Izin usaha yang dipermudah diimbangi dengan pengawasan yang diperketat. Peran masyarakat di daerah setempat dalam pengawasan usaha penting.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan terhadap pelaksanaan perizinan usaha berbasis risiko sangat bergantung pada peran masyarakat setempat. Setelah pemerintah memberikan kemudahan dan kepercayaan besar kepada pelaku usaha untuk memperoleh izin berusaha, mekanisme pengawasan seharusnya diperkuat.
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko mengatur dua mekanisme pengawasan, yaitu pengawasan rutin dan insidental. Pengawasan rutin dilakukan secara berkala melalui laporan pelaku usaha dan inspeksi lapangan. Sementara pengawasan insidental dilakukan berdasarkan pengaduan dari masyarakat atau pelaku usaha yang dijamin kerahasiaan identitasnya (whistleblower).
Direktur Deregulasi Penanaman Modal Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Yuliot, Minggu (28/2/2021), mengatakan, pemerintah akan membuat jalur prosedur khusus di sistem perizinan usaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS) untuk masyarakat mengadukan indikasi dugaan pelanggaran pelaku usaha.
Selain lewat OSS, masyarakat juga bisa mengadu langsung ke pemerintah pusat atau daerah yang berwenang. Sesama pengusaha juga bisa melaporkan dugaan pelanggaran dengan identitas yang dirahasiakan.
”Akan kami buatkan prosedurnya di OSS, siapa yang melaporkan, siapa yang dilaporkan, apa masalah dan dugaan pelanggarannya, sehingga sewaktu-waktu bisa dilakukan pengawasan oleh pemerintah,” kata Yuliot saat dihubungi di Jakarta.
Pengawasan dilakukan untuk memeriksa tata ruang dan standar bangunan gedung, standar kesehatan, keselamatan dan lingkungan hidup, serta standar pelaksanaan kegiatan usaha. Selain itu, kewajiban terkait norma, standar, prosedur dan kriteria, serta kewajiban pelaku usaha menyampaikan laporan dan pemanfaatan insentif atau fasilitas investasi.
Menurut Yuliot, pengawasan insidental berupa laporan dari publik ini dapat mengimbangi mekanisme pengawasan lain, yaitu pengawasan rutin, yang sifatnya berkala dan terjadwal. Pemerintah cukup memberikan notifikasi bahwa pengawasan akan dilakukan sewaktu-waktu berdasarkan laporan dari masyarakat.
”Kalau laporan dari masyarakat juga terjadwal pengawasannya, bisa bermasalah. Jadi, untuk ini, sifatnya bisa sewaktu-waktu. Pelaku usaha harus melakukan perbaikan jika ditemukan kondisi yang tidak sesuai di lapangan,” kata Yuliot.
Sebelumnya, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, dalam sistem perizinan usaha berbasis risiko (risk-based approach), semua pengawasan dan pemantauan pemerintah harus terjadwal.
”Tidak bisa lagi orang turun main periksa sembarangan serta-merta tanpa terjadwal. Hal ini juga untuk menjaga suasana batin pengusaha. Kami ingin peraturan ini menjadi jalan tengah antara keinginan pengusaha dan apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mendorong perekonomian,” kata Bahlil dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (25/2/2021).
Didahului perencanaan
Pelaksanaan pengawasan harus didahului dengan perencanaan, yang terdiri dari informasi waktu, anggaran, dan petugas pelaksana pengawas. Pasal 215 PP No 5/2021 melarang pemerintah pusat/daerah, administrator kawasan ekonomi khusus, dan petugas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk melakukan pengawasan di luar perencanaan.
Pelaksanaan pengawasan harus didahului dengan perencanaan, yang terdiri dari informasi waktu, anggaran, dan petugas pelaksana pengawas.
Inspeksi lapangan dilakukan paling banyak satu kali setahun untuk usaha risiko rendah dan menengah-rendah. Sementara untuk usaha risiko menengah-tinggi dan tinggi dilaksanakan dua kali dalam satu tahun. PP itu bahkan mengatur, jika dalam pengawasan rutin sebelumnya pelaku usaha dinilai patuh, inspeksi lapangan bisa ditiadakan atau dikurangi intensitasnya.
Direktur Pelaksana Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan, setelah pemerintah memberikan kemudahan yang besar kepada pelaku usaha di proses perolehan izin berusaha, seharusnya mekanisme pengawasan diperkuat. Pengawasan ini penting agar jika terjadi pelanggaran, pemerintah bisa bertindak tegas.
”Pengawasan yang dilakukan terjadwal sangat lemah karena pengusaha bisa menyiapkan segala sesuatu sebelum inspeksi agar hasil pengawasan berjalan normal sesuai harapan,” katanya.
Untuk itu, akses masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran pengusaha melalui sistem OSS harus dipermudah. Masyarakat juga harus diberi pemahaman memadai mengenai proses pemberian izin usaha secara daring, mulai dari praperizinan, perizinan, hingga pascaperizinan.
”Pemerintah harus terbuka dengan informasi, seperti ada berapa proses perizinan usaha yang sekarang sedang diproses di OSS dan berapa yang sudah beroperasi. Harus ada transparansi supaya masyarakat bisa mengawasi,” ujarnya.
Menyulitkan
Yuliot mengatakan, pemerintah mengharuskan pengawasan terjadwal karena selama ini inspeksi dilakukan berkali-kali oleh sejumlah kementerian sehingga menyulitkan pelaku usaha.
”Kementerian A sudah melakukan inspeksi, nanti ada inspeksi lagi dari kementerian B. Kadang-kadang juga tidak jelas maksud inspeksinya apa, itu mengganggu operasional pelaku usaha,” ucap Yuliot.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani. Menurut dia, pengawasan selama ini kerap mengada-ada sehingga mempersulit pengusaha.
Pengawasan selama ini kerap mengada-ada sehingga mempersulit pengusaha.
Menurut dia, pengawasan harus berbasis risiko. Artinya, usaha dengan risiko rendah sampai menengah-rendah tidak perlu diawasi seintensif usaha dengan risiko menengah-tinggi atau tinggi. Apalagi, mengingat keterbatasan petugas pengawas sehingga seharusnya pengawasan pun harus sistematis.
”Sebenarnya bisa dilihat, mana perusahaan yang harus diawasi, mana yang tidak. Seperti di bea cukai saja, ada jalur hijau untuk yang bisa dipercaya, ada jalur nonhijau untuk yang perlu screening lebih ketat,” kata Hariyadi.