Mengembalikan Masa Keemasan Anggur Bali
Anggur hasil budidaya petani di Kabupaten Buleleng, Bali, memiliki rasa manis dan warna lebih gelap dari tanaman serupa di tempat asalnya. Masyarakat Buleleng menanamnya sejak 1930-an saat penjajahan Belanda.
Meskipun bukan tanaman asli dari Pulau Dewata, anggur hitam menjadi identik dengan Bali. Anggur yang dihasilkan dari kebun-kebun petani di Kabupaten Buleleng pernah menjadi buah populer dari Bali.
Anggur diperkirakan mulai ditanam di Bali, terutama di kawasan pesisir di Bali utara, pada tahun 1930-an, ketika masa penjajahan Belanda. Budidaya anggur di Buleleng semakin intensif mulai 1950-an ketika Bali menjadi bagian Provinsi Sunda Kecil.
Terdapat lima jenis anggur (Vitis vinifera) yang mula-mula ditanam di daerah Provinsi Sunda Kecil, termasuk Bali, di antaranya Gross Colman, Isabella, Alphonso Lavallee, dan Brilliant. Namun, hanya dua jenis anggur, yakni Alphonso Lavallee dan Gross Colman, yang dapat berkembang dengan baik di daerah tropis di Sunda Kecil. Anggur jenis Alphonso Lavallee lebih cocok ditanam dan dibudidayakan di Bali, terutama di kawasan pesisir Bali utara dengan kondisi tanah yang cenderung lempung dan berpasir.
Dari kerja keras petani yang menanam dan merawat tanaman anggur dan didukung kondisi lahan di pesisir Buleleng, lambat laun anggur jenis Alphonso Lavallee yang ditanam dan dibudidayakan petani anggur setempat menghasilkan buah anggur yang menyimpang dari anggur asalnya. Anggur Alphonso dari Buleleng memiliki rasa dan warna buah yang berbeda.
”Anggur jenis Alphonso yang dihasilkan dari kebun petani di Buleleng memiliki rasa lebih manis dan warna buah anggurnya hitam lebih gelap,” kata Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng I Gede Subudi yang dihubungi Kompas, Jumat (12/3/2021). Adapun buah asalnya juga berwarna hitam, tetapi cenderung kebiru-biruan.
Baca juga : Menikmati Malam di ”Kebun Anggur Abruzzo”...
Subudi menambahkan, mulai 1971, budidaya anggur di Buleleng semakin digenjot. Selain di Buleleng, sentra kebun anggur di Indonesia, antara lain, berada di Probolinggo (Jawa Timur) dan Palu (Sulawesi Tengah). Lantaran hasil anggur Alphonso di Buleleng itu berbeda dengan anggur Alphonso asalnya, anggur hitam Alphonso dari kebun di Buleleng itu diusulkan agar mendapat pengakuan sebagai anggur varietas Bali.
Sekitar 1984, kebun anggur di Buleleng yang semula berada di tiga kecamatan, yakni Banjar, Seririt, dan Gerokgak, meluas sampai ke Kecamatan Sawan dan Kecamatan Kubutambahan. Kegairahan menanam anggur semakin mencuat setelah anggur varietas Bali diakui berdasarkan surat keputusan Menteri Pertanian tahun 1985.
Kualitas
Adapun luas kebun anggur di Buleleng di lima kecamatan mencapai 868.928 hektar pada 2020. Dari 434.460-an tanaman anggur yang ditanam petani setempat di Buleleng, kebun anggur di Buleleng menghasilkan lebih dari 12.450 ton pada 2020. Dalam kurun 2010-2020, Buleleng menghasilkan rata-rata 10.800 ton anggur segar per tahun.
Baca juga : Bali dan NTT Berharap Minuman Lokal Tetap Dikelola dan Dipertahankan
Anggur Bali yang merupakan keturunan anggur Alphonso Lavallee itu pernah menjadi buah primadona di Bali. Selain dapat dikonsumsi sebagai buah segar, anggur hitam dari Buleleng itu juga menjadi bahan baku sejumlah produk olahan, mulai makanan hingga minuman. Semakin banyak petani di Buleleng yang memilih menanam anggur sebagai pengganti jeruk setelah banyak tanaman jeruk di Buleleng terserang penyakit citrus vein phloem degeneration (CvPD).
Namun, kejayaan anggur Bali itu menyurut. Hal itu disebabkan, antara lain, kualitas anggur merosot dan juga akibat semakin banyak buah-buahan impor, termasuk anggur, yang masuk ke pasar lokal.
Petani anggur dari Desa Gerokgak, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Putu Subrata (44), menuturkan, petani anggur di Gerokgak maupun di Buleleng merasakan masa keemasan anggur dan juga menerima rasa perih ketika kejayaan anggur itu merosot. Mulai 1980-an, menurut Putu, petani anggur di Buleleng menikmati masa keemasan dari anggur.
Namun, masa kejayaan anggur dari Buleleng itu hanya bertahan hingga tahun 2000-an. Anggur dari petani di Buleleng pernah dihargai sampai Rp 150 per kilogram saat masa panen. Selain harga yang jatuh, petani anggur juga terbebani utang dari pengijon atau tengkulak.
Sebagai petani anggur generasi kedua di keluarganya, Putu mengungkapkan, petani anggur di Buleleng mengenal istilah sapi habis dimakan anggur. ”Demi mempertahankan kebun anggurnya, petani harus menjual sapi-sapi mereka,” kata Putu ketika ditemui di kebun pembibitan dan pengembangan anggur yang dikelola Asteroid Vineyard di Desa Musi, Kecamatan Gerokgak, Kamis (11/3/2021).
Sejak 2010, Putu menanam anggur Muscat di kebun anggur milik keluarga. Penggantian jenis anggur dari Alphonso ke Muscat itu dilakukan Putu setelah dia dan beberapa petani anggur di Desa Gerokgak berkenalan dengan Lucky Parikesit dan tim Asteroid Vineyard.
Pengawas di Asteroid Vineyard, Buleleng, Lucky Parikesit, menuturkan, pihaknya bermitra dengan petani dan pengusaha untuk mengembangkan pertanian anggur di Buleleng. Anggur Muscat yang berwarna hijau terang maupun anggur Alphonso yang berwarna hitam merupakan bahan baku pembuatan minuman anggur atau wine.
Baca juga : Brem, Tuak, dan Arak Bali Diatur Pergub
Antara 2009 sampai 2010, Asteroid Vineyard membangun komunikasi dengan petani anggur di Gerokgak dan mengajak mereka mengembangkan budidaya anggur yang baik sehingga kualitas anggur yang dihasilkan petani dapat memenuhi kebutuhan pabrik minuman anggur dan juga anggur sebagai buah konsumsi.
”Anggur adalah buah yang berpotensi diolah menjadi wine,” kata Lucky di Gerokgak, Kamis (11/3/2021). Tidak hanya mengajak petani membenahi cara penanaman, perawatan, sampai pemanenan anggur yang sudah ditanam, pihak Asteroid Vineyard juga mengajak petani tersebut menghitung potensi risiko dan mencoba menanam varietas baru.
Pola kemitraan yang dibangun Asteroid Vineyard itu menjangkau semakin luas petani anggur di Buleleng, terutama di Kecamatan Seririt dan Gerokgak. Petani itu menjadi pemasok buah anggur segar untuk PT Sababay Industry, perusahaan wine di Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali.
Putu mengungkapkan, petani yang semula merasa trauma menanam anggur lantaran lebih sering merugi menjadi antusias membudidayakan anggur sejak bermitra dengan Asteroid Vineyard dan PT Sababay Industry. Petani juga merasa senang karena mereka turut menentukan harga jual anggur dan mendapatkan kepastian bahwa anggur hasil kebun mereka diserap perusahaan.
Baca juga : I Nyoman Sridana, Menyembuhkan dari Kebun
Putu juga menuturkan, banyak petani anggur lainnya yang menyatakan minatnya untuk bermitra. Setelah menanam anggur Muscat, para petani mitra Asteroid Vineyard juga mulai menanam jenis anggur untuk bahan minuman, misalnya Siraz dan Cabernet Sauvignon.
Lucky mengatakan, pola kemitraan yang dijalankan pihaknya bersama petani dan pengusaha menempatkan petani dan pengusaha dalam posisi sejajar. Petani merasa memiliki perusahaan sehingga mereka menjaga kualitas produksi anggurnya dan sebaliknya, perusahaan benar-benar memperhatikan petani sehingga petani tetap memproduksi anggur berkualitas. ”Saling bersinergi,” kata Lucky.
Produksi
Produk minuman anggur (wine) yang menggunakan bahan baku buah anggur dari hasil perkebunan lokal di Bali tidak hanya untuk mendukung pemenuhan kebutuhan wine di dalam negeri. Beberapa perusahaan minuman anggur berlokasi dan berproduksi di Bali, di antaranya Hatten Wines dan PT Sababay Industry.
Dalam catatan Kompas, PT Sababay Industry juga memproduksi minuman anggur khusus misa bagi Gereja Katolik di Indonesia.
Minuman anggur termasuk jenis komoditas yang dibutuhkan industri pariwisata, termasuk di Bali. Di sisi lain, kebutuhan anggur misa untuk peribadatan di Gereja Katolik di Indonesia juga tidak sedikit. Anggur misa juga tidak boleh menggunakan sembarang anggur dan tidak ada campuran lain dalam proses fermentasi dan pengolahan maupun penyimpanannya.
Selain itu, dipertimbangkan pula sisi pemberdayaan masyarakat, seperti yang dilakukan PT Sababay Industry melalui kerja sama dan kemitraan antara perusahaan itu dan petani lokal. Hal lain, anggur yang diolah dihasilkan dari kebun sendiri.
Adapun PT Sababay Industry membangun pabrik wine, yakni Sababay Winery, di Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, yang berdekatan dengan Pantai Saba. Anggur, yang menjadi bahan baku minuman, berasal dari hasil perkebunan anggur masyarakat di Gerokgak dan Seririt, Buleleng.
Sababay Winery juga dilengkapi dengan peralatan pengolahan dan pembotolan yang mengikuti standar pabrik wine di Eropa. Mereka memproduksi beberapa jenis minuman anggur berdasarkan jenis anggur dan cara pengolahan, di antaranya Pink Blossom dari anggur Alphonso Lavallee, White Velvet dari anggur Muscat, dan perpaduan dari beberapa jenis anggur lain.
PT Sababay Industry juga mengenalkan varietas anggur lain untuk ditanam di kebun anggur petani di Buleleng, antara lain Siraz dan Cabernet Sauvignon. Kehadiran PT Sababay Industry di Bali itu juga menambah jumlah perusahaan minuman anggur di Bali yang memanfaatkan anggur hasil perkebunan lokal Bali sebagai bahan baku utama.
Tetes suci
Anggur itu berasal dari kebun warga Buleleng, Bali. Anggur kemudian difermentasi dan diolah di Sababay Winery milik PT Sababay Industry di Gianyar. Di antara anggur yang diproduksi, ada sebagian yang unik dan spesifik untuk Gereja Katolik guna kepentingan ritus suci ekaristi.
Perlu waktu lebih dari 472 tahun bagi Gereja Katolik di Nusantara untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor anggur guna kepentingan misa. Rentang waktu hampir separuh milenium (500 tahun) itu terhitung sejak 1546 yang merupakan tahun kedatangan Santo Fransiskus Xaverius di Maluku sampai 2018, tahun terakhir impor anggur untuk ekaristi dari produsen di Australia.
Kedatangan Santo Fransiskus Xaverius dianggap sebagai tonggak kehadiran Gereja Katolik di Nusantara. Santo dari kongregasi Jesuit itu membaptis kalangan masyarakat Kepulauan Maluku sehingga dimulailah Gereja Katolik di Nusantara. Dalam ekaristi, mutlak diperlukan hosti dan anggur sebagai perlambang tubuh dan darah Yesus Kristus yang hadir untuk umat. Untuk itu, anggur yang dipakai berstandar khusus dan diatur amat ketat oleh Vatikan sebagai otoritas Gereja Katolik dunia.
Anggur untuk misa di Gereja Katolik di Nusantara harus didatangkan dari produsen di mancanegara yang terjamin oleh Vatikan. Berabad-abad, anggur misa konon didatangkan dari Spanyol. Namun, sejak 1974, anggur misa diimpor dari Sevenhill Cellars di Australia.
Selanjutnya, sejak 2018, anggur misa dipenuhi oleh produksi dalam negeri melalui Sababay Winery. Kebutuhan anggur misa untuk 37 keuskupan di Indonesia setidaknya 35.000 liter per tahun.
Pastor RD Agustinus Surianto Himawan, Kepala Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia-Pelayanan Umum-Tenaga Gereja Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), saat dihubungi pada Kamis (11/3/2021) dari Surabaya membenarkan bahwa kebutuhan anggur misa untuk Gereja Katolik dipenuhi oleh Sababay Winery. Hal senada diutarakan oleh Yoke Darmawan, konsultan media Sababay Industry yang dihubungi secara terpisah dari Surabaya.
Swasembada
Gagasan untuk swasembada anggur misa sudah dimunculkan pada awal milenium ketiga atau 2000. Sedasawarsa kemudian, dalam Sidang Sinodal KWI, gagasan itu kembali muncul. Namun, dari sidang itu, kalangan uskup atau waligereja belum memberi rekomendasi, apalagi persetujuan. Gereja menganggap industri domestik belum siap memenuhi standar anggur misa.
Gagasan swasembada anggur misa tetap berkembang. Antara lain, kalangan akademisi Katolik mengadakan lokakarya. Namun, hal itu belum bisa segera ditindaklanjuti melalui langkah konkret. Padahal, impor anggur yang notabene masuk dalam kategori minuman beralkohol kian sulit. Harga pembelian harus dengan valuta asing yang begitu perkasa terhadap rupiah. Regulasi impor ternyata juga amat ketat sehingga perlu waktu lama bagi Gereja Katolik mendapatkan anggur misa.
Untuk impor anggur misa, Gereja Katolik harus mengurus permintaan rekomendasi ke Kementerian Agama agar barang peribadatan bebas bea masuk. Selain itu, negosiasi harga dengan produsen sampai pembayaran. Belum lagi pengurusan dokumen impor dan distribusi ke 37 keuskupan. Pengadaan memerlukan waktu setidaknya setahun sehingga Gereja Katolik pernah mengubah periodisasi impor menjadi setiap dua tahun dari sebelumnya per tiga tahun.
Aparatur negara juga terkadang bingung dengan kedatangan beribu-ribu liter anggur beralkohol. Mereka menganggap anggur itu sebagai minuman untuk umum, bukan untuk peribadatan khusus. Situasi ini terkadang membuat lama pengurusan pelepasan karena aparatur perlu diberi pemahaman tentang kebutuhan anggur dalam konteks peribadatan Gereja Katolik.
Pastor Agustinus membenarkan bahwa dalam Rapat Presidium KWI, Agustus 2016, gagasan swasembada anggur misa kembali diutarakan dan mendapat perhatian. KWI akhirnya membentuk tim swasembada anggur misa yang dalam perjalanan setahun kemudian berbuah manis.
Dalam Sidang Sinodal KWI, November 2017, sebanyak 34 dari 37 uskup yang hadir setuju penjajakan pemakaian anggur misa produksi lokal. Selanjutnya, setelah melalui serangkaian uji coba dan sertifikasi berlapis, KWI menyatakan produk tertentu dari Sababay Winery dinyatakan Nihil Obstat atau tanpa keberatan sehingga layak digunakan untuk ekaristi umat di seluruh penjuru Nusantara.
Pada 2019, separuh kebutuhan anggur misa dipenuhi oleh Sababay Industry. Yang separuh dipenuhi dari sisa impor 2018. Tahun lalu, seluruh kebutuhan anggur misa sudah terpenuhi oleh produksi dalam negeri. Bahkan, sejak September 2019, juga telah diluncurkan anggur misa bercukai bagi kepentingan terbatas umat untuk perayaan ekaristi mandiri. Pembelian anggur misa bercukai ini dicatat sebagai bentuk dari pengawasan agar tidak disalahgunakan.
Sakramental
Dalam ritus Katolik, ekaristi mengenang peristiwa perjamuan terakhir Yesus bersama para murid sebelum pengorbanan-Nya melalui kematian dan kebangkitan. Tradisi Katolik menyebutkan, dalam perjamuan terakhir, Yesus memakai roti dan anggur yang disebut-Nya sebagai Tubuh dan Darah.
Dalam Gereja Katolik, terdapat berbagai norma yang tak boleh dilanggar untuk penyediaan roti dan anggur. Roti adalah hosti yang tak beragi alias murni. Anggur harus murni dan tidak cacat. ”Ekaristi bagi Gereja Katolik adalah puncak seluruh sakramen,” kata Pastor Agustinus.
Gereja Katolik juga memercayai transubstansiasi dalam ekaristi. Yang dimaksud ialah seusai pengucapan konsekrasi, hosti dan anggur kemudian telah diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus sendiri. Bagi umat, menerima hosti dan anggur merupakan ibadah sempurna yang melambangkan kehadiran Allah dalam diri. Dalam butir anggur dari Negeri Dewata kini terkandung tetes-tetes ”suci” bagi Gereja Katolik.