Pengembangan energi terbarukan di wilayah terpencil dan perdesaan membutuhkan dukungan lebih besar terkait modal dan sumber daya manusia. Dengan pengelolaan yang tepat, aspek keberlanjutan bisa dipertahankan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Prinsip pengembangan energi terbarukan di Indonesia disesuaikan dengan potensi yang ada di setiap wilayah, khususnya di wilayah yang belum tersambung dengan jaringan listrik PLN. Beragam potensi yang ada di Indonesia, di antaranya tenaga bayu, hidro, surya, atau biomassa. Potensi tersebut bisa dikembangkan secara mandiri di level perdesaan.
Sayangnya, pengembangan energi terbarukan di tingkat perdesaan menghadapi sejumlah tantangan. Dua tantangan utamanya adalah masalah sumber daya manusia dan modal. Pengoperasian dan pemeliharaan sumber energi terbarukan membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus. Belum lagi ketersediaan modal untuk belanja alat atau suku cadang.
Pembangkit listrik tenaga surya atau tenaga bayu, membutuhkan suku cadang seperti inverter (alat pengubah arus) dan controller (alat pengatur pengisian daya pada baterai). Dua alat ini punya peran vital bagi keberlangsungan pasokan listrik dari dua jenis sumber energi terbarukan tersebut. Apabila keduanya rusak, dapat dipastikan listrik yang dihasilkan tak bisa dikelola dan dinikmati pelanggan.
Persoalannya, selain masalah ketersediaan, harga kedua jenis peralatan tersebut terbilang mahal untuk ukuran perdesaan. Satu unit alat tersebut harganya dari jutaan rupiah hingga belasan juta rupiah. Iuran warga yang dikumpulkan pengelola koperasi energi terbarukan jelas tak mencukupi.
Pengoperasian dan pemeliharaan sumber energi terbarukan membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus.
Apa yang terjadi? Kebanyakan pembangkit listrik energi terbarukan tersendat pasokan listriknya dan menimbulkan masalah serius pada pemeliharaan. Beberapa di antaranya pembangkit tersebut rusak, terbengkalai, dan tak lagi memasok listrik bagi warga. Terbengkalai dan ditinggalkan.
Untuk iuran saja, misalnya, menjadi masalah tersendiri. Kendati besaran iuran Rp 10.000 hingga Rp 35.000 per bulan, tidak seluruhnya berjalan lancar. Ketersediaan uang iuran yang minim menyebabkan modal pengelola berkurang. Tak heran apabila ada alat yang rusak dibiarkan begitu saja tanpa dibelikan suku cadangnya lantaran tak ada dana.
Salah satu contoh kasus di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, koperasi pengelola pembangkit listrik tenaga mikrohidro kewalahan lantaran pembayaran iuran yang seret. Suku cadang pada mesin turbin yang harus diganti tak terbeli lantaran ketiadaan dana. Koperasi yang dikelola salah satu perwakilan warga setempat tak mampu ”memaksa” warga untuk tertib membayar iuran.
Lantas seperti apa? Harus ada ”pemodal” yang punya sumber daya yang lebih kuat. Baik itu dari sisi pendanaan maupun dari sumber daya manusianya. Semua peralatan pada pembangkit listrik energi terbarukan ataupun peralatan listrik di rumah pelanggan harus dirawat dan ditangani oleh ahlinya, yaitu oleh teknisi.
Lantaran semua tak bisa diurus sendiri oleh pemerintah, sebaiknya peran-peran di luar pemerintah harus dimudahkan.
Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, ada contoh baik tentang kehadiran ”pemodal” tersebut. Sebuah lembaga nirlaba internasional menginisiasi pemanfaatan energi terbarukan di Sumba. Dengan memanfaatkan tenaga surya, masyarakat yang rumahnya belum terjangkau jaringan listrik PLN bisa menikmati terangnya malam lewat lampu bohlam. Namun, semuanya tidak gratis.
Warga diharuskan membayar uang muka dengan jumlah tertentu untuk mendapatkan lampu bohlam tersebut. Kemudian mereka masih harus membayar iuran setiap bulan. Namun, mereka sekaligus mendapat jaminan perawatan dan garansi dalam kurun waktu tertentu. Apabila ada kerusakan, pelanggan bisa menghubungi teknisi sewaktu-waktu untuk perbaikan.
Di sinilah pentingnya ”pemodal” tersebut. Mereka adalah yang memiliki sumber daya modal, teknologi, ataupun kapasitas sumber daya manusia yang mumpuni. Dengan kekuatan tersebut, potensi energi terbarukan di perdesaan akan bisa dikelola dan dimanfaatkan dengan baik atau optimal. Peran mereka tak bisa diabaikan.
Lantaran semua tak bisa diurus sendiri oleh pemerintah, sebaiknya peran-peran di luar pemerintah harus dimudahkan. Kemudahan dalam koridor tata kelola yang baik dan benar. Toh, ujung-ujungnya masyarakat juga yang mendapat manfaat. Terang pada saat malam.