Sinyal Mundur Indonesia Maju
Indonesia telah menetapkan target sebagai Indonesia maju pada 2036. Perlu diingat bahwa percepatan pembangunan sistem antikorupsi yang andal adalah keniscayaan yang menjadi prasyarat mencapai kemajuan.
Target sudah dikunci; Indonesia maju pada 2036. Karena itu, Presiden Joko Widodo selaku nakhoda fase 2014-2024 ingin membawa bahtera Indonesia berlayar kencang ke sasaran. Percepatan pun jadi mantra yang jamak di bidang pembangunan ekonomi. Namun, pembangunan sistem antikorupsi sebagai prasyarat justru melayangkan sinyal mundur.
Visi Indonesia 2045 yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menargetkan Indonesia menjadi negara berdaulat, maju, adil, dan maju pada 2045. Kerangka waktunya adalah menjadi negara maju alias berpendapatan tinggi di 2036 dan menjadi negara dengan produk domesik bruto terbesar ke-5 dunia di 2045.
Presiden kemudian meringkasnya dalam tagline ”Indonesia Maju” pada periode pemerintahan 2019-2024. Artinya, pembangunan selama 2014-2024 merupakan bagian dari ikhtiar panjang mencapai cita-cita Indonesia maju.
Saat ini, Indonesia berada di kelompok negara berpendapatan menengah-atas. Predikat ini baru dirilis Bank Dunia per 1 Juli 2020 atas dasar performa ekonomi 2019. Sebelumnya, Indonesia berkutat di kelompok negara berpendapatan menengah-bawah selama 23 tahun.
Hantaman krisis ekonomi di 2020 akibat pandemi Covid-19 yang ekornya masih berlanjut di 2021 membuka peluang Indonesia untuk turun kelas lagi. Situasi ini menyebabkan tantangan mencapai Indonesia maju kian berat.
Ini tidak berarti target itu mustahil dicapai. Hal yang pasti, Visi Indonesia 2045 yang tuntas disusun pada awal 2019 mengasumsikan, Indonesia maju akan tercapai jika pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata 5,7 persen per tahun dengan terus melakukan reformasi struktural, memanfaatkan bonus demografi dan kemajuan teknologi, serta meningkatkan daya saing ekonomi.
Sejumlah program pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada percepatan sebagai ikhtiar mencapai Indonesia maju
Presiden Jokowi telah dan terus menjalankan sejumlah program pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada percepatan sebagai ikhtiar mencapai Indonesia maju. Paling mencolok adalah pembangunan infrastruktur, hal yang memang dibutuhkan Indonesia untuk maju. Guna mempercepat realisasi proyek, sejumlah peraturan pun diterbitkan selama periode 2015-2019.
Selanjutnya di awal periode pemerintahan 2019-2024, Presiden bersama DPR berhasil memproduksi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tujuannya untuk menciptakan jalan tol bagi arus investasi ke Indonesia agar ekonomi tumbuh pesat sehingga lapangan kerja tercipta. Dan pada pekan ketiga Februari 2021, pemerintah telah menyelesaikan 49 peraturan pelaksananya.
Namun, untuk memacu pertumbuhan ekonomi saja, upaya tersebut tidak cukup dan tidak bisa berdiri sendiri. Terbukti pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5 persen selama 2015-2019. Ini belum bicara upaya mencapai target Indonesia maju yang sudah barang tentu butuh lebih banyak ikhtiar di luar ekonomi.
Visi Indonesia 2045 sebenarnya telah merumuskan empat pilar pembangunan untuk mencapainya. Pertama, pembangunan manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan. Kedua, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Ketiga, pemerataan pembangunan. Keempat, pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan.
Pemberantasan korupsi atau pembangunan sistem antikorupsi adalah bagian integral dalam ikhtiar mencapai Indonesia maju.
Salah satu penjabaran pilar ke-4 adalah penguatan sistem hukum nasional dan antikorupsi. Artinya, pemberantasan korupsi atau pembangunan sistem antikorupsi adalah bagian integral dalam ikhtiar mencapai Indonesia maju.
Pengalaman semua negara maju pun menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi adalah prasyarat, dalam upaya menjadi negara maju. Jika kemajuan diraih secara bertahap dengan pertumbuhan ekonomi optimal setiap tahun, pemberantasan korupsi adalah bagian integral dari upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal tersebut.
Peneliti Harvard University and National Bureau of Economic Research, Shang-Jin Wei, dalam salah satu laporannya, menyatakan, penelitian yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga akhir-akhir ini menemukan, semakin korup sebuah negara, semakin lambat pula laju pertumbuhan ekonominya.
Terdapat beberapa saluran transmisi di mana korupsi menghambat pembangunan ekonomi. Masih menurut Wei, di antaranya adalah mengurangi investasi domestik-asing, membuang-buang anggaran belanja negara, mendistorsi pengeluaran pemerintah dari sektor pendidikan-kesehatan-perawatan infrastruktur, dan membuat proyek publik menjadi tidak efisien.
Bukan kebetulan jika 10 negara dengan skor tertinggi dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 adalah juga negara-negara maju di peringkat 20 teratas dunia. Sementara 10 negara dengan skor terendah dalam IPK 2020, mayoritas masuk kelompok negara berpendapatan rendah dan sisanya negara berpendapatan menengah.
Indonesia sendiri dalam IPK 2020, skornya anjlok, dari 40 di 2019 ke 37 di 2020. Dengan demikian, dari 180 negara terdaftar, peringkat Indonesia pun juga jeblok dari 85 ke 102.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang persepsi korupsi dan evaluasi pemberantasan korupsi yang dirilis per 7 Februari 2021 menguatkan indikator di atas. Survei LSI dilakukan terhadap para pelaku usaha pada 17 Desember 2020-7 Januari 2021 dan kalangan pemuka opini pada 20 Dessembver 2020-25 Januari 2021.
Hasilnya menunjukkan, mayoritas responden menilai bahwa korupsi meningkat dalam dua tahun terakhir. Ini sejalan dengan hasil survei terhadap masyarakat umum yang digelar November–Desember 2020.
Di sisi lain, mayoritas responden menilai pemerintah sudah cukup berupaya memberantas korupsi. Karena itu, ketika survei menunjukkan mayoritas responden menganggap korupsi meningkat di dua tahun terakhir, penjelasannya adalah bahwa mereka menilai pemberantasan korupsi tidak efektif. Survei juga menemukan bahwa praktik pungutan liar, suap, dan calo masih berlangsung dalam pengurusan berbagai perizinan oleh pemerintah.
Deputi V Kepala Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani menyatakan, pemberantasan korupsi tidak melambat dalam dua tahun terakhir. Skor IPK Indonesia di 2019 justru berada di titik tertinggi meskipun turun pada 2020. Hal ini akan menjadi bahan evaluasi kebijakan pemberantasan korupsi ke depan yang baru mengalami transisi pasca-revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Menulis Indonesia 2045
”Selain itu, harus diakui, kita memang masih menghadapi masalah dalam mengubah persepsi publik terhadap korupsi di internal pemerintahan karena masih terjadinya pungutan liar dalam perizinan dan layanan publik, belum baiknya integritas aparat penegak hukum, serta terjadinya money politics,” kata Jaleswari.
Saat ditanya tentang upaya membangun sistem antikorupsi yang andal, Jaleswari mengatakan, tidak ada cara lain selain penindakan tegas dan pencegahan korupsi secara sistemik. Keduanya sudah dan akan terus dilakukan oleh pemerintah bersama dengan KPK, Polri, dan Kejaksaan sebagai ujung tombak dalam upaya pemberantasan korupsi.
Untuk itu, ia menegaskan, penindakan akan terus dilakukan tanpa pandang bulu dan menyasar kasus korupsi besar yang sangat merugikan negara. Upaya ini akan dibarengi dengan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi yang pada tahun 2021-2022 akan fokus pada perbaikan sektor perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta peningkatan integritas aparat penegak hukum dan reformasi birokrasi.
Kanal pengaduan juga akan dibuka seluas-luasnya dengan berbagai platform dan akan ditindaklanjuti dengan serius oleh pemerintah. Sinergi dengan swasta dan masyarakat sipil juga akan dilakukan pemerintah. Harapannya, pencegahan korupsi menjadi sebuah gerakan budaya yang semakin tepat sasaran, melibatkan seluruh elemen, dan berdampak.
Efisien
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, menyatakan, ada prasyarat untuk mencapai level negara maju, yakni efisien. Efisiensi sebuah negara dicapai dari reformasi struktural. Salah satu yang vital adalah melalui pembangunan sistem antikorupsi yang andal.
”Apakah itu cukup, belum. Yang diperlukan kemudian adalah sistem yang mendukung meritokrasi,” kata Rimawan.
Ada prasyarat untuk mencapai level negara maju, yakni efisien. Efisiensi sebuah negara dicapai dari reformasi struktural.
Meritokrasi adalah sistem promosi yang didasarkan pada kapasitas dan kapabilitas. Artinya, orang terbaik bisa menduduki jabatan apa pun dan di mana pun sesuai dengan kompetensinya. Guna menciptakan sistem tersebut, semua orang berhak mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama.
”Korupsi merusak efisiensi, meritokrasi, dan persamaan perlakuan. Tidak ada negara bisa maju tanpa melaui tiga hal ini. Mengapa percepatan tidak dilakukan untuk gerakan antikorupsi? Padahal, ini prasyarat,” kata Rimawan.
Peneliti Visi Integritas Nusantara, Firdaus Ilyas, menyatakan, upaya pembangunan ekonomi guna mencapai Visi Indonesia 2045 harus didasarkan fondasi yang kuat. Fondasi yang dimaksud meliputi dokumentasi, sumber daya, dan tata kelola yang baik.
”Tidak ada dalam sejarah negara mana pun, bahkan dalam konteks perusahaan sekali pun, menentukan tujuan atau target tanpa diimbangi tata kelola yang baik. Ini mencakup pemberantasan korupsi, pengawasan, kelembagaan, dan kualitas sumber daya manusia,” kata Ilyas.
Upaya pembangunan ekonomi guna mencapai Visi Indonesia 2045 harus didasarkan fondasi yang kuat. Fondasi yang dimaksud meliputi dokumentasi, sumber daya, dan tata kelola yang baik.
Merujuk hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), persoalan tata kelola yang banyak terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah pada tata administrasi keuangan. Sementara pada era Presiden Jokowi, mayoritas permasalahan berada pada tataran pelaksanaan, baik di APBD maupun APBN. Salah satunya adalah banyak unsur diskresi yang tidak dianggarkan. Selain itu, banyak temuan kebijakan yang melompat tanpa dasar mekanisme yang baku.
”Artinya, persoalan berada di sistem pengawasan internal yang sayangnya tidak banyak dilakukan penguatan oleh Presiden Jokowi. Pengawasan eksternal melalui KPK pun justru makin lemah pasca revisi Undang-Undang KPK. Terbukanya ruang improvisasi tanpa diimbangi pengawasan internal dan eksternal yang baik hanya akan membuka peluang korupsi,” kata Ilyas.
Pengajar Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar, berpandangan, pemerintah berkeinginan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan berbagai cara. Namun, hal ini tidak disertai dengan pembangunan sistem pengawasan yang baik.
”Jadi bisa dibayangkan ada percepatan demi alasan ekonomi tetapi pada saat yang sama tidak dibangun sistem pengawasan dan katup pengaman. Ini yang menyebabkan jebol,” kata Zainal.
Dalam IPK 2020, skor Indonesia anjlok antara lain di bidang demokrasi dan pemberantasan korupsi. Respons pemerintah, menurut Zainal, semestinya segera melakukan lompatan untuk melakukan percepatan pemberantasan korupsi. Ini misalnya bisa ditempuh dengan menginisiasi omnibus law antikorupsi.
Visi Indonesia 2045 adalah visi mulia. Percepatan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang inklusif menjadi keniscayaan. Namun, tanpa sistem antikorupsi yang andal sebagai prasyaratnya, percepatan pembangunan ekonomi hanya akan dibajak para perompak.
Ketika korupsi sudah membudaya dalam sistem politik dan birokrasi, tidak mungkin memberantasnya dengan usaha yang biasa-biasa saja. Maka sekali lagi, percepatan pembangunan sistem antikorupsi yang andal adalah keniscayaan yang menjadi prasyarat mencapai kemajuan.
Kalau percepatan pembangunan ekonomi bisa dilakukan, kenapa percepatan pembangunan sistem antikorupsi tidak bisa dilakukan? Ini tinggal kemauan politik agar Indonesia yang berdaulat, maju, adil, dan makmur, tidak sebatas titik nun jauh di batas cakrawala pada 2045.