Setelah lima bulan naik berturut-turut, harga batubara mulai turun. China dan India masih menjadi penentu harga di pasar internasional. Pengendalian produksi batubara penting untuk menjaga keseimbangan harga.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Truk berat mengangkut batubara di Blok Tutupan yang ditambang PT Adaro Indonesia di perbatasan Kabupaten Tabalong dan Balangan, Kalimantan Selatan, Rabu (19/5/2010).
JAKARTA, KOMPAS — Setelah lima bulan berturut-turut naik, harga batubara merosot seiring lesunya permintaan dari China. Pada periode Maret 2021, harga batubara acuan di Indonesia tercatat 84,49 dollar AS per ton atau melemah dibandingkan dengan harga acuan pada Februari 2021 yang 87,79 dollar AS per ton.
Memasuki musim dingin pada akhir tahun lalu, harga batubara terus menanjak dari 51 dollar AS per ton pada Oktober 2020 hingga mencapai di atas 80 dollar AS per ton di Februari 2021. Kenaikan harga batubara tersebut dipicu oleh naiknya permintaan dari India dan China. Faktor musim dingin dan terganggunya pasokan batubara dari sejumlah negara produsen berkontribusi terhadap lonjakan harga batubara.
”Setelah berakhirnya perayaan Tahun Baru China dan berakhirnya musim dingin, konsumsi listrik di pusat-pusat kota besar di China mulai turun. Selain itu, ada kebijakan untuk meningkatkan produksi batubara domestik di China dan India,” ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi saat dihubungi, Jumat (5/3/2021).
Hingga Jumat, produksi batubara Indonesia mencapai 89,77 juta ton atau 16,32 persen dari target tahun ini yang sebanyak 550 juta ton. Tahun lalu, realisasi produksi batubara Indonesia tercatat sebanyak 562,94 juta ton atau lebih tinggi dari target 550 juta ton. Tahun 2019 adalah tahun saat produksi batubara Indonesia mencapai puncaknya, yakni 616,16 juta ton.
Faktor musim dingin dan terganggunya pasokan batubara dari sejumlah negara produsen berkontribusi terhadap lonjakan harga batubara.
Sementara itu, dalam siaran pers, PT Adaro Energy Tbk mencatatkan penurunan laba inti untuk kinerja keuangan perusahaan sepanjang 2020. Pada 2020, laba inti perusahaan mencapai 405 juta dollar AS atau turun 36 persen dibandingkan dengan 2019 yang sebesar 635 juta dollar AS. Permintaan batubara yang melemah sepanjang 2020 akibat pengaruh pandemi Covid-19 menjadi sebab turunnya laba perusahaan.
”Kendati banyak menghadapi tantangan, seperti pandemi Covid-19 dan cuaca yang tak mendukung, perusahaan mampu memenuhi panduan produksi batubara dan ebitda (pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) yang telah direvisi,” ujar Presiden Direktur dan CEO Adaro Energy Garibaldi Thohir.
Sepanjang 2020, produksi batubara Adaro mencapai 54,53 juta ton atau sedikit di atas panduan operasi perusahaan yang sebesar 52-54 juta ton. Namun, angka produksi di tahun 2020 masih lebih rendah dibandingkan dengan produksi 2019 yang sebanyak 58,03 juta ton. Adapun ebitda perusahaan di 2020 tercatat sebesar 883 juta dollar AS atau melampaui ebitda yang sudah direvisi, yaitu 600-800 juta dollar AS.
Tahun ini, produksi batubara Adaro diperkirakan tidak jauh berbeda dengan realisasi produksi di 2020. Adapun alokasi belanja modal perusahaan ada di kisaran 200 juta dollar AS sampai 300 juta dollar AS. Ebitda perusahaan ditargetkan ada di kisaran 750-900 juta dollar AS pada 2021 ini.
Sepanjang 2020, produksi batubara Adaro sebanyak 54,53 juta ton atau sedikit di atas panduan operasi perusahaan yang sebesar 52-54 juta ton.
Kapal pengangkut batubara menurunkan batubara di dermaga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang dikelola PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) Unit Pembangkit Paiton 1-2 di Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (22/3/2019). Inovasi PJB menurunkan kalori batubara dinilai sukses menekan ongkos produksi listrik. Di usianya yang ke-25, PLTU Paiton unit 1-2 menjadi salah satu pembangkit dengan tingkat gangguan terendah.
Dalam telekonferensi pers beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengemukakan, terkait produksi batubara, pemerintah menginginkan produksi tetap dijaga di tengah tingginya harga batubara. Namun, tak menutup kemungkinan akan ada relaksasi produksi sepanjang hal itu menguntungkan negara dan badan usaha.
Pada prinsipnya, produksi batubara akan dijaga agar tak melimpah di pasaran yang berdampak pada merosotnya harga. ”Kami akan terbuka (terhadap relaksasi produksi batubara) sepanjang itu menguntungkan negara. Akan tetapi, semua akan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian,” kata Ridwan.