Nelayan Natuna Resah Belasan Kapal Cantrang Pati Kembali Beroperasi di Serasan
Nelayan Natuna, Kepulauan Riau, resah setelah belasan kapal cantrang dari Pati, Jawa Tengah, kembali terlihat beroperasi di dekat wilayah tangkap mereka.
Oleh
PANDU WIYOGA/KRISTI UTAMI
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan Natuna, Kepulauan Riau, resah setelah belasan kapal cantrang dari Pati, Jawa Tengah, kembali terlihat beroperasi di dekat wilayah tangkap mereka. Padahal, akhir Januari 2021, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono telah menegaskan legalisasi cantrang belum diberlakukan karena harus menunggu kajian lebih lanjut.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Senin (1/3/2021), mengatakan, 11 kapal cantrang itu terlihat tengah menangkap ikan di perairan yang berjarak sekitar 14 mil (22,5 kilometer) dari garis pantai Pulau Kepala, Kecamatan Serasan, pada 27 Februari lalu. Kejadian tersebut kemudian dilaporkan nelayan Kecamatan Serasan, Natuna, kepada personel Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).
Kami beroperasi sesuai peraturan di perairan yang berjarak di atas 12 mil (19,3 km) atau Jalur III. Kapal asing saja dibiarkan, tetapi mengapa kapal dari negara sendiri malah dipermasalahkan. (Heri Budiyanta)
Sebelumnya, peristiwa serupa di Pulau Kepala juga pernah terjadi pada 4 Desember 2020. Saat itu, nelayan Natuna menangkap satu kapal cantrang asal Pati karena dituduh menangkap ikan di perairan yang berjarak kurang dari 8 mil (12,8 km) dari garis pantai. Satu hari kemudian, kapal itu dilepas setelah pemiliknya bersedia membayar ganti rugi Rp 60 juta.
Secara terpisah, Wakil Ketua Paguyuban Nelayan Cantrang Mina Santosa Kabupaten Pati Heri Budiyanto mengonfirmasi 11 kapal cantrang itu memang berasal dari daerahnya. Namun, menurut dia, nelayan Pati telah mengantongi surat keterangan melaut (SKM) untuk menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) di WPP 711, Laut Natuna Utara.
”Kami beroperasi sesuai peraturan di perairan yang berjarak di atas 12 mil (19,3 km) atau Jalur III. Kapal asing saja dibiarkan, tetapi mengapa kapal dari negara sendiri malah dipermasalahkan,” kata Heri.
Pendapat Heri itu merujuk kepada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di WPP RI dan Laut Lepas. Dalam Pasal 23 Ayat 4 memang disebutkan, kapal cantrang berukuran di atas 30 gros ton diizinkan beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III WPP 712 Laut Jawa dan ZEEI di WPP 711, Laut Natuna Utara.
Permen KP No 59/2020 itu sekaligus merevisi Permen KP No 71/2016 yang melarang penggunaan cantrang, dogol, dan pukat udang. Belakangan, nelayan tradisional di Natuna dan juga di Masalembu, Jawa Timur, ramai-ramai menolak Permen KP No 59/2020 karena penggunaan cantrang dinilai tidak ramah lingkungan dan berpotensi memicu penangkapan ikan berlebih.
Pada 29 Januari 2021, enam perwakilan nelayan Kepri menemui Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Trenggono menegaskan, Permen KP No 59/2020 belum diberlakukan. Ia menyatakan, KKP masih mengkaji dan mengevaluasi beberapa kebijakan kontroversial yang terdapat dalam permen tersebut, salah satunya mengenai cantrang.
Simpang siur
Pada 11 Februari 2021, giliran perwakilan nelayan Jawa Tengah yang menemui Trenggono di Jakarta. Empat hari berselang, nelayan cantrang di pantai utara Jawa Tengah mendeklarasikan pergantian alat tangkap dari cantrang ke jaring tarik berkantong yang diklaim lebih ramah lingkungan.
Alat tangkap baru itu sebenarnya hanyalah cantrang yang dimodifikasi. Mereka mengurangi panjang tali selambar yang tadinya 1.000 meter (m) ke atas, kini menjadi maksimal 900 m. Selain itu, mata jaring cantrang yang bentuknya segitiga juga diubah menjadi persegi.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim menilai, deklarasi mengubah cantrang menjadi jaring tarik berkantong itu bermasalah. Ia mendesak pemerintah segera melakukan kajian mendalam untuk membuktikan klaim bahwa alat tangkap baru tersebut lebih ramah lingkungan.
Selain itu, Abdul juga menyatakan, pemerintah perlu mengusut penerbitan SKM yang selama ini menjadi pegangan nelayan pantura Jawa saat beroperasi di Laut Natuna Utara. Ia menyatakan, SKM bukan penamaan administrasi perikanan yang diakui secara resmi di Indonesia. Patut diduga ada pelanggaran di balik terbitnya SKM itu.
Sementara itu, Kepala Pangkalan PSDKP Batam Salman Mokoginta menyatakan, telah menerima laporan nelayan Natuna mengenai belasan kapal cantrang dari pantura Jawa yang beroperasi di sekitar Pulau Kepala.
Saat ini, Kapal Pengawas Perikanan Hiu Macan Tutul 002 telah diperintahkan ke lokasi untuk mengecek izin operasi kapal-kapal cantrang tersebut.