Program konversi solar ke gas pada pembangkit listrik PLN diwujudkan. Program ini diharapkan dapat mengurangi emisi yang dihasilkan dari pembakaran BBM dan menghemat biaya belanja BBM oleh PLN.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasokan gas untuk kebutuhan pembangkit listrik terus diperkuat sebagai program konversi pemakaian bahan bakar minyak ke gas. Tercatat ada 55 pembangkit listrik tenaga diesel dengan kapasitas hampir 1.700 megawatt yang dialihkan ke bahan bakar gas.
Deputi Keuangan dan Monetisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Arief S Handoko mengatakan, sebanyak tiga kargo gas alam cair (LNG) dari Kilang Bontang, Kalimantan Timur, akan dikirimkan dalam waktu dekat. Selain LNG, sejumlah kontraktor kontrak kerja sama hulu migas di Sumatera dan Jawa juga memasok gas pipa sebanyak 70 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
”Tidak mudah memang untuk memenuhi kebutuhan gas dalam waktu singkat. Namun, tambahan pasokan ini untuk mewujudkan komitmen pemenuhan kebutuhan gas bagi pembangkit listrik milik PLN,” ujarnya dalam siaran pers, Sabtu (27/2/2021).
Sementara itu, Direktur Energi Primer PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Rudy Hendra menuturkan, pemakaian gas untuk pembangkit dapat meningkatkan serapan gas di dalam negeri. Konversi BBM ke gas pada pembangkit listrik PLN juga untuk mengurangi ketergantungan impor solar. Masih ada sejumlah pembangkit listrik yang dalam tahap konstruksi bakal membutuhkan pasokan gas di masa mendatang.
Program konversi ini adalah untuk menjalankan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 13 K/13/MEM/2020. ”Dengan menggunakan gas di dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor BBM untuk pembangkit listrik, kami berharap ketahanan energi dalam negeri bisa terwujud,” ucap Rudy.
Masih ada sejumlah pembangkit listrik yang dalam tahap konstruksi bakal membutuhkan pasokan gas di masa mendatang.
Saat ini, konsumsi solar untuk pembangkit listrik PLN mencapai 3,1 juta kiloliter per tahun. Program konversi BBM ke gas pada pembangkit listik akan mengurangi konsumsi solar PLN sebanyak 2,1 juta kiloliter per tahun. Masih ada 1 juta kiloliter konsumsi solar untuk pembangkit listrik PLN yang tersebar di wilayah terpencil dan terluar di Indonesia.
Adapun infrastruktur gas akan dibangun PT Pertamina (Persero) melalui anak usaha mereka, yakni PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Total investasi yang dibutuhkan dalam program ini sebanyak 1,3 miliar dollar AS atau setara Rp 18 triliun. Pembangkit yang dibangun adalah jenis mesin ganda (hybrid) yang bisa menggunakan solar dan gas.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa menilai, usaha PLN mengganti pembangkit listrik berbahan bakar solar dengan gas akan lebih efisien. Bahkan, menurut dia, biaya pembangkitan listrik dengan gas bisa lebih murah rata-rata 50 persen dibandingkan dengan solar. Namun, faktor harga gas tetap akan berpengaruh signifikan.
”Memang lebih murah gas ketimbang solar. Hanya saja, saya kira PLN perlu melihat opsi lain dengan pemanfaatan potensi lokal di wilayah setempat. Misalnya, untuk pembangkit dengan kapasitas kurang dari 5 megawatt, sebaiknya cukup menggunakan biomassa, tanpa harus dengan LNG,” ujar Fabby.
Biaya pembangkitan listrik dengan gas bisa lebih murah rata-rata 50 persen dibandingkan dengan solar. Namun, faktor harga gas tetap akan berpengaruh signifikan.
Selain mengonversi pembangkit berbahan bakar solar ke gas, PLN juga sedang menggalakkan penerapan co-firing pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Metode ini dengan mencampur biomassa (pelet kayu) dan batubara dengan komposisi campuran biomassa tersebut sebesar 3-5 persen. Hingga tahun 2024, PLTU yang menerapkan metode co-firing ditargetkan menjadi sebanyak 52 unit.
Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, metode co-firing sekaligus bermanfaat dalam hal ekonomi sirkular (circular economy). Masyarakat bisa berpartisipasi dalam pemanfaatan sampah sebagai sumber bahan baku co-firing. Selain bermanfaat mengurangi sampah, co-firing juga dapat mengurangi dampak gas rumah kaca yang ditimbulkan dari asap pembuangan PLTU.
Selain itu, PLN juga akan menerapkan pemakaian teknologi bernama carbon capture storage. Teknologi ini bisa menurunkan emisi yang dihasilkan PLTU hingga 90 persen.
”PLN bakal menerapkan teknologi tersebut pada PLTU Jawa 7 di Serang, Banten, mulai 2025 dan PLTU Sumatera Selatan 6 pada 2027,” ujarnya.