Setengah dari rumah tangga di Indonesia tidak memiliki tabungan. Mereka bertahan hidup selama pandemi dengan cara menggadaikan barang atau meminjam uang dari kerabat.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 sejak triwulan I-2020 membuat pendapatan berbagai kelompok rumah tangga di Tanah Air, dari yang termiskin hingga berkecukupan, turun. Efek ini diperkirakan masih akan berlanjut sepanjang tahun ini.
Hal tersebut terungkap dalam laporan ”Analisis Dampak Sosial dan Ekonomi Pandemi terhadap Rumah Tangga Indonesia”, hasil survei kolaborasi lembaga penelitian SMERU Indonesia dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), serta Kemitraan Australia-Indonesia untuk Pembangunan Ekonomi (Prospera).
Survei yang juga didukung Badan Pusat Statistik (BPS) ini melibatkan lebih dari 12.216 keluarga di 34 provinsi dan 247 kabupaten pada Oktober-Desember 2020.
Hasil survei menunjukkan, 74,3 persen keluarga yang diwawancarai pada periode itu mengalami penurunan pendapatan dibandingkan dengan Januari 2020. Proporsi rumah tangga dengan penurunan pendapatan lebih besar adalah yang memiliki anak 75,3 persen serta yang tinggal di wilayah perkotaan 78,3 persen.
Setengah dari rumah tangga di Indonesia tidak memiliki tabungan sehingga untuk bertahan, satu dari tiga rumah tangga harus menjual atau menggadaikan barang. Sementara satu dari empat rumah tangga harus meminjam uang secara informal dari keluarga atau teman.
Deputi Direktur The SMERU Research Institute Atia Yuma secara virtual, Kamis (4/3/2021), mengatakan, hasil survei tersebut juga mengungkap, kebanyakan rumah tangga tak memiliki tabungan. Selama pandemi Covid-19 mereka meminjam uang dari kerabat, bahkan menggadaikan barang demi bertahan hidup.
”Setengah dari rumah tangga di Indonesia tidak memiliki tabungan sehingga untuk bertahan, satu dari tiga rumah tangga harus menjual atau menggadaikan barang. Sementara satu dari empat rumah tangga harus meminjam uang secara informal dari keluarga atau teman,” ujarnya.
Penurunan pendapatan terjadi karena berbagai sebab, di antaranya, karena usaha mikro-kecil yang mereka jalani bangkrut, pencari nafkah kehilangan pekerjaan, atau pemotongan gaji atau upah dari jumlah yang biasa mereka terima sebelum pandemi.
”Selama ekonomi riil belum pulih, rumah tangga berpotensi terus mengalami penurunan pendapatan,” kata Atia.
Hasil survei juga menunjukkan, 85,3 persen rumah tangga telah menerima setidaknya satu bentuk bantuan sosial berupa tunai atau barang. Namun, hanya 7,5 persen rumah tangga dengan usaha mikro-kecil yang menerima bantuan usaha dari pemerintah setelah pandemi.
”Lebih parah lagi karena hampir 40 persen dari pemilik usaha kecil tidak mengetahui bantuan usaha mikro-kecil dari pemerintah. Seharusnya, segmen usaha mikro-kecil lebih diperhatikan karena segmen ini punya daya tahan baik terhadap pandemi,” ujarnya.
Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin yang berkisar 26,42 juta bertambah 1,13 juta menjadi 27,55 juta dalam enam bulan sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Tingkat kemiskinan melonjak dari 9,78 persen menjadi 10,19 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah memiliki tiga ”kartu AS” untuk mengatasi pandemi Covid-19 yang akan berdampak pada pemulihan ekonomi. Ketiga ”kartu AS” ini adalah intervensi kesehatan, fleksibilitas postur APBN, dan reformasi struktural melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
”Akar permasalahan ini adalah soal kesehatan sehingga sangat penting bagi pemerintah untuk terus memberikan dukungan kesehatan,” kata Suahasil.
Ia melanjutkan, amunisi kedua yang disiapkan pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 sekaligus memulihkan ekonomi adalah dengan menyiapkan postur APBN yang fleksibel dan bisa beradaptasi dengan keadaan.
”Anggaran yang fleksibel bisa mengakomodasi kebutuhan kelompok terbawah dan kelompok rentan, juga memastikan sektor usaha mikro, kecil, menengah, dan korporasi besar dapat terus berjalan selama masa pandemi,” ujarnya.
Sementara ”kartu AS” yang ketiga adalah reformasi struktural melalui UU Cipta Kerja. Kebijakan ini menjadi instrumen untuk mendorong transformasi dan mengubah fundamental ekonomi Indonesia. ”Pemerintah memastikan, ketiga strategi itu dapat dilakukan secara baik agar pemulihan terus berlanjut pada tahun ini,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai, ada faktor salah kebijakan yang memicu terciptanya masalah struktural. Akibatnya, dari sisi ekonomi, Indonesia menjadi negara yang tidak siap menerima pandemi.
Anggaran yang fleksibel bisa mengakomodasi kebutuhan kelompok terbawah dan kelompok rentan, juga memastikan sektor usaha mikro, kecil, menengah, dan korporasi besar dapat terus berjalan selama masa pandemi. (Suahasil Nazara)
Pemerintah memang sudah mengeluarkan banyak program bantuan sosial, tetapi program ini masih banyak meninggalkan celah. Ia mencontohkan, bansos bahan pokok rawan dikorupsi sehingga tidak efektif membantu konsumsi masyarakat dan menahan tingkat kemiskinan.
”Korupsi menjadi salah satu faktor yang membuat jaring pengaman kurang efektif. Sebaiknya dari awal pemerintah mengalokasikan lebih banyak untuk bantuan yang sifatnya tunai,” ujarnrya.