Transformasi digital terjadi di berbagai sektor, termasuk transportasi kereta api.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi sektor perkeretaapian memperbarui budaya masyarakat dalam bertransportasi publik. Dalam proses transformasi, digitalisasi berperan penting.
Pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, digitalisasi berperan meningkatkan pelayanan, mengawasi kinerja pegawai, menghilangkan calo tiket, dan meningkatkan pendapatan operator kereta api. Teknologi digital dapat mengefisienkan pengendalian operasional sehingga lebih menguntungkan dan meningkatkan keselamatan.
”Dengan digitalisasi di kereta api, masyarakat juga teredukasi menjadi penumpang yang baik,” kata Agus pada seminar dalam jaringan bertema ”Mengenang Transformasi Kereta Api di Era Digital” yang diselenggarakan Perkumpulan Pensiunan Karyawan Kereta Api (Perpenka), Selasa (2/3/2021).
Sebelum bertransformasi, kualitas layanan kereta api sebagai angkutan massal di Indonesia terlihat seadanya. Hal terpenting saat itu adalah semua penumpang terangkut. Pendapatan dari tiket dan barang sulit diukur. Etika dan disiplin penumpang juga buruk.
Menurut Agus, transformasi digital di perkeretaapian mesti dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama, konsolidasi sumber daya manusia untuk menyiapkan dan menyatukan pola pikir dan tanggung jawab di era digital.
Tahap kedua, pengembangan sistem teknologi informasi dengan akurasi dan kemampuan tinggi. ”Selanjutnya, proses edukasi masyarakat dan pengembangan strategi komunikasi yang baik dengan regulator,” katanya.
Sebelum bertransformasi, kualitas layanan kereta api sebagai angkutan massal di Indonesia terlihat seadanya.
Tahap berikutnya, lanjut Agus, adalah pembaruan alat kerja melalui keberanian berinvestasi secara terencana. Tahap selanjutnya adalah pematangan serta peningkatan program riset dan pengembangan.
Salah satu perintis kereta perkotaan di Indonesia yang juga mantan Kepala Daerah Operasi Jabodetabek pertama, Masjraul Hidayat, mengatakan, pada 1988 ada proyek bantuan teknik dari Bank Dunia yang intinya transfer teknologi.
”Hasil dari proyek ini sebagian besar adalah mengubah sistem dari manual ke komputerisasi. Komputerisasi dilakukan, antara lain, di sistem pengurusan tiket, data personel, data suku cadang, dan rencana perjalanan kereta api,” kata Masjraul.
Pada 1996 dibentuk tim restrukturisasi perkeretaapian dengan enam kelompok kerja. Usulan kelompok kerja sistem informasi manajemen di tim tersebut di antaranya pengembangan sistem pelayanan pelanggan.
Masjraul menuturkan, sekitar 1998 mulai dibuat suatu sistem pelayanan 121 yang meliputi informasi KA, reservasi tiket, hingga pengaduan. Pada 1 April 1999, terbentuk Daerah Operasi Jabotabek yang sejatinya adalah divisi angkutan perkotaan Jabotabek.
”Saat itu banyak permasalahan yang dihadapi. Permasalahan paling krusial adalah banyak free riders dan atapers (penumpang tanpa tiket dan penumpang yang naik di atap) KA,” ujar Masjraul.
Mantan Direktur Utama PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) Kurniadi Atmosasmito menceritakan berbagai upaya penertiban yang menyasar penumpang di atap kereta, pedagang asongan di atas KA dan peron stasiun, serta penumpang tanpa tiket. Larangan merokok juga diberlakukan di stasiun dan kereta.
Kurniadi menyampaikan, pada 2013, sistem tiket elektronik diterapkan secara menyeluruh di kereta komuter Jabodetabek. Hal ini dinilai menjadi tonggak modernisasi pelayanan KA perkotaan di Indonesia.
”Pada awal perubahan dari manual ke sistem tiket elektronik, orang-orang memang perlu dipandu untuk melakukan tapping agar dapat masuk ke pintu,” kata Kurniadi.
Pada 2013, sistem tiket elektronik diterapkan secara menyeluruh di Kereta komuter Jabodetabek. Hal ini dinilai menjadi tonggak modernisasi pelayanan KA perkotaan di Indonesia.
Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian Aditya Dwi Laksana berpendapat, transformasi kereta api yang telah dilakukan PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan anak usahanya terbilang fenomenal, inspiratif, dan patut diapresiasi. Transformasi bukan sekadar di bidang bisnis dan layanan operasional, melainkan juga turut mengubah peradaban bangsa.
Aditya mencontohkan, masyarakat teredukasi menghargai ketepatan waktu karena mesti menyesuaikan diri dengan jadwal kereta api yang juga tepat waktu. Pembelian tiket kereta api mulai 30 hari sebelum keberangkatan membiasakan masyarakat menyusun perencanaan. Adapun pengembangan aplikasi mengedukasi masyarakat agar adaptif terhadap teknologi.