Pemerintah diharapkan membenahi tata niaga dalam e-dagang, terutama dalam penentuan harga. Selain itu, pemerintah juga perlu mengantisipasi lonjakan impor melalui e-dagang.
Oleh
M Paschalia Judith J/sekar gandhawangi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penguasaan ekosistem e-dagang oleh pihak-pihak dan kelompok masyarakat yang memiliki akses dan privilese memunculkan harga predator dan memperderas barang impor ke Indonesia. Akibatnya, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM yang memproduksi barang-barang lokal tertekan dan kalah bersaing.
Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development Economics and Finance (Indef), Media Wahyudi Askar, mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun Indef, mayoritas barang impor yang masuk ke sejumlah e-dagang di Indonesia berasal dari China. Investor pemain e-dagang tersebut juga merupakan perusahaan China.
”Ada potensi investor mendorong vendor secara legal untuk menentukan harga dan menutup kesempatan bagi pesaing. Hal ini menimbulkan predatory pricing (harga predator),” ujarnya dalam diskusi daring ”Produk Asing: Benci Tapi Rindu” yang digelar Indef di Jakarta, Senin (8/3/2021).
Ada potensi investor mendorong vendor secara legal untuk menentukan harga dan menutup kesempatan bagi pesaing. Hal ini menimbulkan predatory pricing.
Modus harga predator lainnya ialah dengan memanfaatkan algoritma pada sistem e-dagang serta pembelajaran mesin yang dapat membatasi kompetitor. Sistem e-dagang dapat mendeteksi produk yang sering dibeli dan dilihat konsumen. Informasi tersebut digunakan untuk menciptakan produk serupa.
Hal ini terjadi pada Amazon, pemain e-dagang asal Amerika Serikat. Mengutip Reuters, pada Februari 2019, Jerman, Austria, dan Komisi Eropa menginvestigasi Amazon yang dinilai berperan ganda sebagai penyedia wadah e-dagang sekaligus peritel. Regulator setempat menduga ada praktik perdagangan tak setara, seperti penghentian akun penjual secara tiba-tiba, kewajiban bagi penjual untuk mengungkapkan harga pembelian, serta klausul yurisdiksi yang memperumit tindakan hukum.
Dari sisi penjual yang ada di e-dagang, Media menekankan adanya potensi kesenjangan dan ketimpangan. Sebanyak 63,39 persen penjual e-dagang merupakan masyarakat di kelompok 20 persen terkaya. Proporsi masyarakat di kelompok 40 persen menengah dan golongan 40 persen terbawah masing-masing sebanyak 34,62 persen dan 18,92 persen.
Dengan demikian, perkembangan e-dagang justru berpotensi memperlebar ketimpangan karena dikuasai oleh masyarakat kelas atas yang juga memiliki akses terhadap keran barang impor. Hal itu menunjukkan, e-dagang belum inklusif bagi UMKM maupun kelompok masyarakat rentan.
”Pengusaha lokal di sektor makanan-minuman, sepatu, tekstil, furnitur, dan mainan anak-anak paling terdampak akibat produk impor yang dijual lewat e-dagang. Euforia e-dagang yang sarat dengan produk murah justu menghambat industrialisasi,” ujarnya.
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Bab V menekankan tentang pengutamaan produk dalam negeri.
Aturan itu mewajibkan pelaku usaha e-dagang mengutamakan perdagangan serta meningkatkan daya saing barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri. Pemain e-dagang domestik juga mesti menyediakan fasilitas ruang promosi barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri.
Pengusaha lokal di sektor makanan-minuman, sepatu, tekstil, furnitur, dan mainan anak-anak paling terdampak akibat produk impor yang dijual lewat e-dagang.
Sementara itu, peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Ahmad Heri Firdaus, menyoroti melonjaknya nilai impor barang konsumsi sejak ada fenomena e-commerce booming (ledakan e-dagang) sejak 2015. Badan Pusat Statistik mendata, nilai impor barang konsumsi sepanjang 2015 sebesar 10,87 miliar dollar AS, lalu memuncak hingga menyentuh 17,18 miliar dollar AS pada 2018. Sepanjang 2020, impor barang konsumsi bernilai 14,65 miliar dollar AS.
Menurut dia, Indonesia dapat memanfaatkan kebijakan nontarif untuk mengerem laju impor barang konsumsi guna memberikan kesempatan bagi UMKM agar dapat menyuplai produk-produk lokal. Berdasarkan data yang dihimpun dari Organisasi Perdagangan Dunia, Indonesia memiliki kebijakan nontarif yang berlaku untuk 325 produk. Jumlah ini tergolong kecil apabila dibandingkan dengan India yang mencapai 839 produk, China 2.903 produk, dan AS 6.195 produk.
Dalam Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan 2021 pada Kamis pekan lalu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi berkomitmen menyusun aturan yang membentuk kesetaraan berbisnis dalam ekosistem e-dagang dan mencegah terjadi harga predator. Aturan ini ditargetkan rampung pada Maret mendatang.
Lutfi mengatakan, perekonomian Indonesia bersandar pada konsumsi. Oleh sebab itu, pemerintah mesti menciptakan pasar yang kuat bagi produk-produk dalam negeri sehingga menimbulkan dampak berganda bagi proses produksi dan penciptaan lapangan kerja.
Menanggapi proses penyusunan regulasi tersebut, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga belum dapat berkomentar. Kendati begitu, idEA memastikan akan bekerja sama dengan pemerintah dalam proses penyusunan berbagai kebijakan untuk kemajuan industri.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Senin, mengatakan, ekonomi digital di Asia Tenggara tumbuh selama pandemi. Nilai aktivitas ekonomi berbasis internet (gross merchandise value/GMV) tumbuh 5 persen atau setara 105 miliar dollar AS selama pandemi tahun 2020. Hal itu sesuai dengan laporan e-Conomy SEA oleh Google, Temasek, dan Brain & Company. Adapun nilainya diprediksi tumbuh 309 miliar dollar AS pada 2025.
”Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi digital mencapai dua digit, di atas negara-negara ASEAN, seperti Malaysia dan Singapura. (Kita) hanya kalah dengan Vietnam (yang pertumbuhannya) 16 persen,” ujarnya.
Luhat beharap e-dagang perlu terus ditumbuhkan melalui investasi. Selain itu, ekosistem yang mumpuni juga diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi digital. Itu sebabnya, literasi digital bagi pelaku usaha menjadi penting. Belum lagi ekonomi digital diperkirakan terus berkembang setelah pandemi.