Defisit beras di sebagian wilayah semestinya diatasi dengan memperbaiki distribusi dan koordinasi antardaerah. Pemerintah memastikan beras impor untuk memperkuat cadangan pangan dan tidak digelontorkan saat panen raya.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi kenaikan produksi beras di setiap provinsi tak merata sehingga memunculkan daerah surplus dan defisit. Pemerintah menjadikan hal ini sebagai alasan untuk mengimpor beras. Padahal, solusi persoalan tersebut adalah penguatan koordinasi antardaerah.
Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira Adhinegara, produksi beras di Indonesia secara spasial tak merata. Keragaman volume hasil produksi itu membuat ada daerah yang surplus dan defisit. ”Tim Pengendali Inflasi Daerah mesti berkoordinasi. Daerah yang surplus bisa mengisi kebutuhan yang defisit,” ujarnya, Jumat (12/3/2021).
Impor dianggap bukan solusi atas persoalan kesenjangan stok beras antardaerah. Menurut Bhima, saat panen raya, distribusi diperkuat sehingga stok dapat disalurkan ke daerah yang defisit.
Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan, produksi beras Januari-April 2021 mencapai 14,53 juta ton atau naik 26,84 persen dibanding periode sama tahun lalu. Provinsi yang berpotensi memproduksi beras di atas 500.000 ton selama periode itu, antara lain, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat.
Secara nasional, produksi beras juga mencukupi kebutuhan yang sekitar 29 juta ton per tahun. BPS mencatat, produksi beras Indonesia mencapai 31,31 juta ton tahun 2019 dan naik menjadi 31,33 juta ton tahun 2020.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud menilai, impor dibutuhkan untuk menjamin stok beras dalam rangka menjaga ketersediaan pangan sepanjang 2021 sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial dan politik. Ketersediaan pangan yang terjamin membantu kinerja perekonomian nasional.
”Surplus memang ada. Tetapi, surplus hanya berada di 6-7 provinsi (sentra produksi) dan ada yang defisit. Belum lagi wilayah di pulau-pulau. Oleh karena itu, Bulog mesti (memiliki persediaan) cukup agar dapat menyalurkan ke daerah-daerah tersebut,” ujarnya dalam seminar daring ”Prospek Agribisnis Indonesia 2021” yang digelar Agrina, Rabu (10/3/2021).
Musdhalifah menggarisbawahi, angka 1 juta ton merupakan alokasi impor dan beras impor tidak digelontorkan saat panen raya. Alokasi itu penting untuk menjaga stok Bulog sebesar 1,5 juta ton di akhir 2021.
Stok global
Selain itu, Musdhalifah menyoroti tren harga beras dunia yang meningkat, fluktuasi ketersediaan beras dunia, serta kecenderungan negara mengamankan stok pangannya selama pandemi. Artinya, alokasi impor penting ditetapkan saat ini guna mengantisipasi tren dan kecenderungan tersebut.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat, indeks harga beras dunia pada Februari 2021 berada di posisi 116. Posisi indeks ini lebih tinggi 1,5 persen dibanding bulan sebelumnya dan melonjak hingga 11,4 persen dibanding Februari 2020.
Publikasi Economic Research Service Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) berjudul Rice Outlook yang ditulis Nathan Childs pada Februari 2021 memperkirakan, stok beras pada akhir 2020/2021 berkisar 178,1 juta ton atau sekitar 200.000 ton lebih rendah dibanding periode tahun sebelumnya. Penurunan stok akhir disebabkan konsumsi beras dunia yang 200.000 ton lebih tinggi dibandingkan dengan produksinya diperkirakan menjadi yang pertama dalam 14 tahun terakhir.
Pertimbangkan data
Menurut Bhima, impor belum sepenuhnya berdasarkan data. Padahal, BPS sudah menyediakan data yang menggambarkan situasi dari hulu ke hilir. Di hulu, misalnya, nilai tukar petani tanaman pangan turun ke bawah titik impas 100 pada Februari 2021, yakni di posisi 99,21. ”Kesejahteraan petani patut diperhatikan karena mereka tergolong kelompok rentan miskin,” katanya.
Di hilir, harga beras tidak berdampak signifikan pada inflasi bulanan selama pandemi. Situasi ini menandakan permintaan masih lemah selain pengaruh bantuan beras yang disalurkan oleh pemerintah.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi menilai, mengelola gabah dan beras beserta narasi kebijakan terkait tidak mudah. ”Ada tambahan kompleksitas atas fakta bahwa beras memiliki dimensi politik yang kental; berpengaruh kuat pada ekonomi, khususnya inflasi dan kemiskinan; serta mengandung kepentingan bisnis dengan total sekitar Rp 280 triliun per tahun,” ujarnya.
Sebelumnya, sejumlah organisasi menyatakan penolakannya atas rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras tahun ini. Gerakan Petani Nusantara, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, dan Serikat Petani Indonesia, misalnya, meminta pemerintah menghentikan rencana impor karena akan semakin menggerus kedaulatan pangan Indonesia.