Pemerintah berencana mengimpor 1 juta ton beras tahun ini. Wacana impor di tengah suasana panen raya dinilai menyakiti petani. Psikologi pasar terpengaruh. Harga gabah di tingkat petani berpotensi semakin tertekan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Petani menarik padi yang dipanen lebih awal di Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang, Jawa Barat, Selasa (9/2/2021). Selain curah hujan yang tinggi, luapan Sungai Citarum dan Sungai Cibeet yang merendam areal persawahan sejak Minggu (7/2/2021) tersebut mengakibatkan tanaman padi siap panen sebagian besar rusak dan terancam gagal panen.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengimpor 1 juta ton beras melalui Perum Bulog untuk menjaga stok. Rencana ini dinilai memukul petani yang tengah memasuki panen raya musim tanam rendeng 2020/2021 dan kecenderungan harga gabah yang makin turun.
Dalam paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pemerintah mengupayakan impor beras 500.000 ton untuk cadangan beras pemerintah (CBP) dan 500.000 ton untuk kebutuhan Bulog. Target penyerapan Bulog sepanjang Maret-Mei 2021 mencapai 900.000 ton dan Juni-September 2021 sebanyak 500.000 ton.
”Pemerintah melihat pentingnya komoditas pangan, salah satunya penyediaan beras dengan stok 1 juta-1,5 juta ton,” kata Airlangga dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2021 yang digelar secara daring, Kamis (4/3/2021).
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menambahkan, impor tersebut telah disepakati dalam rapat koordinasi terbatas. Tujuannya menjaga stok cadangan Bulog. Kendati demikian, dia tidak menyampaikan waktu realisasi, asal negara impor, beserta harganya.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, produksi gabah kering giling (GKG) sepanjang Januari-April 2021 mencapai 25,37 juta ton atau 14,54 juta ton setara beras. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada Januari-April 2019 yang mencapai 23,78 juta ton GKG atau 13,63 juta ton beras serta Januari-April 2020 yang sebanyak 19,99 juta ton GKG atau 11,46 juta ton beras.
Selain potensi kenaikan produksi di periode Januari-April 2021, harga gabah di tingkat petani berpotensi makin turun. Hasil survei BPS menyebutkan, harga gabah di tingkat petani turun dari Rp 4.921 per kilogram (kg) kering panen (GKP) pada Januari 2021 menjadi Rp 4.758 per kg GKP pada Februari 2021.
Menekan petani
Ketua Departemen Luar Negeri Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia Zainal Arifin Fuad berpendapat, harga gabah di tingkat petani tengah merosot karena produksi meningkat pada panen raya dan kualitas panen yang lebih rendah akibat kandungan air lebih tinggi saat hujan. ”Kami mempertanyakan langkah impor tersebut. Impor akan semakin menekan petani,” ujarnya saat dihubungi, Kamis.
Menurut dia, langkah impor ini menunjukkan bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak berpihak pada petani. Menurut undang-undang ini, hasil panen dalam negeri bukan prioritas sebagai sumber pemenuhan pangan nasional. Pasal 66 UU Cipta Kerja menyebutkan, ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.
Dalam undang-undang sebelumnya, yakni UU No 18/2012 tentang Pangan menyatakan, ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Zainal berharap pemerintah melalui Bulog dapat mengoptimalkan penyerapan petani dalam negeri, terutama saat panen raya. Menurut dia, dana untuk mengimpor 1 juta ton beras bisa dialokasikan untuk menyerap gabah/beras petani.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa menilai, wacana impor beras saat panen raya akan memukul harga di tingkat petani. ”Ada dampak psikologis yang dapat digunakan pengepul (dalam memasang harga),” katanya.
Berdasarkan data yang dihimpunnya, lanjut dia, stok beras pada awal 2021 lebih tinggi dibandingkan dengan 2020. Produksi nasional sepanjang 2021 juga berpotensi lebih tinggi dibandingkan 2020. Oleh karena itu, dia tidak mengkhawatirkan stok beras tahun 2021. Produksi beras dalam negeri berpotensi mencukupi kebutuhan nasional tahun ini.
Kalaupun pemerintah hendak mengimpor beras, Dwi Andreas berharap agar pemerintah terlebih dahulu meninjau data realisasi produksi sepanjang Januari-Juli 2021. Periode tersebut menggambarkan sekitar 60 persen produksi sepanjang tahun.