2.127 Hektar Kawasan Hutan Dibebaskan Untuk Bendungan Terbesar Ketiga di Indonesia
Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV mulai melakukan pembebasan lahan untuk Bendungan Pelosika, bendungan terbesar ketiga di Indonesia. Sebanyak 2.127 hektar kawasan hutan dalam pembebasan di tahap awal.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Pembebasan lahan Bendungan Pelosika di Konawe, dan Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara mulai dilakukan. Pembebasan lahan bendungan ketiga terbesar di Indonesia ini menelan anggaran Rp 937 miliar, yang diawali pada 2.127 kawasan hutan. Pembebasan lahan hutan hingga tanah warga diharapkan memperhitungkan semua dampak, termasuk dampak sosial dan lingkungan ke depannya.
Pejabat Pembuat Komitmen Bendungan Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV Kendari Agung Permana menjabarkan, pada 2021 ini, pihaknya fokus pada pembebasan lahan khususnya kawasan hutan yang masuk dalam area pembangunan Bendungan. Pengurusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sedang dilakukan untuk diajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Pembebasan lahannya kami sudah mulai, tapi masih fokus ke kawasan hutan. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) perlu pengurusan yang tidak cepat, jadi kami awali dengan hal tersebut. Untuk lahan masyarakat belum kami lakukan,” ucap Agung, di Kendari, Sultra, Senin (8/3/2021).
Bendungan Pelosika dengan luas 5.949 hektar terletak di dua kabupaten di Sultra, yaitu di Konawe dan Kolaka Timur. Setelah tuntas, bendungan ini bisa menampung hingga 822 juta meter kubik, dengan tampungan efektif 370 juta meter kubik. Sebanyak lima kecamatan di dua kabupaten tersebut akan menjadi area genangan.
Setelah tuntas, bendungan ini bisa menampung hingga 822 juta meter kubik, dengan tampungan efektif 370 juta meter kubik.
Menurut Agung, luas kawasan hutan yang harus dibebaskan sebanyak 2.127 hektar. Luas kawasan hutan ini sekitar delapan kali luas kompleks Gelora Bung Karno yang memiliki luas 279 hektar. Sebanyak 1.970 hektar di antaranya telah memiliki IPPKH yang dikeluarkan pada Agustus 2020, dan saat ini dalam status pemenuhan kewajiban.
“Ada kendala kegiatan pemenuhan kewajiban IPPKH yang anggarannya masih diblokir. Saat ini sedang diupayakan oleh satuan terkait untuk menyegerakan proses agar anggaran bisa digunakan,” tambahnya.
Sementara itu, sebanyak 3.921 hektar tanah di luar kawasan hutan, baik milik masyarakat, atau pemerintah, akan dibebaskan di tahap selanjutnya. Total anggaran yang diperlukan untuk membebaskan lahan bendungan seluas 5.949 hektar ini sebanyak Rp 973 miliar.
Sebagai bendungan terbesar di Sulawesi Tenggara, bahkan Indonesia Timur ini, Agung menambahkan, Pelosika membendung Daerah Aliran Sungai (DAS) Konaweha yang merupakan salah satu DAS terbesar di daratan Sultra. Bendungan ini diproyeksikan untuk mengairi area persawahan seluas 22.764 hektar.
Selain itu, bendungan ini ditujukan sebagai sumber air baku sebanyak 750 meter per detik. Tampungan air juga rencananya dimanfaatkan untuk pembangkit listrik yang mampu menghasilkan hingga 20 Mega Watt. Tidak hanya itu, juga sebagai pengendali banjir yang bisa mereduksi genangan sebanyak 44,56 persen dari sebelumnya. Wilayah Konawe rutin menjadi daerah banjir akibat kontur wilayah yang berupa cekungan, dan terus terbukanya kawasan hulu.
“Bendungan ini kerjasama dengan China dengan sistem pinjaman. Setelah penandatangan MoU, kami telah menyiapkan desain, hingga DED. Perwakilan untuk kerjasama ini juga telah datang untuk supervisi desain dan melihat lokasi. Jika semua berjalan lancar, tahun depan mulai lelang, dan akhir 2022 akan konstruksi dengan total anggaran mencapai Rp 7 triliun,” tambah Agung.
Bendungan Pelosika merupakan salah satu dari tiga bendungan di wilayah Sultra. Selain bendungan ini, Bendungan Ladongi di Kolaka Timur, dan Bendungan Ameroro di Konawe telah dikerjakan pada November 2020 lalu. Bendungan Ladongi telah mencapai 86,68 persen per akhir Februari lalu. Hanya saja, penyelesaian bendungan ini tertunda akibat pemotongan anggaran, dan adanya bagian bendungan yang longsor.
Menurut Pejabat Pembuat Komitmen Bendungan Ladongi Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV Iping Mariandana, saat ini pekerjaan dikebut dengan fokus pada bendungan utama yang telah mencapai elevasi 112 meter. Total ketinggian dalam perencanaan adalah 126 meter. Selain itu, juga pada penyelesaian gedung pantau, hingga tahap akhir untuk fasilitas bendungan.
Salah satu kendala yang juga dihadapi, tambah Iping, adalah terjadinya longsoran dinding penahan di sandaran kiri bendungan. Longsor pada konstruksi selebar 150 meter dengan ketinggian rerata 25-30 meter.
Pengajar Fakultas Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO) La Baco Sudia menjabarkan, pembangunan bendungan skala besar di wilayah daratan Sultra perlu dilakukan untuk menampung lintasan air yang mencapai jutaan kubik. Di DAS Konaweha saja, aliran air mencapai jutaan kubik per hari. Belum lagi ketika hujan turun dan debit air meningkat.
Di satu sisi, wilayah Kolaka Timur dan Konawe merupakan daerah pertanian yang menjadi lumbung pangan Sultra. Setiap tahunnya, produksi pertanian, khususnya padi di wilayah ini menyuplai kebutuhan wilayah, hingga kebutuhan regional.
Meski begitu, tambah Baco, pemerintah harus memastikan masyarakat yang terdampak pembebasan lahan tidak dirugikan dalam proses yang berlangsung. Ganti rugi, hingga pendampingan dalam penghidupan setelah berpindah harus dipastikan terpenuhi sebelum bendungan selesai dibangun.
“Kajian dampak lingkungan dan sosial tentu sudah diperhitungkan. Hal itu yang harus terus dikawal. Tidak hanya itu, apa yang menjadi fokus pembangunan bendungan, khususnya irigasi, betul-betul dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dengan mengembangkan pertanian. Tidak lagi mengubah arah pembangunan ke depan,” ujarnya.