Daerah Menjadi Penentu Keberlanjutan Transportasi Berskema Pembelian Layanan
Pembelian layanan dari operator transportasi dapat menopang penyediaan layanan transportasi umum berbasis standar pelayanan minimal. Upaya ini membutuhkan topangan kemampuan anggaran pemerintah pusat dan daerah.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program buy the service atau skema pembelian layanan dapat menjadi cara menyediakan layanan transportasi berbasis standar pelayanan minimal bagi masyarakat. Kemampuan anggaran pusat dan pendapatan asli daerah dibutuhkan agar program itu dapat berkelanjutan.
Melalui program buy the service (BTS) itu, pemerintah membeli layanan angkutan massal perkotaan kepada operator dengan mekanisme lelang berbasis standar pelayanan minimal. Standar pelayanan minimal tersebut menyangkut aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan.
Kementerian Perhubungan telah merealisasikan layanan jasa angkutan massal berskema pembelian layanan itu. Program BTS tersebut bernama TEMAN (transportasi ekonomis, mudah, andal, dan nyaman). Bus ini akan hadir di Banyumas, Jawa Tengah, setelah hadir di lima kota besar, yakni Palembang, Surakarta, Denpasar, Medan, dan Yogyakarta.
Akademisi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Said Basalim, Jumat (5/3/2021), mengatakan, program BTS ini bertujuan mewujudkan transportasi yang ekonomis, mudah, andal, dan nyaman bagi masyarakat. Pemerintah memberikan subsidi untuk mendapatkan pelayanan sehingga masyarakat tidak membayar terlalu mahal.
”Hal yang harus diperhatikan dalam program BTS adalah menjaga permintaan. Permintaan biasanya tinggi saat layanan bus digratiskan pada masa promosi. Namun, setelah berbayar, animo publik berpotensi turun,” ujarnya dalam seminar daring ”Buy The Service (BTS) sebagai Strategi Baru Transportasi Publik Perkotaan Berbasis Bus” yang merupakan rangkaian acara pelantikan pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Kalimantan Barat periode 2021-2024.
Said berpendapat, program ini akan menguntungkan daerah-daerah kawasan wisata sebab permintaan layanan bus ini cukup tinggi karena dapat menopang mobilitas. Selain itu, untuk menjaga permintaan publik, operator transportasi harus menjaga standar layanannya. Pasalnya, melalui skema BTS, operator dapat dikenai sanksi apabila tidak dapat memberikan standar pelayanan minimal.
Tantangan program itu adalah menjaga permintaan setelah layanannya mulai berbayar. Permintaan tinggi juga bisa terjadi ketika daerah yang menjalankan program BTS itu merupakan daerah tujuan wisata.
Menurut Said, hal lain yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan infrastruktur pendukung, termasuk jalur yang didedikasikan untuk bus BTS. Sejak awal, infrastruktur ini harus tersedia karena pengguna transportasi berbasis BTS itu menuntut juga ketepatan waktu per halte hingga tempat tujuan.
Perubahan perilaku pengguna dari kendaraan pribadi untuk kemudian berpindah ke angkutan umum juga mesti diperhatikan. ”Kekuatan APBD juga perlu dipertimbangkan matang-matang guna melanjutkan program itu secara berkelanjutan, termasuk dalam pengembangan koridor-koridornya,” katanya.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Harya Setyaka Dillon mengemukakan, reformasi transportasi umum dibutuhkan dalam perencanaan mobilitas perkotaan. Hal ini termasuk juga pengembangan transportasi umum berbasis BTS.
Jika sistem itu diterapkan, akan terjadi transisi dari sistem setoran menjadi suatu pola pelayanan dan pengelolaan berbasis kontrak. Di samping itu, dibutuhkan integrasi perencanaan rute tersentralisasi dan penentuan tarif yang efisien serta berkelanjutan.
”Subsidi jangan terlalu besar, tetapi juga harus berkeadilan sehingga tiket mampu dijangkau masyarakat,” ujarnya.
Kemampuan pendapatan, lanjut Harya, merupakan tantangan di sisi reformasi fiskal. Kemampuan pendapatan asli daerah memang diperlukan untuk mendukung program BTS.
Restrukturisasi anggaran dimungkinkan untuk program yang lebih prioritas. Musyawarah perencanaan pembangunan menjadi kesempatan memikirkan kembali tujuan pembangunan.
”Kalau sekiranya ada program-program lain yang kurang prioritas, ya, mungkin bisa diprioritaskan ke BTS untuk mendanai PSO (kewajiban layanan publik). Saya rasa (tantangan pendanaan BTS) ini merefleksikan tidak hanya kemampuan, tetapi juga prioritas anggaran,” katanya.
Kemampuan pendapatan merupakan tantangan di sisi reformasi fiskal. Kemampuan pendapatan asli daerah memang diperlukan untuk mendukung program BTS.
Sementara Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi menuturkan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengamanatkan pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis jalan, baik di perkotaan maupun perdesaan.
”Dalam hal ini tidak hanya pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,” kata Budi dalam webinar ”Program Teman Bus untuk Peningkatan Konektivitas Kawasan Perkotaan di Banyumas”, Kamis.