Manfaat Tak Diterima Segera oleh Pekerja yang Di-PHK
Program jaminan kehilangan pekerjaan bisa diklaim manfaatnya saat peserta sudah memiliki masa iuran paling sedikit 12 bulan. Manfaat terhenti saat peserta kembali bekerja.
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja akibat pandemi Covid-19 tidak bisa segera mendapat manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Klaim manfaat baru bisa diterima pada 2022 setelah iuran peserta dibayarkan 12 bulan.
Manfaat yang akan diterima berupa uang tunai, pelatihan kerja, dan akses informasi pasar kerja.
Artinya, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) tidak bisa menjadi penolong bagi jutaan pekerja yang saat ini kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Pemerintah diharapkan meninjau ulang ketentuan persyaratan iuran yang ketat tersebut untuk melindungi pekerja pada kondisi mendesak seperti sekarang.
Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia Dian Septi Trisnanti mengatakan, program JKP menjadi sia-sia. Sebab, banyak buruh yang saat ini terdampak pandemi, tetapi tidak bisa menerima manfaatnya. ”Sebagai jaring pengaman sosial, JKP gagal membantu buruh korban PHK yang membutuhkan,” katanya, Rabu (3/3/2021).
Ia menilai, buruh semakin sulit mengakses JKP karena mayoritas kini berstatus pekerja kontrak dalam rentang waktu singkat, yakni 30-90 hari. Sementara itu, pemerintah mensyaratkan manfaat JKP baru didapat setelah membayar iuran minimal 12 bulan.
JKP juga tidak mempertimbangkan buruh di sektor lain, seperti pekerja informal yang tidak terdaftar di BP Jamsostek. ”Pekerja konfeksi, pekerja rumahan, pekerja transportasi, pembantu rumah tangga, dan buruh perempuan di industri padat karya yang dikontrak dengan masa kerja sangat pendek bisa-bisa tidak masuk dalam skema JKP,” kata Dian.
Koordinator di Direktorat Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Sumirah mengatakan, pekerja peserta program JKP baru dapat menerima manfaat berupa uang tunai, pelatihan kerja, dan akses informasi pasar kerja paling cepat satu tahun mendatang atau pada 2022.
Ia merujuk Pasal 19 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program JKP yang menyebutkan, manfaat JKP dapat diajukan setelah peserta memiliki masa iuran paling sedikit 12 bulan dan telah membayar iuran paling singkat enam bulan berturut-turut ke BP Jamsostek sebelum PHK terjadi.
Pekerja yang di-PHK pada tahun lalu otomatis tidak bisa mendapat manfaat JKP. Sebab, kepesertaan JKP baru dimulai pada Februari 2021 setelah peraturan pemerintah terbit. Bahkan, peserta JKP yang di-PHK pada Februari 2021 juga tidak bisa mengklaim manfaat JKP karena belum memenuhi persyaratan masa iuran minimal 12 bulan.
”Satu tahun paling cepat atau 12 bulan lagi. Kalau masa iurnya sudah terpenuhi, bisa mendapat manfaat. Iuran JKP dimulai pada Februari 2021 karena peraturannya diundangkan bulan Februari 2021,” kata Sumirah dalam acara sosialisasi PP 37/2021 di Jakarta, Rabu.
Pencairan klaim manfaat juga tidak bisa ditangguhkan hingga 2022. Sumirah mengatakan, ketika pekerja di-PHK, otomatis iuran JKP-nya berhenti karena tidak ada perusahaan yang membayarkan iuran melalui rekomposisi iuran program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
”Kalau di-PHK, berarti iurannya tidak ada yang membayarkan. Artinya, iuran JKP-nya bolong sampai dia dapat pekerjaan lagi dan iurannya dibayarkan perusahaan barunya itu,” kata Sumirah.
Baca juga : Perlebar Akses Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Kendati kelak pekerja itu sudah mendapat pekerjaan baru dan iuran JKP kembali dibayarkan perusahaan barunya, ia juga tetap tidak bisa mengkaim manfaat JKP atas PHK yang terjadi padanya setahun lalu. Alasannya, pekerja bersangkutan sudah kembali bekerja.
”Tujuan JKP adalah mempertahankan kehidupan yang layak bagi pekerja saat kehilangan pekerjaan. Jadi, kalau dia sudah bekerja, tidak bisa klaim JKP. Bahkan, yang sedang berjalan manfaatnya selama 6 bulan, kalau dalam waktu 3 bulan sudah dapat pekerjaan, manfaatnya akan distop,” ujar Sumirah.
Menyulitkan
Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, menilai, persyaratan masa iur 12 bulan itu mempersulit pekerja untuk mendapat perlindungan setelah di-PHK.
Menurut data Badan Pusat Statistik, ada 29,12 juta pekerja di Indonesia yang terdampak pandemi. Sebanyak 2,56 juta orang kehilangan pekerjaan dan menganggur akibat Covid-19, sedangkan 24,03 juta orang jam kerjanya berkurang.
”Pekerja yang di-PHK pada bulan-bulan ini sampai satu tahun mendatang akan kesulitan mendapat manfaat. Program ini tidak bisa menjadi lifeline untuk orang-orang yang saat ini di-PHK, padahal justru JKP sangat dibutuhkan sekarang ini,” kata Nabiyla.
Baca juga : Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan Dinilai Kurang Inklusif
Pemerintah diharapkan mengeluarkan kebijakan konkret yang bisa memberi manfaat perlindungan langsung bagi pekerja yang kehilangan nafkah akibat pandemi. Apalagi, bantalan sosial berupa pesangon bagi pekerja korban PHK sudah dikurangi lewat Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya.
”Saat pandemi, pekerja di-PHK karena perusahaannya sudah tidak punya uang, jadi pesangon yang didapat kemungkinan kecil sekali. Selain itu, ketentuan pembayaran pesangon juga sudah dikurangi di PP turunan UU Cipta Kerja lainnya untuk perusahaan yang merugi. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan jaminan sosial dan perlindungan bagi pekerja,” katanya.
Pemerintah diharapkan mengeluarkan kebijakan konkret yang bisa memberi manfaat perlindungan langsung bagi pekerja yang kehilangan nafkah akibat pandemi.
Lebih lanjut, ia mendorong pemerintah untuk meninjau ulang ketentuan di PP tentang JKP. Persyaratan tentang masa iuran seharusnya dapat dibuat lebih longgar. Misalnya, pekerja bisa mendapat manfaat JKP setelah membayar iuran BP Jamsostek 6 bulan sebelum di-PHK.
”Yang penting peserta aktif membayar iuran (rekomposisi), itu sudah cukup. Dua belas bulan terlalu lama jangka waktunya, tidak tepat menjadi payung hukum di saat-saat seperti ini,” kata Nabiyla. (Age)