa koran Kompas ketika pulang. Walau orang kampung, kami ingin tahu lebih banyak (informasi). Setelah orangtua punya penghasilan lebih, barulah kami langganan koran,” kata Rofikoh saat dihubungi, Sabtu (13/3/2021).
Ia punya minat membaca yang tinggi sejak kecil. Beragam genre bacaan dibaca, baik komik, cerita bersambung, berita, maupun kisah horor. Surat kabar yang ia baca, antara lain, Kompas, Tempo, dan Bisnis Indonesia. Ia masih berlangganan surat kabar itu hingga sekarang.
Pengetahuan yang dibaca sejak kecil membantunya ketika kuliah ekonomi dan administrasi negara. Tulisan ekonom Kwik Kian Gie, Mari Elka Pangestu, hingga Boediono ia jadikan panduan.
Universitas Indonesia mengukuhkan dua guru besar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), serta enam guru besar dari Fakultas Kedokteran, Sabtu (13/3/2021). Guru besar yang dikukuhkan dari FEB UI adalah Rofikoh dan Prof Dr Budi Frensidy, SE, Ak, Mcom.
Sementara itu, enam guru besar tetap Fakultas Kedokteran UI yang dikukuhkan meliputi Prof dr Elisna Syahruddin, PhD, SpP(K); Prof dr Muchtaruddin Mansyur, MS, PKK, PDGDRM, SpOk, PhD; Prof Dr dr Pustika Amalia Wahidiyat, SpA(K); Prof Dr dr Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K); Prof Dr dr Pramita Gayatri, SpA(K); dan Prof Dr dr Aman Bhakti Pulungan, SpA(K), FAAP, FRCPI (Hon).
Menurut Rofikoh, posisinya sekarang tak lepas dari tingginya minat baca yang ia miliki sejak kecil. ”Saya tidak pintar, tapi tekun. Di agama Islam ada iqra untuk membaca. Itu sebuah kode keras dari Allah agar kita membaca,” katanya.
Ia kemudian dikukuhkan menjadi guru besar setelah membawa pidato berjudul ”Perbankan dan Keuangan Sosial: Aspek Berkelanjutan untuk Kesejahteraan”.
Keuangan berkelanjutan
Dalam pidato itu, Rofikoh berpendapat bahwa perbankan dapat menggerakkan ekonomi melalui praktik keuangan berkelanjutan (sustainable finance). Praktik ini tidak hanya fokus ke perolehan keuntungan, tetapi juga ke keberlanjutan lingkungan dan manusia.
Lembaga keuangan didorong untuk meningkatkan aliran modal ke proyek dan sektor hijau. Pencarian keuntungan di suatu model bisnis harus selaras dengan konsep keberlanjutan.
Konsep keuangan berkelanjutan dinilai memberi keuntungan lebih rendah. Namun, keuntungan dipastikan berkelanjutan dalam jangka waktu panjang.
”Misalnya, lembaga keuangan memberi pinjaman berbunga tinggi pada perusahaan yang melakukan pertambangan tanpa memerhatikan keberlanjutan lingkungan. Dalam jangka pendek, bank mendapat pendapatan bunga yang menarik. Namun, begitu kegiatan pertambangan berhenti karena sumber daya habis dan lingkungan sekitar rusak, bank akan kesulitan menyalurkan dananya dalam jangka panjang,” kata Rofikoh.
Konsep ini mulai diadaptasi beberapa lembaga keuangan di dunia. Sementara itu, di Indonesia, Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah menerbitkan obligasi dengan skema berwawasan lingkungan sebesar 500 dollar AS. Hal itu direspons positif. BRI mencatat minat beli investor mencapai 4,1 miliar dollar AS.
Di sisi lain, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menilai, ekonomi hijau menciptakan peluang kerja baru, khususnya di sektor energi baru terbarukan. Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, kegiatan energi baru terbarukan dan restorasi lahan gambut bisa menciptakan 103.000 pekerjaan setiap tahun (Kompas, 19/2/2021).
”Indonesia akan melakukan shifting dari pendekatan konvensional untuk menciptakan lapangan kerja. Sudah saatnya ini harus dilakukan,” kata Suharso.