Covid-19 bukan satu-satunya gelombang yang mengancam Indonesia dan dunia. Kebijakan penanganan Covid-19 jangan sampai menggerus komitmen mewujudkan pembangunan berkelanjutan, termasuk mengatasi masalah perubahan iklim.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 luar biasa menyita perhatian. Semua pihak terfokus pada bagaimana mengendalikan virus yang menyebar dan bermutasi begitu cepat. Jika virus gagal dikendalikan, krisis multidimensi berisiko merusak sendi-sendi kehidupan. Padahal, krisis yang ditimbulkan pandemi Covid-19 hanya gelombang awal. Gelombang krisis lebih besar justru perubahan iklim.
Kenapa perubahan iklim? Covid-19 nyatanya bukan satu-satunya faktor utama penyebab krisis kesehatan. Kelompok profesional kesehatan dan medis di Amerika Serikat menempatkan perubahan iklim sebagai the greatest public health challenge of the 21st century. Penelitian Drew Shindell dkk (2018) yang dipublikasikan Nature Climate Change menyebutkan, konvergensi perubahan iklim dan polusi udara menyebabkan kematian prematur jutaan orang di kota-kota metropolitan.
Pembangunan yang mengesampingkan dampak perubahan iklim juga berisiko buruk bagi perekonomian. Menurut laporan Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (2019) yang dirilis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terbatas di kisaran 5 persen pada tahun 2024 dan terus turun di bawah 4,3 persen pada tahun 2045 jika tanpa penerapan kebijakan energi bersih. Sementara itu, jika Indonesia mengadopsi kebijakan energi bersih, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,6 persen pada tahun 2024, lalu naik di kisaran 6 persen pada tahun 2045.
Kondisi ke depan bisa jadi lebih buruk karena beberapa penelitian yang disebutkan di atas belum memasukkan dampak pandemi Covid-19. Ironisnya, respons pemerintah dalam menangani dampak Covid-19 masih bersifat konvensional. Hal itu tecermin pada rendahnya inisiatif hijau dan kebijakan rendah karbon. Berdasarkan analisis Vivid Economics pada Mei 2020, Indonesia termasuk negara dengan indeks stimulus hijau terendah setelah China, Rusia, Meksiko, India, dan Amerika Serikat.
Sejauh ini Pemerintah Indonesia memang belum memiliki kebijakan ekonomi hijau jangka menengah dan panjang untuk merespons pandemi Covid-19. Bahkan, kebijakan pendanaan pembangunan rendah karbon dan stimulus/insentif untuk pemulihan hijau juga belum tersedia. Padahal, pemulihan ekonomi pascapandemi berisiko menimbulkan peningkatan emisi jika masih mengacu pada kebijakan yang ada atau business as usual.
Stimulus hijau dan pendanaan pembangunan rendah karbon seharusnya masuk dalam strategi pemulihan pascapandemi Covid-19. Pemulihan berkelanjutan dan rendah karbon akan menciptakan lapangan kerja baru. Berkaca dari Great Recession tahun 2007-2009, pembangunan rendah karbon di Korea Selatan mampu menghasilkan 138.000 lapangan kerja baru atau 15 persen dari total pekerjaan yang tercipta. Sementara di Amerika Serikat, investasi pada transportasi umum menghasilkan 31 persen lapangan kerja lebih banyak dibandingkan pembangunan jalan dan jembatan.
Bagaimana Indonesia? Total pendanaan pembangunan rendah karbon justru menurun dari Rp 34,87 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 menjadi Rp 23,44 triliun dalam APBN 2020.
Persentase pendanaan pembangunan rendah karbon dibandingkan total APBN relatif sangat rendah, yakni kurang dari 1 persen. Pada tahun 2020, persentasenya bahkan hanya sekitar 0,89 persen. Jika ditilik per sektor, proporsi pendanaan rendah karbon dalam APBN juga tidak berubah dalam tiga tahun terakhir. Pendanaan paling besar untuk sektor transportasi yang porsinya mencapai 58,9 persen.
Komitmen mendukung ekonomi hijau di tengah krisis pandemi Covid-19 menjadi salah satu topik utama di Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2020, Juli lalu. Dalam laporan ekonomi lingkungan baru seri II yang dirilis saat WEF 2020, disebutkan kerusakan lingkungan berisiko menggerus separuh produk dometik bruto (PDB) global atau sekitar 44 triliun dollar AS. Ongkos mahal kerusakan lingkungan harus ditanggung jika sistem ekonomi-sosial saat ini tidak berubah menjadi lebih hijau.
Sudah lebih dari satu tahun pandemi Covid-19 menginfeksi Indonesia. Sampai Kamis (4/3/2021), sebanyak 1,36 juta warga Indonesia terinfeksi Covid-19 dan 36.897 orang meninggal. Namun, tidak sedikit pihak yang mengingatkan bahwa Covid-19 bukan satu-satunya gelombang krisis yang mengancam Indonesia.
Kebijakan penanganan Covid-19 jangan sampai menggerus komitmen pemerintah mewujudkan pembangunan berkelanjutan—termasuk mengatasi masalah perubahan iklim. Prioritas pembangunan ekonomi tidak bisa mengesampingkan kesehatan dan lingkungan.