Lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan tumbuh 1,75 persen pada 2020. Tahun ini, sektor tersebut diperkirakan tumbuh lebih tinggi seiring pemulihan ekonomi negara-negara yang memiliki permintaan tinggi.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memproyeksikan produk domestik bruto sektor pertanian Indonesia pada tahun ini tumbuh di atas 3 persen. Proyeksi pertumbuhan sebesar itu dipicu produksi dan permintaan.
Berdasarkan Outlook Ekonomi Pertanian 2021, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pertanian, kehutanan, dan perikanan diperkirakan 3,30-4,27 persen. Pada 2020, sektor ini tumbuh 1,75 persen secara tahunan.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud, Rabu (10/3/2021), mengatakan, pertumbuhan positif lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan banyak didukung stimulus fiskal berupa bantuan sosial ekonomi. Kinerja sektor ini juga didukung perbaikan kondisi ekonomi sejak triwulan III-2020.
Subsektor tanaman pangan dan tanaman hortikultura tumbuh lebih tinggi daripada pertumbuhan sektornya. Hal ini didorong perbaikan produksi tanaman pangan dan tanaman hortikultura serta realisasi ekspor yang membaik pada tanaman hortikultura.
”Di masa pandemi Covid-19, permintaan terhadap buah-buahan dan sayur-sayuran ternyata semakin tinggi. Hal ini menjadi salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi yang lebih positif,” kata Musdhalifah pada seminar dalam jaringan Prospek Agribisnis Indonesia 2021 yang digelar majalah Agrina.
Pemerintah berharap pertumbuhan subsektor tanaman perkebunan, yang tumbuh 1,33 persen secara tahunan pada 2020, tahun ini dapat lebih tinggi, menjadi 4,1-5,07 persen. Hal ini didasari harga komoditas tanaman perkebunan di pasar global yang juga meningkat.
”Terutama kelapa sawit yang menjadi salah satu penopang ekonomi Indonesia di tahun 2020 dan sebelumnya. Kalau pada 2020 harganya 500 dollar AS-600 dollar AS, sekarang harga sudah di atas 1.000 dollar AS (per metrik ton),” kata Musdhalifah.
Di masa pandemi Covid-19, permintaan terhadap buah-buahan dan sayur-sayuran ternyata semakin tinggi.
Ekonomi China
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menuturkan, harga komoditas cenderung naik di pasar global akibat pertumbuhan permintaan manufaktur di China.
”Saya memiliki teori the dragon already wake up (naga sudah bangun). China sekarang rakus terhadap komoditas. Hampir seluruh komoditas (harganya) naik. Kalau dilacak ke hilirnya, si pembeli adalah China,” kata Bhima.
Harga komoditas cenderung naik di pasar global akibat pertumbuhan permintaan manufaktur di China.
Di saat banyak negara masih mengalami resesi ekonomi, ekonomi China mampu tumbuh positif 2,3 persen pada tahun lalu. Implikasinya, antara lain, terlihat dari kenaikan harga kedelai internasional yang berdampak pada produksi serta harga tahu dan tempe di Indonesia.
”Hal ini karena stok pasokan kedelai di Brasil, Argentina, dan Amerika Serikat tiba-tiba kebanjiran permintaan dari China untuk memenuhi industri peternakan, pakan ternak, dan industri makanan minuman,” ujar Bhima.
Nilai ekspor China pada Januari-Februari 2021 meningkat 60,6 persen secara tahunan. Perekonomian China yang mulai bangkit ini mendongkrak harga berbagai komoditas.
Apabila berposisi sebagai eksportir bersih suatu komoditas, Indonesia akan diuntungkan permintaan tinggi komoditas tersebut dari China. Sebaliknya, kalau sebagai importir bersih atau membutuhkan impor komoditas tertentu, Indonesia harus berebut dengan China yang ekonominya bangkit lebih cepat.
Wakil Ketua Umum III Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Togar Sitanggang memaparkan, kenaikan ekspor sawit pada triwulan IV-2020 terutama akibat permintaan dari dua negara tujuan ekspor terbesar, yakni China dan India.
Togar mengutip data proyeksi Dana Moneter Internasional atau IMF Outlook 2021 yang menyebutkan bahwa ekonomi China akan tumbuh 8,1 persen dan ekonomi India tumbuh 11,5 persen pada 2021.