PKL Masih Menjerit meskipun Pembatasan Sosial Dilonggarkan
Omzet pedagang kaki lima masih pas-pasan sejak awal pandemi Covid-19 hingga kini.
JAKARTA, KOMPAS — Omzet pedagang kaki lima atau PKL yang berdagang di kawasan perkantoran dan sekitar stasiun kereta rel listrik di Jakarta masih pas-pasan. Padahal, pembatasan aktivitas warga sudah dilonggarkan. Para PKL itu pun bersiasat mengurangi barang dagangan supaya tak merugi dan gulung tikar.
Masih anjloknya pendapatan PKL diduga karena jumlah karyawan perkantoran yang menjadi konsumen potensial PKL itu masih dibatasi untuk bekerja di kantor. Sejumlah karyawan juga menghindari mengonsumsi penganan dari PKL untuk mencegah penularan Covid-19.
Aktivitas PKL di sekitar Stasiun Tanah Abang dan Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat, contohnya, pada Kamis (11/3/2021) tampak tak terlampau ramai. Sejumlah lapak PKL di area masuk dan keluar stasiun tutup meskipun stasiun ramai oleh penumpang kereta rel listrik.
PKL yang tetap berdagang pada hari libur Isra Miraj 1442 Hijriah itu pun berusaha menawarkan barang yang dijajakan kepada penumpang KRL yang melintas.
Sekarang cilor yang saya jual jarang ludes. Kebanyakan penumpang KRL hanya lewat. Kalau sebelum pandemi bisa dapat Rp 700.000, sekarang paling Rp 300.000.
Subur, pedagang cilor di depan Stasiun Tanah Abang, mengatakan, penjualannya tidak menentu semenjak awal pandemi Covid-19 hingga kini. Menurut dia, hal itu berkaitan dengan jumlah penumpang KRL yang turun drastis selama masa pandemi akibat penerapan pembatasan sosial.
Jika sebelum pandemi pendapatannya berdagang cilor bisa berkisar Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per hari, sekarang omzetnya paling banter Rp 200.000 hingga Rp 300.000 per hari.
”Sekarang cilor yang saya jual jarang ludes. Kebanyakan penumpang KRL hanya lewat. Kalau sebelum pandemi bisa dapat Rp 700.000, sekarang paling Rp 300.000,” kata Subur.
Baca juga : Vaksinasi bagi Pedagang Belum Mendongkrak Omzet di Pasar Tanah Abang
Penurunan omzet membuat Subur bersiasat agar tak mengalami kerugian dengan cara mengurangi jumlah barang dagangannya. Dari semula sehari bisa menjual 500-700 tusuk cilor, sekarang paling banyak dia bisa menjual 300 tusuk. Setiap tusuk ia jual Rp 1.000.
Subur mengatakan masih beruntung dibandingkan PKL lain di tengah ketidakpastian pemasukan selama pandemi ini. Salah satunya karena ia berdagang menggunakan gerobak milik sendiri sehingga pengeluarannya hanya untuk kebutuhan sehari-hari dan sewa kontrakan di Kota Bambu Utara, Jakarta Barat, sebesar Rp 650.000 per bulan.
”Kalau masih sewa gerobak, harus ada uang yang disisihkan untuk bayar sewa gerobak,” ujarnya.
Padahal dibandingkan akhir tahun 2020, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini lebih longgar dalam menerapkan pembatasan sosial. Jika sebelumnya diterapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sekarang pemerintah menerapkan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro.
Pada masa PSBB jumlah karyawan yang bekerja di kantor hanya diperbolehkan 25 persen, sementara pengoperasian angkutan umum dibatasi pukul 05.00 hingga pukul 18.00. Pada masa PPKM berskala mikro, pembatasan itu dilonggarkan sehingga jumlah karyawan yang bekerja di kantor diperbolehkan hingga 50 persen. Angkutan umum, seperti kereta rel listrik, Transjakarta, dan moda raya terpadu, saat ini juga diperbolehkan beroperasi mulai pukul 05.00 hingga pukul 22.00.
Namun, pelonggaran pembatasan sosial itu tetap tak memengaruhi pendapatan para PKL di kawasan perkantoran.
Ratno, pedagang combro dan misro di kawasan perkantoran di Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, menyebutkan, omzetnya masih anjlok, dari sebelum masa pandemi sebesar Rp 400.000 menjadi Rp 150.000 per hari selama pandemi ini. Untuk menghindari kerugian, ia mengurangi biaya belanja bahan baku combro dan misro. Pengurangan biaya itu dari Rp 200.000 menjadi Rp 100.000.
Menurut Ratno, omzetnya turun karena banyak pegawai perkantoran di kawasan Jalan Jatibaru yang bekerja dari rumah selama pandemi ini. Sejak pandemi Covid-19 pada Maret 2020 lalu, untuk mengendalikan penularan virus korona, perkantoran di Jakarta diwajibkan mengurangi jumlah karyawannya bekerja di kantor dengan menerapkan kebijakan bekerja dari rumah.
”Kebanyakan pelanggan saya karyawan kantor di sekitar sini (Jatibaru). Kan, ada sif kerja (pembagian kerja di kantor dan kerja di rumah). Jadi, hanya sedikit karyawan yang masuk kantor,” ucapnya.
Baca juga : Pengusaha Kecil Bertahan Selama Pandemi Sembari Menahan Napas
Berkurangnya pendapatan dari berdagang combro itu mendorong Ratno mencari penghasilan tambahan dengan bekerja sebagai kuli bangunan. Menurut dia, dari bekerja sebagai kuli bangunan, ia memperoleh upah Rp 150.000 per hari dan itu cukup menambah pendapatannya.
Dari berdagang dan bekerja sebagai kuli bangunan, Ratno setidaknya bisa memperoleh pendapatan tak kurang dari Rp 2 juta per bulan. Pendapatan itu cukup baginya untuk membayar sewa kontrakan Rp 700.000 per bulan di Kampung Bali, Tanah Abang.
Sekarang ini penjual yang menunggu pelanggan. Kurangi bahan baku supaya bisa balik modal. Saya hanya ingat Presiden, jangan sampai putus dagang, nanti susah sendiri.
Abdul Hadi, pedagang soto dan tongseng di depan Stasiun Gondangdia, juga mengalami penurunan omzet karena pandemi. Dalam sehari, omzetnya berkisar Rp 250.000 hingga Rp 350.000, dari semula bisa mencapai Rp 700.000.
Ia menuturkan, hanya sedikit pekerja kantoran yang mampir untuk makan selama pandemi. Apalagi, sebagian pekerja masih bekerja dari rumah. Kondisi itu pun membuatnya mengurangi bahan baku dagangan supaya tak merugi.
”Sekarang ini penjual yang menunggu pelanggan. Kurangi bahan baku supaya bisa balik modal. Saya hanya ingat Presiden, jangan sampai putus dagang, nanti susah sendiri,” ujar Abdul.
Bawa bekal
Sejumlah karyawan perkantoran di kawasan Tanah Abang dan Gondangdia mengatakan, sejak pandemi melanda Indonesia, mereka lebih berhati-hati dalam memenuhi kebutuhan makannya sehari-hari.
Dinda (28), karyawan swasta di Gondangdia, contohnya, membawa bekal dan peralatan makan dari rumah semenjak pandemi. Ia menahan diri untuk tidak makan di kantin atau pantri karena takut terpapar SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
”Semenjak ada karyawan kantor yang positif Covid-19, jadi takut. Aku menghindari area ramai di jam-jam istirahat untuk saat ini,” kata Dinda.
Baca juga : Presiden Jokowi: Semua Pelaku Usaha Harus Bertahan
Semenjak ada karyawan kantor yang positif Covid-19, jadi takut. Aku menghindari area ramai di jam-jam istirahat untuk saat ini.
Putri (26), karyawan swasta yang berkantor di Jakarta Barat, juga memilih memasak sendiri untuk memenuhi kebutuhan makannya selama bekerja di kantor. Ia tak lagi membeli makan siang di kantin belakang kantor untuk menghindari keramaian.
Memasuki pelonggaran terhadap PPKM skala mikro di Jakarta, Putri baru berani membeli makanan dari restoran atau warung. Namun, untuk menghindari interaksi, ia memilih memesan makanan lewat aplikasi daring ketimbang makan di kantin karena khawatir risiko paparan virus.
”Sendiri dulu (tidak makan di kantin) lebih baik ketimbang kena virus,” ujarnya.