Pelaku UMKM menanti janji dan realisasi keberpihakan pemerintah. Mereka berharap pemerintah tidak membuat kebijakan kontradiktif.
Oleh
Agnes Theodora/Anita Yossihara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberpihakan terhadap produk dalam negeri, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM harus diiringi dengan komitmen dan bukti nyata dari pemerintah dan badan usaha milik negara. Seiring dengan itu, peningkatan kapabilitas UMKM juga menjadi pekerjaan rumah krusial untuk mampu bersaing dengan pengusaha besar dan berskala internasional.
Beberapa hari terakhir ini, seruan untuk mencintai produk dalam negeri berulang kali disampaikan Presiden Joko Widodo. Pada saat membuka Rapat Kerja Kementerian Perdagangan, Kamis (4/3/2021), Presiden meminta Kementerian Perdagangan menyiapkan kebijakan dan strategi untuk mengembangkan pasar bagi produk dalam negeri.
Dalam imbauannya, Presiden menyerukan untuk lebih mencintai dan mendukung produk dalam negeri sekaligus menyerukan untuk membenci produk asing. Saat membuka acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) 2021, Jumat (5/3/2021), Presiden kembali menegaskan bahwa seruan itu ditujukan guna mendongkrak kinerja industri dalam negeri yang lesu akibat imbas pandemi Covid-19.
Kondisi itu akan berdampak positif pada ketersediaan lapangan kerja baru dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Presiden mengatakan, diperlukan sejumlah prasyarat untuk membangun loyalitas konsumen terhadap produk dalam negeri, seperti harga yang lebih kompetitif, produk yang berkualitas, serta kemasan yang lebih menarik dan mengikuti tren.
Kementerian/lembaga serta badan usaha milik negara (BUMN) juga harus lebih banyak menggunakan komponen dalam negeri dalam berbagai proyek pembangunan. ”Jangan sampai proyek pemerintah, proyek BUMN, masih memakai barang-barang impor. Kalau itu bisa dikunci, itu akan menaikkan permintaan produk dalam negeri yang tidak kecil,” katanya.
Jangan sampai proyek pemerintah, proyek BUMN, masih memakai barang-barang impor. Kalau itu bisa dikunci, itu akan menaikkan permintaan produk dalam negeri yang tidak kecil.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun meminta pemerintah untuk tidak sekadar menggaungkan jargon mencintai produk dalam negeri tanpa bukti dan komitmen keberpihakan. UMKM membutuhkan komitmen kuat yang bersifat wajib dari pemerintah dan BUMN untuk menyerap produk mereka.
”Buka akses pasar dan beli produknya. Jangan hanya mengatakan cinta. Selama ini, tender proyek pemerintah masih lebih banyak menyerap barang impor, khususnya dari China. Apalagi dengan adanya berbagai perjanjian dagang dan perkembangan pemasaran digital, UMKM semakin sulit bersaing,” kata Ikhsan.
Sejauh ini, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk memperkuat posisi UMKM dalam rantai pasok. Misalnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, atau program seperti Pasar Digital Pengadaan Barang dan Jasa UMKM (PaDi UMKM).
Namun, Ikhsan berharap implementasi sejumlah kebijakan itu tegas dilakukan. Kapabilitas UMKM akan muncul dan berkembang ketika ada permintaan. ”Kalau pemerintah tidak membantu memberi order yang banyak, kapasitas dan kualitas tentu sulit ditingkatkan,” katanya.
Ia juga menyorot sejumlah kebijakan yang masih kontradiktif dengan komitmen keberpihakan itu. Misalnya, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang membuka akses investor besar (non-asing) untuk masuk ke usaha yang merupakan ranah usaha rumahan dan berskala kecil, seperti industri kerupuk, keripik, dan rempeyek. Kebijakan-kebijakan kontradiktif itu tidak menunjukkan keberpihakan, bahkan bisa menghancurkan bisnis UMKM yang kesulitan bersaing dengan usaha besar.
Dalam pembukaan Rakernas Hipmi, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, pemerintah berkomitmen mendukung produk dalam negeri. Namun, keberpihakan saja tidak cukup tanpa ada fondasi kuat terkait kapabilitas, rekam jejak, dan spesialisasi pengusaha dalam negeri yang baik. ”Keberpihakan itu ada, tetapi itu tidak akan bertahan lama kalau tidak ada kapabilitas,” ujarnya.
Menurut Erick, pemerintah sedang berupaya memperbaiki kondisi perseroan pelat merah agar terbuka membangun ekosistem rantai pasok dengan pengusaha dalam negeri, khususnya UMKM. Ada tiga hal penting yang diperbaiki, yaitu infrastruktur, pendanaan, dan akses pasar bagi pengusaha dalam negeri.
Salah satu dukungan itu berupa pembentukan perusahaan induk (holding) ultra mikro yang beranggotakan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Pegadaian (Persero), dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero). Proses holding ditargetkan rampung pada triwulan III-2021.
”Sistem perbankan di Indonesia masih kurang bersahabat (untuk UMKM), apalagi usaha yang belum punya rekam jejak. Melalui strategi ini, kami berharap pinjaman untuk pengusaha bisa digulirkan dengan bunga yang lebih rendah sehingga mereka bisa naik kelas dan suatu hari UMKM juga bisa bankable,” katanya.
Pemerintah sedang berupaya memperbaiki kondisi perseroan pelat merah agar terbuka membangun ekosistem rantai pasok dengan pengusaha dalam negeri, khususnya UMKM.
Erick meminta agar asosiasi pengusaha dalam negeri dapat membantu pemerintah memetakan ulang jenis usaha dan bisnis yang berpotensi untuk diintegrasikan dengan BUMN. Erick juga tidak memungkiri, faktanya, masih ada kondisi tertentu yang membuat UMKM sulit menembus pasar BUMN.
Salah satu strateginya adalah membuat perjanjian kerja sama khusus antara perseroan dengan pengusaha lokal. ”Kalau ada oknum BUMN yang meminta ini-itu, laporkan saja. Namun, kalau mereka (BUMN) ragu bekerja sama karena sudah terbiasa dengan rantai pasoknya selama ini, harus mengerti juga. Bagaimana meyakinkan konsisten bersaing dengan pemasok lama yang tidak kalah baiknya. Ini semua bisnis kepercayaan,” katanya.